Pagi hari tiba dan matahari pun terbit di Bandungan. Hari ini adalah hari terakhir saya berwisata di Semarang – Ambarawa dan saya akan kembali ke Kota Semarang pada siang hari ini. Sebelumnya, saya berencana untuk berkeliling di Bandungan dan Ambarawa terlebih dahulu.
(Tulisan ini adalah catatan perjalanan saya di Semarang dan Ambarawa pada hari ketiga. Jika anda belum membacanya dari awal, anda bisa membaca catatan perjalanan pada hari pertama terlebih dahulu di sini.)
Pasar Bandungan
Rencana saya pagi hari ini adalah pergi ke Pasar Bandungan. Sebenarnya tidak ada yang terlalu istimewa dari pasar ini, sebab layaknya pasar tradisional, di sini terdapat banyak orang berjualan bahan makanan maupun peralatan rumah tangga. Saya sangat menyukai suasana di pasar tradisional karena biasanya di tempat-tempat ini kita bisa melihat suasana autentik dari suatu daerah, mulai dari kehidupan sosial, kuliner khas, sampai kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Pertama-tama adalah sarapan terlebih dahulu. Kuliner yang khas di Pasar Bandungan adalah bubur pecel. Saya katakan khas karena memang bubur pecel banyak direkomendasikan oleh orang-orang Bandungan, dan tepat di Pasar Bandungan ini ada banyak sekali penjual bubur pecel. Saya mengunjungi salah satu penjual yang cukup terkenal. Tidak ada plang nama dan bukan berbentuk kedai, hanya sebuah meja sederhana di pinggir jalan.
Sesuai namanya, bubur pecel adalah gabungan dari bubur dengan pecel. Bubur yang digunakan adalah bubur beras putih, alias bubur yang sering digunakan dalam bubur ayam. Namun berbeda dengan bubur ayam yang disajikan dengan daging ayam suwir dan aneka jerohan ayam, bubur pecel disajikan dengan aneka sayur mayur yang diguyur bumbu kacang, lodeh, cap jay (sayuran goreng seperti bakwan, namun dipotong kecil-kecil), dan mie goreng. Sederhana sekali, namun ternyata rasanya begitu harmonis di lidah. Pedas, gurih, asin, dan manis tercampur menjadi satu.
Jika ingin lebih unik lagi, anda bisa meminta sang Ibu penjual untuk menggunakan kerupuk samier (kerupuk berukuran lebar yang terbuat dari singkong, seperti opak) sebagai pengganti alas makan anda. Ya, betul, pengganti alas makan. Jika umumnya bubur pecel disajikan di atas piring yang dialasi kertas nasi, maka anda bisa meminta agar bubur pecel disajikan di atas kerupuk samier. Penyajian dengan cara ini cukup favorit bagi beberapa pengunjung. Oleh karena itu, bubur pecel juga seringkali disebut sebagai bubur samier.
Harganya hanya Rp5.000 seporsi. Murah meriah, namun di sini dianggap harga yang wajar.
Selain bubur pecel, saya juga menghampiri salah satu dari sekian banyak penjual gorengan. Gorengan di sini berbeda dengan tukang gorengan yang umum saya temui di Jakarta. Tidak ada tahu goreng, tempe goreng, cireng, atau singkong goreng; di sini yang terkenal adalah getuk. Berbeda dengan getuk di Magelang yang dikukus, di Bandungan getuk diolah dengan cara digoreng. Namun getuk goreng di Bandungan juga berbeda dengan getuk goreng khas Sokaraja atau Banyumas; getuk goreng Bandungan berwarna putih dan dibentuk seperti pastel. Kulitnya adalah adonan singkong dengan isian gula putih cair di dalamnya. Begitu digigit, tekstur renyah adonan singkong goreng langsung terasa, lalu perlahan-lahan gula lumer meleleh di dalam mulut. Enak sekali.
Baik bubur pecel maupun getuk di Pasar Bandungan harus anda cicipi jika sedang mampir ke sini.
Puas mengisi perut, saya coba menengok ke salah satu penjual bahan makanan. Sang Ibu menawarkan tahu khas Bandungan dan tahu bakso khas Ungaran untuk dijadikan oleh-oleh. Berbeda dengan tahu pong yang isinya kopong, tahu khas Bandungan memiliki tekstur yang padat berisi. Enak jika digoreng dan disajikan bersama sambal kecap. Saya beli masing-masing satu bungkus untuk diolah di Jakarta nanti.
Sarapan ala Hotel
Sekembalinya saya ke Grand Panorama Hotel, saya langsung ke restoran untuk sarapan. Sarapan lagi? Ya 😀 Meskipun saya tahu bahwa hotel sudah menyediakan sarapan, tetapi saya masih tetap pergi ke Pasar Bandungan untuk berwisata kuliner. Sayang sudah jauh-jauh ke sini tetapi tidak memuaskan rasa penasaran saya.
Grand Panorama Hotel bukanlah hotel mewah, pun bukan hotel bintang tiga yang pelayanannya sudah patut diberi jempol. Hotel ini mungkin hanya sekelas bintang dua, tapi fasilitas dan pelayanannya sudah cukup memuaskan. Sarapan yang disediakan pihak hotel adalah nasi goreng dengan telur mata sapi dan roti panggang dengan berbagai pilihan selai. Rasa nasi gorengnya standar, jauh lebih enak nasi goreng spesial yang saya pesan semalam. Namun boleh juga disantap sebagai pengganjal perut di pagi hari, apalagi disajikan dengan telur goreng yang bergizi.
