Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah! Demikian salah satu seruan yang disampaikan oleh Soekarno, yang saat itu masih menjabat sebagai presiden, dalam pidato kenegaraannya pada tanggal 17 Agustus 1966. Seruan ini kemudian menjadi sebuah slogan kenegaraan, yang disingkat menjadi “jas merah”. Slogan ini masih dikenang dan sering disebutkan dalam berbagai kesempatan.
Meskipun lahir di Surabaya, meninggal di Jakarta, dan dimakamkan di Blitar; Soekarno dan Bandung adalah dua nama yang saling berkaitan erat. Sebagian perjuangan Soekarno dalam memerdekakan Indonesia terekam di Kota Bandung. Bahkan tidak bisa dipungkiri bahwa Bandung merupakan salah satu kota yang penting dalam kehidupan sang putra fajar tersebut. Banyak momen-momen penting ia lewatkan di Bandung; mulai dari melewati masa kuliah, kehidupan bersama istri keduanya Inggit Garnasih, mendirikan PNI (Partai Nasionalis Indonesia), sampai kemudian dipencara dan membacakan pidato “Indonesia Menggugat”. Bahkan sampai Indonesia sudah merdeka pun, Soekarno tetap meninggalkan jejak di Bandung melalui Konferensi Asia Afrika. Ada sebuah fakta unik: sebutan “Bung Karno” yang populer itu justru ia peroleh di Bandung, dari para pengikutnya yang merasa akrab dan dekat dengan Soekarno.
Memelajari sejarah Indonesia tidak lengkap tanpa memelajari sejarah Bung Karno. Dan memelajari sejarah bukanlah hal yang menyenangkan, sekalipun kita tahu bahwa wawasan sejarah nusantara merupakan pengetahuan yang perlu untuk kita ketahui sebagai warga negara. Bagi saya, cara termudah untuk memelajari sejarah adalah melalui wisata. Membaca kisah-kisah sejarah kadangkala menarik, tetapi kisah tersebut akan mudah terhapus dari ingatan; namun bila kita mendatangi tempat bersejarah itu langsung, akan ada unsur keterlibatan pribadi di dalamnya. Ada unsur psikologis di sini yang membuat kita lebih mudah untuk mengingat sebuah momen sejarah. Selain itu, wisata sejarah melibatkan emosi yang menyenangkan; dan menggunakan emosi yang intens adalah cara termudah untuk memasukkan suatu ingatan ke dalam memori jangka panjang.
Demikian cara saya untuk memelajari sejarah Bung Karno, dengan berwisata. Di Bandung terdapat banyak titik yang bisa kita kunjungi untuk mengenang kembali perjuangan Bapak Proklamator. Sambil berwisata, kegiatan belajar sejarah ini tidak akan menjadi menakutkan. Dan bila tertarik, rute “Wisata Soekarno” bisa dicontek dari tulisan ini.
1. Rumah Inggit Garnasih
Awal mula dari segala perjuangan Bung Karno di Bandung bermula di sini, dari sebuah rumah sederhana yang ia huni bersama istri keduanya, Inggit Garnasih. Memelajari kehidupan Soekarno, terutama kehidupan cintanya, tidak akan lengkap tanpa mengetahui tentang Ibu Inggit Garnasih. Dan di sinilah tempat yang bagus untuk memulainya.
Kisah Ibu Inggit dan Soekarno
Ketika masih di Surabaya, Soekarno sebenarnya sudah menikah dengan Oetari, anak dari HOS Cokroaminoto. Saat itu keduanya masih sangat belia: Soekarno masih berusia 20 tahun dan Oetari masih berusia 16 tahun. Usia yang masih terlalu muda ini membuat hubungan pernikahan mereka tidak terlalu harmonis, di samping juga terdapat perbedaan minat yang signifikan di antara keduanya. Suatu ketika, Soekarno akan melanjutkan kuliahnya ke Bandung. Tjokroaminoto sebagai guru sekaligus mertua dari Soekarno pun mengirim surat kepada Haji Sanusi, seorang kenalannya yang memiliki tempat tinggal di Bandung untuk Soekarno dititipkan.
