Berawal dari sebuah postingan teman di Facebook yang menginformasikan bahwa kini di Pasar Kenari terdapat pasar buku murah. Saya tertarik. Membaca lebih jauh lagi, ternyata tempat ini merupakan pindahan dari pedagang buku Kwitang yang digusur. Bagi orang yang sudah tinggal di Jakarta selama dua puluhan tahun, pasti sudah familiar dengan Pasar Kwitang. Buku bekas, buku murah, dan buku langka menjadi tiga hal yang identik dengan Kwitang, tempat yang pernah beberapa kali saya kunjungi kala SMP dulu.
Tidak sulit menemukan tempat ini, karena memang Pasar Kenari sudah lama dikenal orang. Parkir, lalu bertanya kepada petugas di mana pasar buku yang dimaksud, saya langsung diarahkan menuju lantai 3. Kalau anda membutuhkan bantuan Google Maps, cari saja “Wisata Buku Pasar Kenari”.
Tempatnya di luar ekspektasi. Ternyata tertata rapi dan nyaman! Awalnya saya agak ragu dengan tempat ini, mengingat dulu pedagang buku di Kwitang kurang tertata, namun di sini para pedagang lebih terkoordinir. Masing-masing pedagang menempati kios, lantainya bersih, dan ada AC yang membuat udara menjadi sejuk. Hilang sudah citra pasar buku Kwitang yang berantakan dan kumuh itu. Saya coba berkeliling untuk melihat-lihat, sambil mencari buku yang mungkin menarik untuk dibaca.
Tak disangka, pedagangnya juga ramah-ramah. Mereka sigap sekali menawarkan buku-buku yang sesuai dengan topik kesukaan saya. Caranya begini: mereka akan melihat buku yang kita pegang, lalu mereka akan menyarankan buku lain yang masih berkaitan dengan buku itu. Ketika saya menyentuh buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman, mereka langsung menawarkan buku-buku John Maxwell juga. Sama-sama buku self development. Mereka pun murah senyum, dan selalu bersedia mencarikan buku yang kita sebut. Ini sangat berbeda dengan citra pedagang di Pasar Kwitang yang dulu galak-galak. Keren!
Beberapa buku-buku tua saya temui di sini. Tak tanggung-tanggung, bahkan buku-buku terbitan zaman kemerdekaan pun masih bisa ditemukan di sini. Masih ada buku-buku terbitan tahun 1940an sampai 1950an, bahkan masih ada surat kabar yang memuat berita tentang kebijakan Soekarno ketika beliau masih menjabat sebagai presiden! Tentu saja, kondisi buku dan surat kabar tersebut juga sudah mulai termakan usia, kertasnya sudah menguning dan kertasnya mulai kaku, tetapi buku-buku tersebut masih dapat dibaca dengan baik. Harganya? Saya tidak berani bertanya, tetapi bila buku tersebut dihargai agak mahal, saya rasa memang layak karena nilai sejarahnya yang tinggi.
Di ujung pasar, ada sebuah toko buku yang cukup luas bernama Jakbook. Dari namanya, kemungkinan besar dikelola oleh pemerintah. Isinya mirip dengan toko buku Gramedia, namun di sini lebih banyak tersedia buku-buku referensi, textbook, dan buku agama. Bagi pemegang KJP (Kartu Jakarta Pintar), bisa berbelanja di sini dengan menggunakan KJP. Saya menemukan banyak buku-buku referensi ilmiah psikologi yang menarik di sini, dan salah di antaranya karya profesor saya dulu.
Ingin sekalian berbelanja sembako? Ternyata di lantai yang sama, juga ada pasar swalayan yang tidak terlalu besar, tapi menjual bahan-bahan pokok. Lumayan, mungkin bagi ibu-ibu yang ingin menemani anaknya mencari buku bisa sekalian berbelanja di sini.
Lelah berjalan dan mencari-cari buku, saya langsung mencari tempat untuk duduk. Tersedia tempat duduk di ruang baca yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung. Keren juga ini! Tapi yang lebih keren lagi, di sini juga ada coffee shop! Dikelola oleh Bencoolen Coffee, lengkap dengan tempat duduk dengan pemandangan ke arah jalanan. Wih! Saya lihat menunya, standar coffee shop, tapi dengan harga yang jauh lebih murah, mulai dari Rp5ribu sampai Rp15ribu. Ada americano, latte, cappuccino, sampai kopi tubruk ala Indonesia.
