Tulisan ini merupakan kelanjutan dari catatan backpacking saya di Semarang hari pertama. Baca dulu bagian 1 sebelum melanjutkan bacaan ini.
Setelah puas melihat-lihat Sam Poo Kong, saya segera menuju destinasi wisata lainnya. Di peta, saya melihat Sam Poo Kong dekat dengan sebuah museum yang dikelola oleh Pemprov Jawa Tengah, yakni Museum Ranggawarsita. Museum ini terlihat menarik karena menawarkan informasi seputar budaya Jawa Tengah.
Museum Ranggawarsita
Suasana museum ramai sekali karena ada kunjungan dari sekolah. Sempat ingin membatalkan masuk karena saya khawatir akan berdesak-desakan, tetapi akhirnya niat tersebut saya urungkan karena belum tentu saya masih berkesempatan untuk ke sini di lain waktu.
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, museum ini berisikan informasi seputar Jawa Tengah. Nama “Ranggawarsita” sendiri berasal dari nama salah seorang pujangga Jawa yang hidup pada tahun 1802-1873 masehi. Dari nama ini tersirat bahwa Museum Ranggawarsita akan menyajikan banyak informasi mengenai budaya Jawa Tengah dari zaman dulu hingga sekarang.
Tiket masuknya Rp4.000 seorang. Tergolong murah untuk sebuah museum. Museum ini terdiri dari 4 ruang dan 2 lantai, masing-masing diberi nama Ruang A sampai Ruang D. Tiap ruang memiliki koleksi tersendiri yang disajikan untuk pengunjung.
Kesan umum saya terhadap museum ini adalah: cukup edukatif, tetapi penyajian koleksi masih belum menarik. Informasi yang ditawarkan oleh museum ini sebenarnya tergolong lengkap. Ada informasi mengenai gempa bumi, fosil-fosil makhluk purbakala yang ditemukan di Jawa Tengah, kota dan kabupaten yang terdapat di Jawa Tengah, baju adat, alat musik, permainan, sampai dengan sejarah Jawa Tengah. Informasinya kaya dan sebenarnya bisa menjadi salah satu rujukan untuk mendalami budaya Jawa. Namun, menurut saya museum ini perlu dibenahi lagi agar bisa menjadi lebih menarik. Penerangan di dalam museum agak remang dan koleksi tidak ditata secara menarik, hal ini membuat museum terasa kurang hidup dan tidak merangsang saya untuk mengeksplorasi lebih lanjut. Selain itu, jika bisa museum ini dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang “kekinian” agar bisa digemari oleh milenial dan Gen Z. Penerangan yang proper dan penataan koleksi yang tepat juga bisa menjadi spot foto yang menarik bagi milenial, dan nantinya foto-foto ini akan diunggah ke dalam media sosial sehingga menarik perhatian calon pengunjung lainnya. Sebagai contoh, Museum Wayang di Mojokerto sangat menarik untuk dikunjungi karena koleksi wayangnya unik dan lengkap. Berfoto di tengah-tengah koleksi lengkap boneka Unyil akan menjadi pengalaman yang menarik, atau contoh lainnya, fasilitas virtual reality di Museum Gedung Sate Bandung juga menjadi salah satu pengalaman yang menyenangkan bagi pengunjung. Jika museum bisa menawarkan pengalaman kepada pengunjungnya, maka museum itu akan menarik dan menyenangkan untuk dikunjungi.
Ada dua koleksi yang menurut saya unik dan menarik dari museum ini (belum pernah saya temukan di museum lain), yakni: (1) boneka brendung, dan (2) pasren.
Brendung adalah sejenis boneka yang terbuat dari batok kelapa dan bambu, kemudian diberikan pakaian layaknya manusia. Boneka ini kemudian akan dimainkan dengan iringan alat musik tradisional Jawa. Menariknya, boneka ini konon katanya akan diisi oleh arwah, menjadi berat, dan dapat bergerak sendiri. Mirip jaelangkung. Meskipun mengandung unsur mistis, tetapi inilah salah satu budaya tradisional asli Jawa yang perlu dihargai. Tak banyak informasi yang bisa saya temukan tentang brendung, mungkin salah satu blog yang bisa dibaca jika tertarik dengan brendung adalah blog ini.
