Usai menjelajahi Candi Gedong Songo (baca: catatan backpacking Semarang & Ambarawa hari 2 bagian 1), saya bersantap siang dan segera melanjutkan perjalanan ke arah Ambarawa, yang lokasinya berada di selatan. Jarak dari Kota Semarang menuju Kota Ambarawa adalah 40 kilometer, tetapi dari Candi Gedong Songo jaraknya hanya sekitar 12 kilometer lagi, melewati Bandungan. Pemandangan khas pegunungan beserta suasana yang sejuk menjadi teman perjalanan.
Museum Kereta Api Ambarawa
Destinasi pertama saya di Ambarawa adalah Museum Kereta Api. Museum ini, sesuai dengan namanya, menyajikan berbagai koleksi bertema kereta api, terutama dari peninggalan zaman Belanda. Museum ini sebelumnya adalah Stasiun Ambarawa (pada zaman Belanda juga disebut sebagai Stasiun Willem), yang sudah aktif 1873 hingga akhirnya ditutup pada 1976 dan dialihfungsikan sebagai museum.
Tiket masuknya kalau tidak salah Rp15.000. Lokasinya luas sekali dan penuh dengan nuansa historis.
Stasiunnya sangat menarik untuk ditelusuri. Pertama-tama, di area utama museum, saya bisa melihat bangunan asli Stasiun Ambarawa yang sangat oldies. Terbayang bagaimana di sini dulunya adalah tempat banyak orang berpisah. Ketika seseorang berpamitan untuk pergi dan tidak tahu kapan akan kembali. Jika pada zaman sekarang sudah ada ponsel dan internet untuk berkomunikasi dengan mudah, zaman dulu komunikasi jarak jauh hanya bisa menggunakan surat, dan belakangan, telepon jarak jauh yang tarifnya sangat mahal.
Banyak lokomotif tua yang kini menetap di museum ini. Gaya lokomotif yang oldies dan bernilai sejarah ini menarik banyak pengunjung untuk berfoto-foto.
Berjalan lebih jauh lagi, kita akan menemukan area pameran koleksi dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkeretaapian, seperti kartu tanda karyawan PT KAI dan tiket kereta api pada zaman dulu.
Di area belakang, kita bisa melihat bangunan stasiun-stasiun zaman dulu yang sudah dipindahkan ke sini. Dipindahkan? Ya, karena stasiun-stasiun ini dulu terbuat dari bahan kayu, maka akhirnya bangunan stasiun ini diangkut dan dimuseumkan. Benar-benar menarik! Ada Stasiun Kalisamin yang sudah ada sejak tahun 1922, ada juga Stasiun Cicayur yang sudah ada sejak tahun 1989. Seratus persen bangunan terbuat dari kayu, lengkap dengan loket sampai tempat duduk.
Lanjut, di area utama stasiun, yakni Stasiun Ambarawa itu sendiri, semakin banyak tempat yang bisa kita kunjungi. Ada ruang makan yang sangat bernuansa oldies dan menarik banyak pengunjung untuk berfoto di sana. Suasana zaman dulu mendominasi sekali area ini. Di sisi lain museum, ada juga kereta baca yang berfungsi layaknya perpustakaan, ada berbagai buku pengetahuan umum yang bisa kita baca di sini.
Secara keseluruhan, tempat ini penuh dengan spot-spot yang cocok untuk berfoto ria. Bahkan kita bisa berfoto duduk di tengah rel kereta yang sudah tidak aktif lagi. Bagi anda yang datang di hari Sabtu dan Minggu, bahkan anda bisa naik kereta wisata di stasiun ini untuk menikmati suasana.
Menurut saya Museum Ambarawa ini menarik sekali, cocok bagi keluarga yang ingin berwisata sejarah dengan santai dan ceria.
Gua Maria Kerep
Destinasi selanjutnya adalah Goa Maria Kerep yang terletak tidak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa. Tempat ini cukup sering dikunjungi sebagai tempat peziarahan umat Katolik di Indonesia.
Tempat ini dibangun pada tahun 1954 sebagai sumbangan dari seorang warga Belanda yang langsung diberkati oleh Uskup Agung Semarang dengan air suci dari Lourdes. Bentuk patung Bunda Maria di sini pun dibuat serupa dengan yang ada di Lourdes.