Saya coba memesan kopi tubruk untuk diminum di tempat. Sayangnya, nampaknya sang barista salah mencatat pesanan, yang datang justru kopi tubruk dengan susu. Tapi tidak apa-apa, toh saya memang pecinta kopi susu. Aroma kopinya cukup kuat, lumayan untuk menyegarkan diri.
Bagaimana kalau tidak ingin minum kopi? Tersedia juga aneka es krim dengan harga murah meriah. Saya mencoba memesan es krim cup rasa stroberi dan cappuccino. Untuk es krim stroberi, rasa susunya tidak terlalu pekat, tetapi masih oke untuk harga yang sangat terjangkau. Juaranya justru es krim rasa cappuccino chip. Aroma kopi susunya pas dengan tekstur dari choco chip. Segar!
Puas berburu buku sambil menyesap secangkir kopi, saya segera bermaksud untuk pulang. Sebagai oleh-oleh, saya membeli buku berjudul “Alam Pikiran Yunani” karya mantan presiden pertama RI, Mohammad Hatta. Buku ini merupakan salah satu buku bersejarah dan menarik untuk dibaca karena merupakan salah satu buku yang ditulis agar dapat menjadi bahan ajar filsafat di perguruan tinggi. Latar belakang ditulisnya buku ini juga cukup menarik. Berbeda Soekarno yang flamboyan dan dekat dengan banyak wanita, Mohammad Hatta bersumpah tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah tersebut benar-benar dijaga dan beliau menikah pada tanggal 18 November 1945, ketika beliau sudah berusaha 43 tahun. Sebagai seorang pecinta buku, mas kawin dari pernikahan Bung Hatta dengan Rahmi Rachim bukanlah perhiasan maupun barang-barang mewah, melainkan buku yang ditulis oleh Bung Hatta sendiri, yakni buku ini, yang saya peroleh seharga Rp40.000 pada salah satu kios di Wisata Buku Pasar Kenari
Menurut informasi dari pedagang, pasar buku ini buka dari jam 10 pagi sampai jam 7 malam. Perpindahan dari Kwitang ke sini sudah terjadi selama 5 bulan. Mereka sendiri mengatakan bahwa pengunjung belum seramai ketika berada di Kwitang, tetapi saya yakin bila tempat ini gencar dipromosikan, bisa lebih ramai daripada Kwitang. Sebab tempatnya mudah dijangkau, bersih, dan nyaman.
Namun dari sejauh pengamatan saya berada di sini, ada beberapa hal yang masih bisa menjadi perhatian Pemprov DKI untuk mengembangkan Wisata Buku Pasar Kenari ini, yakni:
- Masing-masing kios diberikan nama. Sejauh ini, semua kios masih tidak bernama sama sekali. Hal ini tentu menyulitkan apabila suatu hari saya menemukan buku langka dan ingin merekomendasikan kiosnya kepada teman saya. Dengan adanya nama kios, saya akan lebih mudah mereferensikan. Misalnya, beli di Kios X, Kios Pak Agus, dsb.
- Perlu adanya katalog buku. Saya rasa masing-masing pedagang bisa menyediakan katalog buku. Tidak harus yang canggih dan terkomputerisasi seperti di toko buku modern (kalau bisa lebih bagus lagi sih). Cukup misalnya, masing-masing kios mencantumkan list buku yang mereka jual, hal ini tentu akan lebih memudahkan mencari buku. Memang sih, kadang seninya berburu buku di pasar itu adalah mengubek-ubek tumpukan buku yang ada, tetapi bagi yang sedang cepat-cepat, mungkin kehadiran katalog sangat membantu.
- Ketiga, promosi masih harus digencarkan. Bisa dengan berbagai cara, tetapi saya melihat di Wisata Buku Pasar Kenari ini terdapat meeting rooom yang disewakan. Bisa saja, Pemprov DKI bekerjasama dengan penerbit tertentu, mengadakan bedah buku dengan mengundang penulis bukunya. Topiknya tentu harus yang kekinian dan digemari milenial. Ini bisa menjadi daya tarik tersendiri.
Melihat Wisata Buku Pasar Kenari yang nyaman ini, saya jadi optimis bahwa tempat ini masih bisa berkembang dan menjadi salah satu destinasi utama bagi pelajar maupun pecinta buku untuk berburu buku-buku langka dan murah. Saya juga berterima kasih kepada Pemprov DKI yang sudah berinisiatif untuk mengadakan destinasi wisata buku ini. Semoga lestari dan terus terjaga.