Sedangkan pasren sendiri adalah sebuah bilik yang biasa ditemui oleh rumah-rumah tradisional tempo dulu di Semarang, terutama di rumah keluarga petani. Pasren ini dibuat untuk penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam keyakinan tradisional Jawa. Para petani di zaman dulu sangat meyakini bahwa keberhasilan panen mereka sangat bergantung pada kemurahan hati Dewi Sri. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah ruangan kecil di belakang rumah, yang dilengkapi dengan tempat tidur, bantal, dan tirai. Mereka meyakini bahwa tempat ini kadangkala akan disinggahi oleh Dewi Sri dan sang dewi kesuburan dapat berbaring di sana untuk beristirahat. Lagi-lagi sebuah keyakinan tradisional Jawa yang perlu kita hargai, sekalipun sekarang zaman sudah modern.
Selain ada ruang koleksi, di dalam museum ini juga ada perpustakaan yang bisa kita kunjungi. Hal yang paling menarik dari perpustakaan museum ini adalah koleksi karya sastra Jawa yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara lengkap! Bagi penggemar Sastra Jawa baik kuno ataupun modern, perpustakaan ini cukup valuable untuk dikunjungi. Museum lain yang saya ketahui memiliki koleksi karya-karya sastra Jawa yang cukup lengkap adalah Museum Radya Pustaka di Solo.
Well, saya tidak menghabiskan waktu terlalu lama di dalam museum ini karena waktu sudah menunjukkan jam makan siang dan perut saya sudah lapar.
Makan Siang: Tahu Gimbal Lumayan
Dari pinggir kota Semarang, saya mulai kembali ke tengah kota, karena hotel dan destinasi saya selanjutnya berada di Simpang Lima yang terletak di tengah kota. Saya memutuskan untuk makan siang di pusat kota, yakni di kedai Tahu Gimbal Lumayan.
Tahu gimbal adalah hidangan khas Semarang dengan bahan utama tahu dan gimbal. Apa itu gimbal? Gimbal adalah rempeyek udang yang juga menjadi salah satu bahan utama makanan ini. Nantinya tahu dan gimbal ini kemudian disiram dengan bumbu kacang sehingga menghasilkan rasa yang gurih dan manis. Dan dari penelusuran saya di Google, salah satu tempat makan tahu gimbal yang direkomendasikan adalah kedai Tahu Gimbal Lumayan
Tempatnya cukup mudah dicari meski tidak mewah. Hanya berupa kedai dan di depannya tertutup oleh spanduk kuning besar bertuliskan Tahu Gimbal Lumayan Pak Man. Begitu masuk, nampak kedai ini adalah kedai yang sudah berusia cukup tua. Meski tidak menggunakan AC sebagai pendingin, tetapi ternyata tempatnya tidak panas. Langsung saja saya memesan seporsi tahu gimbal. Ternyata kita bisa memilih, ingin tahu gimbal yang lengkap atau biasa. Lengkap berarti ditambah lagi dengan lontong dan telur. Saya memilih yang biasa saja.
Tak lama seporsi tahu gimbal langsung tersaji. Aroma bumbu kacang yang wangi langsung tercium. Oh iya, udang gimbalnya besar-besar dan lumayan banyak! Saya sempat berpikir, apa tidak rugi ya udangnya banyak dan sebesar ini dihargai Rp20.000 seporsi? Tapi sudahlah, mari langsung disantap saja. Tahu gorengnya padat dan nikmat, sedangkan udang gorengnya cukup enak. Ada udang yang masih fresh, ada yang nampaknya sudah mulai kurang fresh. Tapi masih wajar dan layak untuk disantap. Menurut saya, yang istimewa di sini adalah bumbu kacangnya! Rasanya gurih dan manis, dan kacangnya tidak benar-benar dihaluskan sehingga tekstur renyah dari serpihan kacang masih bisa kita dapatkan. Aroma bawang putih cukup kuat, tetapi tidak membuat eneg atau menusuk hidung. Menurut saya, tahu gimbal di sini tergolong enak!
Porsi lumayan, harga murah, rasa enak. Saya juga ikut merekomendasikan tempat ini untuk dikunjungi oleh teman-teman pembaca yang datang ke Semarang. Sayangnya, karena saat itu perut saya sudah sangat lapar, saya lupa untuk mengambil foto tempatnya.
Check-in Penginapan Dulu & Istirahat Siang
Mungkin karena semalam saya kurang mendapatkan tidur yang cukup dan baru saja bersantap siang, rasa kantuk yang kuat mulai menyerang. Saya langsung menuju penginapan yang terletak di sekitar Simpang Lima (tidak jauh dari Tahu Gimbal Lumayan juga).