Tepat di tempat parkir, kita bisa langsung menemukan patung Bunda Maria setinggi kurang lebih 23 meter. Karena bentuk patungnya yang tinggi (dan jarang bisa ditemui di tempat-tempat lain), maka banyak orang yang berfoto-foto di sini.
Keluar dari komplek parkir, saya langsung menyeberang menuju lokasi peziarahan. Ada banyak titik yang bisa dikunjungi di sini. Pertama, saya langsung menuju lokasi persis Gua Maria yang ramai dengan orang yang sedang berdoa saat itu. Di sini terdapat larangan untuk berbicara dan menimbulkan suara gaduh. Orang-orang datang, menaruh bunga, menyalakan lilin, dan duduk sambil berdoa. Sama sekali tidak ada yang berbicara. Jika pun ada yang berkomunikasi, mereka hanya berbisik-bisik. Karena saya bukan penganut Katolik, maka saya hanya sekadar datang untuk melakukan penghormatan kepada Bunda Maria, dan pindah ke titik lain agar tidak mengganggu para peziarah.
Lokasi lainnya adalah Taman Doa. Sesuai namanya, tempat ini adalah sebuah taman yang luas dengan berbagai diorama bertemakan kehidupan Yesus. Lagi-lagi, karena saya bukan penganut Kristen maupun Katolik, maka saya tidak bisa bercerita banyak di sini. Tempat yang paling menarik perhatian saya di sini adalah makam Yesus yang bisa dikunjungi langsung oleh pengunjung.
Selesai berkeliling, saya keluar dari kompleks Gua Maria. Di sini ada banyak sekali penjual makanan maupun minuman, namun sayangnya harganya cukup mahal. Misalnya, segelas es jeruk dihargai Rp12.500 dan leker dengan ukuran yang agak besar dihargai Rp10.000 per buah.
Menginap di Bandungan
Usai kunjungan dari Gua Maria, saya langsung menuju hotel karena badan yang sudah lelah. Waktu pun sebenarnya sudah menunjukkan pukul 18.00. Sebelumnya saya sudah memesan hotel yang bernama Grand Panorama Hotel di Bandungan, sekitar 30 menit dari Ambarawa.
Ketika saya sampai, langit sudah gelap. Saya juga baru mengetahui bahwa malam di Bandungan sangat gelap (minim penerangan dan sepi), serta banyak kafe-kafe “hiburan” di sana. Jujur saja, saya merasa tidak aman berkeluyuran malam hari di sini, sehingga akhirnya saya memutuskan untuk makan malam di hotel saja.
Usai check-in, saya langsung berjalan menuju restoran hotel. Dari review yang saya baca di Traveloka dan Google, banyak pengunjung Grand Panorama Hotel yang memuji masakan restorannya, tentu saja membuat saya penasaran. Restorannya sendiri tidak terlalu mewah, hanya seperti sebuah ruang makan dengan sekitar 10 meja di dalamnya. Menunya beragam, dengan masakan khas Jawa yang mendominasi. Harganya murah meriah untuk ukuran restoran hotel! Saya memesan sepiring nasi goreng spesial dan cap cay kuah untuk menghangatkan diri.
Nasi goreng spesial adalah nasi goreng yang disajikan dengan telur, ayam, sosis, bakso, dan babat. Lengkap meriah! Rasa nasi gorengnya sebenarnya standar ala nasi goreng pada umumnya. Enak, tetapi tidak sampai membuat saya merasa istimewa. Sedangkan cap cay kuahnya lebih saya favoritkan. Dengan Rp15.000 per porsi, saya mendapatkan kol, sawi putih, brokoli, kembang kol, wortel, daging ayam, sosis, dan bakso yang dimasak kuah. Rasanya gurih dan hangat! Masakannya memang enak dan cocok sebagai tempat bersantap malam bila sedang berada di Bandungan.
Selesai makan, saya kembali ke kamar hotel. Hotel ini saya pilih karena harganya yang sangat terjangkau (Rp200.000 per malam untuk akhir pekan, sedangkan untuk weekdays lebih murah lagi). Fasilitasnya lumayan, ada kamar mandi dalam yang bersih dan breakfast. Tidak ada AC, yang ada hanyalah kipas angin; tetapi tidak menjadi masalah karena sesungguhnya Bandungan berada di kawasan pegunungan dan malam harinya sudah dingin sekali.
Saya langsung mematikan lampu, menarik selimut, dan memejamkan mata. Lanjut ke hari ketiga.