Suasana kurang piknik mulai terasa lagi setelah liburan terakhir di Purwakarta pada bulan April lalu. Awalnya destinasi yang saya tuju selanjutnya adalah Purwokerto – Baturraden (sebenarnya saya sudah pernah ke sana di tahun 2017, tetapi kangen lagi), namun kira-kira dua minggu sebelum mengambil cuti, tiba-tiba saya berubah pikiran dan ingin pergi ke Semarang juga. Sebagai kota kelima terbesar di Indonesia, saya menilai Semarang pasti memiliki banyak destinasi wisata yang ditawarkan: mulai dari kulinernya, budayanya, sejarahnya, sampai kekayaan alamnya. Jadilah saya mulai Googling dan menentukan hal-hal yang ingin saya lakukan di sana. Sangat banyak! Wisata kuliner terfokus di Kota Semarang dan wisata alam Semarang terfokus di Kota Ambarawa (ibukota dari Kabupaten Semarang), sedangkan wisata sejarah-budaya Semarang terpecah di beberapa titik: sebagian di Kota Semarang, sebagian di Ungaran-Bandungan, sebagian lagi di Ambarawa. Jadilah saya memutuskan untuk ber-backpacking ria ke Semarang-Ungaran-Ambarawa selama tiga hari. Konsepnya sederhana: naik kereta ke Semarang, rental motor, berpindah-pindah tempat, pulang naik pesawat dari Semarang.
Jadilah saya berangkat menggunakan kereta pada tanggal 9 Oktober 2019, jam 21.30 dari Stasiun Gambir, Jakarta.
10 Oktober 2019, Jam 03.00 Subuh: Tiba di Semarang
Perjalanan Jakarta – Semarang yang hanya sekitar lima jam membuat saya tiba jam 3 subuh di Stasiun Semarang Tawang. Sesuai rencana, saya berniat untuk tidur di kursi stasiun saja sambil menunggu langit terang. Tetapi rencana tidak berjalan sesuai harapan! Kursi stasiun kini sudah dilengkapi dengan sandaran tangan sehingga saya tidak bisa tidur berbaring di atas beberapa kursi sekaligus, praktis saya harus mencoba tidur dalam posisi duduk tegak. Agak sulit. Jadinya, saya hanya tidur-tidur ayam. Meski tidak tidur lelap, tetapi lumayan untuk menghimpun energi sebelum berwisata nanti.
Baru jam 05.30, tetapi langit sudah mulai cerah. Saya pun keluar dari stasiun dan berjalan kaki keliling sebentar untuk sekadar menghirup udara pagi. Pemandangan matahari terbitnya luar biasa!
Rental Motor (Mogok di Jalan!)
Segera saya menghubungi rental motor (dari Jakarta sudah saya book dulu) untuk menanyakan apakah kendaraan sudah bisa diambil. Dari pihak rental segera meminta saya ke sana. Lokasinya tidak jauh, sekitar Simpang Lima. Ketika tiba, transaksi langsung dilakukan. Saya membayar uang sewa sepeda motor selama tiga hari dan menitipkan KTP sebagai jaminan, kemudian pihak rental segera memberikan saya kunci motor beserta STNK. Deal! Dan kini saya sudah siap untuk berkeliling Semarang!
Namun nasib kurang beruntung, baru saja saya mengisi bensin hingga penuh dan berkeliling sebentar, sepeda motor langsung mati. Saya berulang kali mencoba menyalakan tetapi tidak berhasil. Walhasil saya langsung menelepon pihak rental untuk dibantu. Lima belas menit kemudian mereka datang sambil membawa sepeda motor yang lain. Ternyata, sepeda motor yang saya gunakan tadi adalah sepeda motor yang sudah lama tidak dipakai. Waduh! Agak kesal karena hal kecil seperti ini membuat saya rugi waktu 30 menit lebih (dan bensin Rp20.000!). Sialnya sepeda motor yang baru ini juga bensinnya sudah mau habis! Mau tidak mau harus isi bensin lagi. Agak kesal tapi ya mau bagaimana lagi.