Saya menemukan penginapan ini dari Traveloka, namanya adalah “Airy Eco Simpang Lima Tri Lomba Juang 24A”. Saya memilih tempat ini karena tiga alasan: (1) harganya murah, yakni hanya Rp150.000 semalam, (2) lokasi strategis, dan (3) review-nya bagus. Jadilah saya tertarik dan memutuskan untuk menginap di hari pertama. Proses check-in cukup mudah dan kita diminta memberikan deposit sebesar Rp50.000. Setelah itu, kunci langsung diberikan dan kita sudah bisa menggunakan kamar.
Kamarnya tergolong luas. Ada toilet kit, kamar mandi dalam dengan kloset duduk, dan snack box. Lumayan! Tapi secara umum, sebenarnya saya kurang puas dengan hotel ini. Pertama, AC-nya panas! Meski sudah nyala semalaman, tetap saja ruangan tidak terasa dingin. Kedua, sekitar kamar saya berisik sekali! Suara-suara orang di luar kamar dan di kamar sebelah terdengar jelas hingga ke dalam kamar, dan jelas ini mengganggu tidur saya. Ketiga, lantai kamarnya kotor. Setiap saya menginjakkan kaki, terasa ada debu yang menempel ke telapak. Meski harga semalamnya hanya Rp150.000, tetapi menurut saya kurang worth. Saya pribadi sering menggunakan hotel-hotel murah yang hanya Rp100.000-Rp200.000 semalam dan selalu menemukan yang lebih baik dari ini.
Tapi, ya sudahlah. Keluhan juga sudah saya sampaikan ke pihak Traveloka (tempat saya memesan). Semoga bisa disampaikan ke pihak Airy Eco dan dilakukan pembenahan.
Yang penting tidur siang dulu, capek.
Menengok Lawang Sewu
Setelah tidur siang sejenak dan badan terasa segar kembali, saya kembali melanjutkan wisata. Destinasi kali ini adalah gedung yang paling ikonik dari Semarang: Lawang Sewu. Sebagian besar pembaca pasti sudah familiar dengan nama ini, terutama sebagai nama tempat angker yang kerapkali dijadikan lokasi uji nyali.
Lawang Sewu aslinya adalah gedung Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (Kantor Kereta Api Belanda) yang selesai dibangun pada tahun 1907. Setelah Indonesia merdeka gedung ini juga pernah menjadi kantor PT Kereta Api Indonesia dan menjadi lokasi “Pertempuran Lima Hari di Semarang” melawan Jepang. Oleh sebab itulah kini Lawang Sewu menjadi salah satu bangunan bersejarah di Kota Semarang yang dilindungi. Gedung ini sekarang disebut “lawang sewu” yang berarti “seribu pintu”. Nama “seribu pintu” digunakan karena terdapat banyak sekali pintu di dalam gedung ini, meskipun tidak ada yang pernah benar-benar menghitung jumlah pintunya. Tiket masuknya murah, kalau tidak salah hanya Rp10.000 per orang. Dulunya pengunjung bisa masuk ke dalam ruang bawah tanah dan merasakan “sensasi” angker, namun kini ruang bawah tanah sudah ditutup untuk umum.
Tempat ini sebenarnya memuat banyak informasi tentang perkeretaapian di Indonesia, tetapi saya rasa daya tarik tempat ini justru nuansa gedung tempo dulu yang unik dan tempat yang menarik untuk berfoto. Ada beberapa spot yang cukup menarik untuk berfoto ria, misalnya di area kaca patri, lorong, atau di deretan pintu Lawang Sewu.
Banyak orang yang lebih tertarik ke Lawang Sewu pada malam hari. Selain karena lampu-lampu di dalam Lawang Sewu akan menyala, suasana “uji nyali”-nya juga lebih terasa. Tetapi saya sendiri datang pada sore hari, dan suasana pada sore hari juga tak kalah indah.
Nasi Ayam Enak!
Usai berjalan-jalan di Lawang Sewu, saya kembali bermaksud untuk berwisata kuliner. Kali ini tujuan saya adalah sebuah kedai nasi ayam yang katanya paling enak se-Kota Semarang: nasi ayam Bu Wido. Dari informasi yang saya dapatkan, nasi ayam Bu Wido ini sudah ada sejak tahun 1958. Lokasinya dekat dengan pusat kota, hanya beberapa kilometer dari Simpang Lima. Sama seperti Tahu Gimbal Lumayan, Nasi Ayam Bu Wido juga berbentuk kedai. Tempatnya sederhana, namun ternyata begitu masuk, tempat ini bisa memuat banyak orang. Bahkan infonya, semakin malam, tempat ini akan semakin ramai dan penuh.