Jadilah Soekarno dititipkan dan menumpang tinggal di rumah Sanusi bersama istrinya yang bernama Inggit Garnasih. Meski saat itu Soekarno sudah menjadi suami dari Oetari dan Inggit adalah istri dari Sanusi, namun keduanya terperangkap dalam hubungan asmara. Sebelumnya, hubungan Soekarno dengan Oetari, meskipun berstatus suami-istri, tetapi kedekatan mereka lebih mirip seperti kedekatan seorang kakak dengan adik. Di sisi lain, hubungan Inggit bersama Sanusi pun mulai longgar. Soekarno dan Inggit pun menjadi sering berhubungan dan bertukar cerita, hingga akhirnya mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk menceraikan pasangan masing-masing kemudian menikah bersama. Pada saat itu, usia Soekarno masih 21 tahun sedangkan usia Inggit Garnasih sudah 34 tahun. Perbedaan usia 13 tahun tidak menjadi masalah bagi mereka.
Bisa dikatakan Inggit adalah istri yang paling berperan dalam perkembangan hidup Soekarno. Sebagai seorang mahasiswa teknik, Soekarno tentu membutuhkan seseorang untuk menopang kehidupan sehari-harinya. Inggit melakukan peran itu. Ibu Inggit tidak hanya menjadi istri, tetapi juga menjadi seorang ibu bagi Soekarno. Untuk menopang kehidupan ia dan Soekarno sehari-hari, Ibu Inggit mencari nafkah dengan menjahit pakaian, menjual bedak, meracik jamu, sampai berjualan sabun.
Setelah Soekarno lulus, beliau tetap melanjutkan karir politiknya. Alih-alih memanfaatkan gelar insinyur yang telah diperoleh tersebut, Bung Karno justru mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) dan terus memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jadilah sepasang suami istri ini tetap harus hidup dalam kesederhanaan.
Ketika Soekarno dipenjara oleh Belanda, Inggit juga setia mendampingi. Setiap hari, Inggit menempuh jarak 20 km (seringkali berjalan kaki, guna menghemat biaya) untuk mengantarkan makanan dan menyelundupkan buku-buku bacaan untuk Soekarno. Bahkan Inggit juga menyelundupkan surat-surat dari rekan Soekarno kepada Soekarno, serta menjadi pengantar pesan dari Soekarno yang sedang di penjara. Berkat dukungan-dukungan ini, Soekarno akhirnya berhasil menyusun pembelaannya yang terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.
Bahkan ketika Soekarno diasingkan ke Ende pun, Ibu Inggit tetap setia menemani ke sana; hingga akhirnya Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu. Di sinilah kisah cinta mereka mulai menuju jalan akhir. Soekarno terpikat pada seorang wanita bernama Fatmawati, dan meminta izin kepada Inggit agar Inggit bersedia dimadu. Tentu Inggit tidak mau dan meminta untuk berpisah. Inilah akhir perjuangan Ibu Inggit yang sudah 20 tahun mendampingi Bung Karno.
Ketika Indonesia merdeka, Ibu Fatmawati menjadi ibu negara yang pertama. Praktis, Soekarno dan Inggit tidak pernah lagi bertemu. Hingga akhirnya pada tahun 1960, ketika Soekarno sudah berusia 59 tahun dan berada pada puncak pemerintahannya, mereka bertemu kembali. Alih-alih marah dan menaruh dendam, Inggit justru membetulkan kerah Soekarno sambil menyampaikan pesan bahwa ia tak perlu meminta maaf dan harus memimpin negara ini dengan baik.
“Tidak usah meminta maaf Kus. Pimpinlah negara dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu di rumah ini.”
Usai Soekarno meninggal, istri-istri Soekarno rutin mengunjungi Ibu Inggit. Fatmawati bahkan pernah bersujud dan meminta maaf kepada Ibu Inggit, namun Ibu Inggit tidak marah dan justru menganggapnya layaknya adik.
Monumen Rumah Inggit Garnasih
Kisah Inggit-Soekarno merupakan salah satu kisah yang paling romantis dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, saya menjadi tertarik untuk mengunjungi tempat ini. Lokasinya tak jauh dari Astana Anyar (btw, lokasi nasi goreng bistik Astana Anyar yang terkenal itu tidak jauh dari monumen ini). Namun tempat ini agak sulit dicari, meski berada di jalan raya, sebab tidak ada pernak-pernik yang menarik perhatian yang menandakan bahwa rumah ini adalah salah satu rumah bersejarah.
Di pagar rumah, aneka informasi mengenai Ibu Inggit dalam bentuk poster terpajang ramai. Banyak pengetahuan yang bisa diperoleh di sini. Pun ketika masuk ke dalam rumah, suasana jadoel mulai terasa. Di sini saya menemukan ruang tidur Ibu Inggit, tempat Ibu Inggit meracik jamu dan bedak, sampai tempat Bung Karno sering menerima tamu dan berdiskusi dengan rekan-rekannya.