Tapi enaknya, sepeda motor yang kali ini bagus sekali! Tarikannya kuat dan enak dikendarai. Nantinya sepeda motor ini juga saya bawa ke Candi Gedong Songo yang jalannya menanjak tinggi dan berkelok-kelok. Bersyukur juga bisa ditukar dengan motor ini!
Sarapan Soto dan Belut
Usai drama sepeda motor, perut pun terasa semakin lapar. Segera saya beranjak menuju Soto Bangkong yang berada di Jl. Brigjen Katamso. Dari info yang saya dapat, Soto Bangkong ini adalah rumah makan soto yang paling terkenal dan legendaris di Semarang (usianya sudah 7 dekade). Disebut Soto Bangkong karena dulu di jalan ini terdapat banyak bangkong (katak), tetapi sesungguhnya bahan utama soto ini adalah soto ayam. Banyak yang mengatakan belum lengkap ke Semarang kalau belum mencicipi semangkuk Soto Bangkong.
Saya tiba sekitar jam 07.00 pagi. Meski baru buka, tetapi tempat ini sudah ramai, padahal masih hari kerja. Wah, laris manis. Segera saya memesan menu andalan tempat ini: semangkuk soto ayam khas Semarangan yang dicampur dengan nasi. Dengan cepat, pelayan segera menyajikan semangkuk soto ayam dengan nasi di dalamnya. Mangkuknya unik, diameternya agak kecil tapi cukup tinggi. Harum aroma kaldu langsung menyeruak. Saya aduk sebentar, di dalam soto ini terdapat potongan ayam, rajangan seledri, tauge, potongan tomat, dan bawang putih goreng. Segera saya ambil suapan pertama. Rasa kaldunya ayamnya kental dengan samar-samar aroma bawang putih. Enak, gurih, dan menghangatkan. Di Jakarta, jarang saya menemukan soto bening dengan aroma kaldu yang kental seperti ini. Bahkan saya sampai tidak ingin menambahkan sambal agar aroma kaldunya tidak terganggu aroma cabai. Potongan daging ayamnya, meski menggunakan daging ayam kampung, tergolong cukup empuk. Rasanya berpadu dengan nasi yang dari awal sudah tercampur di dalamnya.
Bagi yang butuh pelengkap, tersaji juga aneka hidangan sampingan seperti sate kerang, sate telur puyuh, dan perkedel. Saya ambil masing-masing setusuk sate kerang dan sate telur puyuh untuk dicampur ke dalam soto. Rasanya semakin kaya dan nikmat.
Harganya Rp16.000 untuk semangkuk soto campur nasi, dan Rp6.000 untuk setusuk sate kerang maupun sate telur puyuh. Lumayan terjangkau untuk sebuah rumah makan yang sudah melegenda.
Meski perut sudah cukup terisi, tapi rasanya sayang kalau hanya mencicipi satu macam makanan. Saya segera mencari rumah makan recommended yang searah dengan tujuan saya selanjutnya, Sam Poo Kong. Dan saya menemukan Rumah Mangun Welut Hj. Nasimah yang cukup terkenal. Buktinya, rumah makan ini sudah bertahan sejak 1980 dan sering diliput media. Harusnya bisa menjadi jaminan kualitas rumah makan ini.
Lokasinya di Jalan Menoreh Raya dan sudah buka sejak pagi. Tempatnya tidak sulit untuk dicari. Begitu masuk ke dalam, kita langsung disambut dengan meja makan dan aneka lauk yang sudah siap untuk disantap. Lauknya beragam: ada ayam goreng, aneka tumisan sayur, telur dadar, gulai, rendang, belut, ikan, macam-macam!
Saya memesan seporsi mangun welut, menu yang paling terkenal dan favorit di tempat ini. Supaya makin lezat, saya juga memesan nasi putih yang dilengkapi dengan urap dan sayuran. Karbohidrat ada, protein ada, sayur-mayur ada, lengkap sudah!