Seporsi nasi ayam hanya Rp10.000. Isinya adalah nasi putih, krecek, setengah butir telur pindang, sayur labu, tahu goreng, dan suwiran daging ayam yang disiram dengan kuah gulai santan. Rasanya gurih bukan main! Bagi yang masih merasa kurang gurih, tersedia juga kuah kari di masing-masing meja yang bisa langsung disiramkan ke atas pincukan nasi. Nasi ayam ini bisa dinikmati dengan tambahan potongan daging ayam, telur puyuh, jerohan, kerupuk karak, dan pelengkap lainnya; dengan tambahan biaya tentunya. Jujur saja, nasi ayam Bu Wido ini enak sekali, bahkan bisa dibilang masakan favorit saya sepanjang saya berada di Semarang!
Wedangan di Semarang (Ada Wedang Duren!)
Sang ibu penjual nasi ayam sebenarnya sempat menawarkan saya untuk menambah seporsi nasi ayam lagi. “Nambah, mboten?” Tanya beliau. Sebenarnya seporsi terasa kurang dan saya masih ingin menambah, tapi saya tahu masih ada destinasi wisata kuliner lainnya yang ingin saya datangi. Kali ini cukup unik, karena makanan yang ingin saya cicipi adalah… wedang duren.
Melewati malam hari di Jawa identik dengan wedangan. Ada wedang jahe, wedang kacang, dan sebagainya. Tapi di Semarang, ada sajian unik bernama wedang duren. Ada banyak tempat yang menjual wedang duren, tetapi saya memilih untuk mencobanya di tenda Kacang Ijo Kapuran yang terletak tak jauh dari kedai Bu Wido. Katanya, di tempat ini tersedia berbagai macam wedangan dengan camilan yang enak dan murah meriah.
Langsung saja saya pesan: wedang duren, wedang kacang ijo, dan lumpia goreng sebagai hidangan penutup hari ini. Tak lama semerbak aroma wedang yang hangat segera tersaji di atas meja. Saya mulai dari wedang kacang ijo dulu. Kuahnya adalah kuah santan, rasanya gurih dan legit. Butiran kacang hijaunya juga cukup banyak dan empuk sekali, dimasak dengan pas. Lumpianya sendiri, cocok menjadi santapan pendamping. Tentu tidak seistimewa lumpia Gang Lombok yang terkenal dan mahal itu, harga lumpia di sini hanyalah setengah harga dari lumpia Gang Lombok, tetapi rasanya boleh juga.
Dan yang paling saya tunggu-tunggu adalah wedang duren. Sejak berangkat dari Jakarta, saya sudah penasaran akan seperti apa rasa wedang duren ini. Awalnya semangkuk hangat kuah santan tersaji di atas meja. Ini dia wedang durennya. Aroma yang dominan adalah aroma santan, sedangkan aroma duriannya sendiri agak kalah. Begitu isian mangkuk saya aduk, selain ada durian juga ada ketan putih yang jumlahnya lumayan banyak. Duriannya sendiri sudah dipotong kecil-kecil, jauh lebih banyak ketan putih di dalamnya. Ketan putihnya sendiri, sih, empuk. Tetapi ekspektasi saya nampaknya agak ketinggian, saya sempat mengira wedang duren ini akan didominasi oleh aroma durian yang bercampur dengan aroma santan sehingga munculah paduan rasa gurih, legit, dan aromatik sekaligus. Tapi tidak kecewa juga sih, sebab rasanya juga tergolong enak.
Harga wedangannya adalah Rp7.000 per mangkuk. Murah dan menghangatkan.
Good Night Semarang
Perut kenyang, waktu sudah malam. Berbagai tempat wisata sudah tutup, kecuali Lawang Sewu yang semakin ramai oleh pengunjung. Saya sempat berkeliling sebentar untuk menikmati Semarang di malam hari. Selain Lawang Sewu, titik ramai lainnya adalah Simpang Lima. Daerah ini didominasi oleh aneka kuliner yang jumlahnya sangat banyak. Bisa menjadi destinasi juga jika sedang bingung ingin makan apa.
Tidak banyak yang saya lakukan di malam hari, selain berjalan-jalan sejenak di lapangan Simpang Lima dan Toko Buku Gramedia. Maka setelah itu saya pun segera kembali ke penginapan, tidur, dan berlanjut ke hari kedua.