Sayangnya, hampir semua perabot di rumah ini sudah tidak ada. Menurut pengelola, butuh dana ratusan juta hingga milyaran Rupiah untuk menghadirkan kembali perabotan-perabotan seperti suasana aslinya.
Tempat ini, meskipun sangat bersejarah, namun nampak sepi dari pengunjung. Bahkan saat itu hanya saya satu-satunya orang yang datang berkunjung. Semoga ada pembenahan dari pengelola untuk menjadikan rumah bersejarah ini salah satu destinasi penting wisata sejarah Bung Karno.
2. Monumen Penjara Banceuy
Di sinilah tempat Bung Karno dipenjara oleh Belanda, karena dianggap terlalu agresif menyuarakan kemerdekaan sehingga membahayakan pihak Belanda.
Sebagai seseorang yang senang berdiskusi dan haus akan informasi, dipenjara adalah salah satu momen yang paling menyengsarakan bagi Bung Karno. Beliau sempat merasa terpukul dan putus asa, namun Inggit Garnasih-lah yang terus-menerus menyemangati ketika mengunjungi beliau di penjara.
“Tidak, kasep (ganteng), jangan berpikir begitu. Mengapa mesti berkecil hati. Di rumah segala berjalan beres.Tegakkan dirimu, Kus, tegakkan! Teruskan perjuanganmu! Jangan luntur karena cobaan semacam ini!”
Tidak hanya secara ucapan, Inggit juga memberi dukungan secara tindakan. Jarak 20 km ditempuh dengan hampir selalu berjalan kaki, untuk mengunjungi Bung Karno yang sedang berada pada titik rendahnya. Tidak hanya sekadar datang menyemangati, tetapi Inggit juga membawakan makanan, menyelundupkan buku, koran, serta surat-surat dari rekan Bung Karno yang ia sembunyikan di dalam pakaiannya. Konon agar barang-barang tersebut muat di dalam bajunya, Ibu Inggit rela sampai 3 hari berpuasa. Bacaan-bacaan ini yang kemudian menemani dan menstimulasi intelektualitas Bung Karno hingga akhirnya ia mampu menyusun naskah pembelaannya yang berjudul “Indonesia Menggugat”.
Ketika saya datang ke sini, saya sempat merasa heran dengan ruko-ruko yang sudah terbangun rapi mengeliling monumen penjara ini. Maklum, daerah ini sudah menjadi pusat niaga Bandung. Ada kekhawatiran jangan-jangan tidak ada yang tersisa lagi di monumen penjara ini. Namun ternyata tetap terjaga. Banyak poster-poster informasi tentang sejarah Bung Karno di sini, serta patung Soekarno yang sedang membaca buku. Menurut informasi, kita juga bisa memasuki sel Bung Karno dan melihat kondisi ruangannya ketika dipenjara. Namun sayang, setiap saya datang ke sini (saya sudah 4 kali menempuh Jakarta-Bandung untuk mengunjungi tempat ini!), tetapi penjaganya tidak pernah ada. Ada yang mengatakan bahwa penjaganya hanya ada di hari biasa, tetapi ketika saya datang pada hari biasa, warga sekitar mengatakan bahwa beliau sedang bekerja. Ketika saya datang di akhir pekan, penjaganya tidak ada lagi, dan justru warga sekitar mengatakan bahwa beliau sedang istirahat karena ini hari libur. Agak membingungkan juga, sih.
(baca juga: 6 destinasi wisata museum yang wajib dikunjungi di Bandung)
3. Gedung Indonesia Menggugat
Di tempat inilah Bung Karno diadili paska dipenjara, dan membacakan pidato “Indonesia Menggugat” yang terkenal itu. Kala itu, Soekarno, bersama ketiga rekannya di PNI (Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata) ditangkap dan disidang karena menganggap hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda. Sebelum disidang, Soekarno dipenjara dulu di Banceuy dan menyusun naskah pidato ini.
Secara umum, isi pidato ini adalah menggugat keadaan politik dan kerusakan masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Soekarno juga menggugat bahwa proses peradilan yang dilakukan kepadanya dan tiga rekannya ini adalah sebuah proses politik penjajah untuk membungkam gerakan nasional. Pidato ini dianggap cukup menusuk pihak Hindia Belanda yang kala itu sedang menjajah Indonesia.