Mangun welut, sesuai dengan namanya, adalah sajian berbahan dasar belut khas Semarang. Langsung suapan pertama saya masukkan ke dalam mulut, dan, wow, enak! Tekstur daging belutnya empuk dan mudah lepas dari tulang. Aromanya kaya dan rasanya juga lengkap, penuh rempah dan terdapat aroma bakar yang menandakan belut ini diasap terlebih dahulu. Ada asin, gurih, manis, dan PEDAS. Sengaja saya ketika dengan caps lock, PEDAS, sebab lidah saya langsung terasa panas! Meski rasanya lezat, hati-hati dengan pedasnya. Keringat saya sampai mengucur deras. Beberapa potong gorengan segera saya ambil untuk membantu meredakan pedas.
Overall, rasa mangun welut ini enak sekali. Saya rekomendasikan bagi penggemar masakan pedas. Harganya juga terjangkau, yakni Rp25.000 untuk seporsi mangun welut yang terdiri dari 3 potong belut.
Perut kenyang dan saya pun siap untuk menjelajahi Kota Semarang sampai dengan Ambarawa. Motor sudah siap, perut sudah terisi. Tancap!
Sam Poo Kong
Destinasi wisata pertama dimulai! Saya mengawali perjalanan di Semarang ini dengan Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng ini dibangun untuk mengenang Cheng Ho, seorang laksamana asal Negeri Tiongkok yang pergi berlayar dan mengunjungi tanah Jawa di masa pemerintahan Majapahit. Awal mulanya kunjungan ini terjadi karena banyak awak kapal Cheng Ho yang terserang penyakit, sehingga Cheng Ho memutuskan untuk singgah di sebuah pesisir di Jawa Tengah (sekarang kita kenal sebagai Semarang). Cheng Ho yang pandai berdiplomasi kemudian membaur dengan warga sekitar. Baik Cheng Ho dan anak buahnya banyak mengajarkan nilai-nilai Islami yang menjadi salah satu dasar berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Banyak pula awak kapal Cheng Ho yang kemudian menikah dengan warga setempat.
Salah satu peninggalan terbesar Cheng Ho, selain ajaran Islam, adalah goa yang digunakan oleh Cheng Ho untuk bersembahyang. Daerah di sekitar goa ini kemudian didirikan kelenteng oleh warga Tionghoa setempat, guna mengenang kedatangan Cheng Ho yang begitu diterima oleh warga. Jadilah Sam Poo Tong atau yang lebih terkenal disebut sebagai Sam Poo Kong.
Kesan pertama saya dari tempat ini adalah: komersil! Tiket masuknya Rp15.000 untuk sampai di halamannya saja dan kita harus menambah sekitar Rp25.000 lagi untuk bisa masuk ke komplek kelenteng. Khusus orang yang ingin bersembahyang, uang Rp25.000 itu akan dikembalikan lagi di pintu keluar, dengan syarat bisa menunjukkan bukti pembelian paket sembahyang. Lah sama aja dong, ujung-ujungnya duit juga!
Tapi sudahlah, toh pengelola pasti membutuhkan biaya untuk perawatan tempat ini. Jadi, lebih baik kita fokus pada objek wisatanya saja.
Ada banyak gedung kelenteng yang bisa kita kunjungi di sini. Pertama-tama, dari pintu masuk, saya menemukan kelenteng untuk Tu Di Ba Gong alias Dewa Bumi, dengan patung Delapan Dewa (Ba Shen) yang berjejer di depan kelenteng. Tu Di Ba Gong adalah dewa yang umum dihormati oleh orang-orang Tionghoa, biasanya ada di dalam rumah dan hampir selalu ada dalam setiap kelenteng. Sebagai seorang dewa, beliau merupakan simbolisasi dari rezeki dan perlindungan.
Selanjutnya adalah gedung batu yang menjadi ciri khas dari Sam Poo Kong. Di dalam gedung batu ini terdapat altar untuk menghormat kepada Cheng Ho (atau disebut juga Sam Poo Tay Djin). Sayangnya, di dalam gedung batu ini kita tidak boleh mengambil gambar. Tepat di luar gedung batu, terdapat relief-relief yang menceritakan perjalanan hidup Cheng Ho / Sam Poo, beserta penjelasannya dalam tiga bahasa (Indonesia, Inggris, dan Mandarin). Lumayan menarik dan edukatif. Oh iya, sebelum kita menuju ke dalam gedung batu ini, kita akan melewati altar Men Shen (Dewa Penjaga Gerbang) terlebih dahulu. Kehadiran Men Shen ini mengingatkan saya akan arca Dwaraphala yang kerap ditemui sebagai penjaga gerbang di candi-candi peninggalan Hindu-Buddha. Fungsinya sama, yakni sebagai penjaga kelenteng dari roh-roh jahat.
Jika kita lebih cermat lagi, tidak jauh dari altar Men Shen, kita bisa menemukan tangga kecil menuju bawah tanah. Kalau kita menuruninya, kita akan menemukan sebuah goa yang sudah ditutup oleh pintu teralis besi, tetapi kita masih bisa mengintip ke dalamnya. Inilah letak goa yang dibangun oleh Cheng Ho untuk bersembahyang dulu. Di dalam goa terdapat patung Sam Poo Kong dan tersedia altar untuk menaruh dupa sebagai penghormatan. Suasananya syahdu dan tenang. Menurut saya, inilah tempat yang paling autentik dan menarik dari komplek kelenteng Sam Poo Kong, meskipun konon katanya letak asli dari goa ini sudah berubah.
Ke gedung kelenteng selanjutnya, saya menemukan bangunan yang terdiri dari tiga altar, yakni: (1) Kong Hu Cu, (2) Kiai Djangkar, dan (3) Arwah Hoo Phing. Altar yang berada di tengah adalah altar untuk Kong Hu Cu, yang merupakan salah satu tokoh filsuf paling penting bagi orang Tionghoa. Altar di sebelah kiri Kong Hu Cu adalah altar Kiai Djangkar, yang merupakan altar unik dari kelenteng ini. Kiai Djangkar sendiri merupakan jangkar yang Cheng Ho / Sam Poo gunakan ketika sedang berlabuh. Sudah menjadi tradisi orang Jawa ketika benda-benda yang dianggap berjasa (atau bertuah) diberikan gelar “kiai”, seperti keris milik Pangeran Diponegoro yang dinamai “Keris Bondoyudo” atau kereta kencana milik keraton yang diberi nama “Kiai Garuda Yeksa”. Jangkar ini dianggap berjasa karena berkat jangkar inilah Cheng Ho bisa berlabuh di tanah Semarang. Lalu, apa maksudnya penghormatan kepada jangkar ini? Apakah ini adalah bentuk pemberhalaan? Sebenarnya tergantung bagaimana kita menyikapi hal ini. Bagi saya sendiri, munculnya altar Kiai Djangkar memiliki dua makna, yakni: (1) membaurnya keyakinan dewa-dewi Tionghoa dengan keyakinan animisme asli nusantara, di mana sebuah benda penting diberi gelar (keyakinan animisme asli nusantara) dan kemudian dihormati dengan didirikan altar (keyakinan tradisional Tionghoa); dan (2) sebagai objek wisata yang memiliki nilai sejarah tinggi. Kehadiran altar Kiai Djangkar ini menjadi tanda pernah membaurnya keyakinan asli Jawa dan keyakinan tradisional Tionghoa di bumi nusantara.