“Pergerakan, pemberontakan, dan lain sebagai macamnya terlahir bukan karena hasutan kaum intelektual. Pergerakan lahir adalah alamiah karena penderitaan rakyat yang tak tertahankan.”
Akhirnya, hasil persidangan memutuskan bahwa mereka berempat (Soekarno dan rekannya) dihukum penjara selama 4 tahun di Sukamiskin.
Tempat ini tidak terlalu luas, hanya ada beberapa ruangan yang nampaknya difungsikan sebagai aula. Ruangan yang paling menarik adalah ruang sidang itu sendiri. Di sinilah Soekarno disidang dan membacakan naskah pidato Indonesia Menggugat. Ruangannya tidak terlalu besar, namun meja dan kursi yang asli masih ada. Penerangannya remang, membawa kesan jadoel sekaligus angker.
Di belakang ruangan ini, terdapat sebuah cafe kecil (lebih mirip warung, sebenarnya) dengan banyak tempat duduk yang bisa difungsikan sebagai tempat duduk dan sekadar ngopi bersama teman. Mungkin enak sambil mendiskusikan ideologi Bung Karno.
4. Museum Asia Afrika
Setelah dipenjara di Sukamiskin dan diasingkan hingga ke Bengkulu, maka kisah hidup Soekarno selanjutnya lebih banyak dihabiskan di luar Bandung. Mendekati hari-hari kemerdekaan Indonesia, Soekarno-Hatta sempat diculik oleh golongan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Hingga akhirnya di Jakarta, diprokamasikanlah bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan merdeka.
Maka, momen berharga Soekarno selanjutnya di Bandung adalah ketika Indonesia sudah merdeka. Kala itu Indonesia ingin membentuk sebuah poros / blok baru di luar blok Timur dan Barat yang sedang berseteru. Dikumpulkanlah negara-negara di Asia dan Afrika, yang sebagian besar baru merdeka (ada juga yang masih berada dalam penjajahan namun sedang memperjuangkan kemerdekaan), pada tanggal 18-24 April 1955 di Bandung. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan di kawasan Asia-Afrika, serta upaya untuk melawan kolonialisme dan negara imperialis lainnya seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Amerika Serikat sangat menentang konferensi ini, karena khawatir konferensi ini akan menghasilkan gerakan dan ideologi anti kolonialisme dan anti imperialisme. Akhirnya, meski terjadi insiden peledakan bom di pesawat delegasi RRT dan upaya pembunuhan terhadap Chou En Lai (Perdana Menteri RRT), konferensi tetap dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan menghasilkan kesepakatan yang disebut Dasasila Bandung yang mendukung kedamaian serta kerjasama dunia.
Pada konferensi inilah, Indonesia menjadi sorotan dunia. Indonesia dan Soekarno menjadi bahan pembicaraan di berbagai media dunia pada saat itu, dan mungkin pada momen ini pula Indonesia diakui menjadi salah satu negara yang mampu menjadi sebuah bangsa yang maju. Well, tapi itu sudah menjadi masa lalu.
Museum Asia-Afrika, yang dulunya adalah gedung perhelatan konferensi ini, menjadi titik yang wajib dikunjungi dalam wisata Soekarno dan sejarah Indonesia. Berbagai informasi terkait KAA ada di sini, serta lambang-lambang negara yang hadir dan mengirimkan delegasinya. Jika anda adalah penikmat sejarah dan ideologi negara, maka tempat ini penuh dengan info-info bermanfaat, siapkan buku catatan!
Di sisi lain dari gedung ini, terdapat pula Gedung Merdeka yang merupakan tempat para delegasi berkumpul, serta perpustakaan yang dapat anda kunjungi secara gratis. Isi bukunya beragam dengan ruangan full AC, lumayan untuk sekadar duduk santai sambil membaca buku.
Wisata Soekarno Selanjutnya…
Berakhir perjalanan di Museum Asia Afrika, berakhir pula rute wisata Soekarno di Bandung. Namun wisata Soekarno tentu tidak berakhir hanya di Bandung. Banyak kota yang perlu didatangi untuk terus menelisik sejarah hidup Sang Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa pahlawannya. Catatan wisata Soekarno masih belum selesai, dan akan saya terus tuliskan di blog ini.
Tulisan-tulisan lainnya tentang Bandung:
1. Enam Destinasi Wisata Museum di Kota Bandung
2. Street Food Ramai khas Kota Bandung
3. Nostalgia di Warung Kopi Purnama (Sejak 1930), Bandung
4. Kuliner Wajib Jalan Cibadak, Bandung