Sedangkan altar arwah Hoo Phing, maksudnya adalah altar untuk menghormati arwah-arwah yang tidak disembahyangi oleh keturunannya. Ini adalah keyakinan tradisional Tionghoa, di mana orang-orang yang sudah meninggal memiliki kemungkinan untuk tidak terlahir kembali dan masih menjadi arwah yang berkeliaran. Arwah ini kemudian biasanya disembahyangi oleh keturunannya, sebagai bentuk penghormatan dan pengingat kepada leluhur. Namun jika tidak ada keturunan yang menyembahyangi arwah ini, maka kelenteng biasanya mengadakan upacara sembahyang hoo phing untuk mendoakan arwah-arwah ini. Altar ini didedikasikan untuk arwah-arwah yang tidak disembahyangi oleh keturunannya, dan juga untuk kru-kru kapal Cheng Ho yang sudah meninggal dan tidak memiliki keturunan (atau tidak jelas di mana keturunannya saat ini).
Selain itu, saya juga menemukan altar Juru Mudi di sini. Yang dimaksud dengan juru mudi tak lain adalah Ong Keng Hong, yang mengemudikan kapal Cheng Ho hingga berlabuh di Majapahit. Kala itu Ong Keng Hong lah yang sedang sakit keras sehingga mau tidak mau Cheng Ho harus singgah sejenak di bumi nusantara. Di kala masa persinggahan tersebut itulah, Ong Keng Hong menjadi salah satu tokoh yang memperkenalkan Islam kepada penduduk sekitar. Di altar Juru Mudi ini, terdapat dua patung Dwaraphala (penjaga gerbang) yang merupakan ciri khas keyakinan tradisional Jawa Kuno. Kehadiran Dwaraphala di dalam kelenteng memberikan suasana sinkretisme yang kental. Di belakang altar, kita bisa menemukan makam Juru Mudi.
Di ujung komplek kelenteng, terdapat makam Mbah dan Nyai Tumpeng, juru masak di kapal Cheng Ho. Ada dua penjelasan mengenai nama “tumpeng” ini, yang pertama, nama “tumpeng” merupakan gabungan dari nama Mbah Tum dan Nyai Pheng. Penjelasan yang kedua, mereka dinamai “tumpeng” karena memang gemar memasak nasi tumpeng.
Apapun itu, maksud dari kehadiran makam ini adalah untuk menghormati dua sosok yang juga dianggap berjasa kepada Cheng Ho. Saya melihat sebuah nilai yang amat positif di dalam kelenteng ini. Melihat makam-makam yang ada di sini, saya merasa bahwa pada zaman dulu kala orang-orang Jawa amat menghargai jasa seseorang. Terbukti dari dibuatkannya makam juru mudi dan juru masak dari Cheng Ho, yang hingga kini masih didatangi untuk diberikan penghormatan. Nilai-nilai respect ini seharusnya bisa terus dipertahankan di dalam zaman modern ini.
Selain nilai respect, saya juga melihat nilai toleransi yang begitu kental. Sam Poo Kong tidak hanya dikunjungi oleh orang-orang Tionghoa yang ingin bersembahyang saja, tetapi juga dikunjungi oleh penganut aliran Kejawen (keyakinan tradisional Jawa) yang ingin memberikan penghormatan. Menariknya lagi, baik Sam Poo Kong dan sebagian besar krunya justru beragama Islam! Artinya, dalam kelenteng ini terdapat tiga keyakinan yang dapat berdiri berdampingan dengan harmonis: (1) Tionghoa, (2) Jawa / Kejawen, dan (3) Islam. Di tengah-tengah terkikisnya toleransi antar suku dan antar agama saat ini, hendaknya kita bisa kembali bercermin ke masa lalu di mana perbedaan suku maupun agama bukanlah alasan untuk terpecah-belah.
Well, puas mengelilingi Sam Poo Kong yang sarat akan nilai kehidupan ini, saya pun melanjutkan perjalanan. Tujuan saya selanjutnya adalah museum yang terletak tak jauh dari sini, yaitu Museum Ranggawarsita. Cerita selanjutnya bisa dibaca di sini (bagian 2).