Usai sarapan, saya langsung mandi dan berkemas, kemudian check out dari hotel.
Oh iya, jika anda ingin berkunjung dan menginap di Bandungan, saya sangat merekomendasikan Grand Panorama Hotel. Tempatnya cukup strategis, fasilitasnya bagus (setara dengan harga yang dikeluarkan), dan harganya juga sangat terjangkau. Plus, pemandangannya juga cukup bagus dari sini.
Pemandangan Indah di Sepanjang Jalan
Dari hotel, saya segera menuju Ambarawa kembali, dengan tujuan Fort Willem. Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Google Maps, durasi perjalanan yang saya tempuh seharusnya tidak lewat dari 30 menit. Namun dalam perjalanan ini saya memakan waktu cukup lama. Mengapa? Karena pemandangan sepanjang jalan sangatlah indah!
Berkali-kali saya menghentikan kendaraan, mengeluarkan ponsel, lalu mengambil gambar. Awan yang biru, persawahan yang hijau, dilengkapi dengan pemandangan gunung dari kejauhan. Begitu indah! Dalam hati saya terus mengucap syukur karena masih memiliki kesempatan untuk menikmati keindahan alam ini. Akankah alam ini terus lestari meski terus tergerus oleh modernisasi?
Benteng Pendem Ambarawa / Fort Willem
Saya pun tiba di destinasi wisata pertama saya pada hari ini, yakni Fort Willem I atau yang lebih dikenal sebagai Benteng Pendem Ambarawa. Tempat ini merupakan salah satu tempat bersejarah di Ambarawa, mulai dibangun pada tahun 1834 dan selesai pada tahun 1845 oleh VOC sebagai barak militer. Pada tahun 1920an benteng ini kemudian berubah fungsi menjadi penjara anak dan penjara bagi tahanan politik, lalu berubah lagi menjadi kamp militer pada zaman penjajahan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Benteng Pendem Ambarawa beralih fungsi menjadi markas besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Kini benteng ini difungsikan sebagai lapas kelas II A (penjara) dan barak militer TNI Angkatan Darat.
Tidak ada loket resmi di sini, tetapi dari tempat parkir motor, saya ditagih uang Rp5.000 yang termasuk parkir sekaligus tiket masuk. Harga yang wajar. Dari depan benteng, suasana kolonial berpadu pemandangan yang indah langsung menyuguhi penglihatan saya. Mengagumkan.
Sebagai pengunjung, kita hanya diizinkan untuk berjalan-jalan di lapangan sekitar benteng saja (lantai satu). Sedangkan lantai dua dilarang dimasuki oleh pengunjung karena difungsikan sebagai lapas. Meski hanya dibatasi di lantai satu saja, tetapi pemandangan yang disuguhkan sudah sangat menyenangkan. Tak heran, banyak wisatawan yang datang ke sini untuk berfoto-foto. Tempat ini juga kerap dijadikan lokasi pemotretan pre-wedding.
Monumen Palagan Ambarawa
Searah dengan jalan pulang ke Kota Semarang, saya juga mampir ke Monumen Palagan Ambarawa. Tempatnya sebenarnya lebih dekat dengan Museum Kereta Api, tetapi saya tidak sempat mengunjungi monumen ini kemarin.
Sama dengan Museum Kereta Api dan Fort Willem yang bernilai sejarah, Monumen Palagan Ambarawa juga menyajikan wisata sejarah Republik Indonesia. Sesuai dengan namanya, monumen ini merupakan simbol untuk mengenang pertempuran rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Kolonel Soedirman (saat itu beliau belum berpangkat Jenderal) melawan pasukan sekutu pada tanggal 12 Desember sampai 15 Desember 1945. Pertempuran ini dimenangkan oleh Bangsa Indonesia dan dikenal sebagai Palagan Ambarawa. Tanggal kemenangan ini kemudian dikenang sebagai Hari Jadi TNI Angkatan Darat.
Selain berfungsi sebagai monumen, tempat ini juga difungsikan sebagai museum. Tiket masuk dikenakan Rp7.500 per orang. Di sini, saya bisa melihat foto para pejuang yang terlibat dalam Palagan Ambarawa dengan berbagai persenjataan dan perlengkapan yang digunakan baik oleh pihak tentara Indonesia maupun sekutu. Ada bambu runcing, meriam, senapan, seragam tentara sekutu, dan yang paling menarik adalah pesawat mustang milik sekutu yang ditembak jatuh oleh tentara Indonesia ke dalam Rawa Pening. Menarik sekali. Sayangnya, tempat ini terkesan kurang terawat. Suasana museum terasa pengap dan penerangannya amat kurang. Padahal jika bisa dibenahi, tempat ini akan menarik dan bisa menjadi destinasi wisata sejarah yang populer.
Dan dengan usainya kunjungan di Monumen Palagan Ambarawa, maka usai pula kunjungan saya di Kota Ambarawa, Kabupaten Semarang. Saya pun segera menyalakan sepeda motor dan mengarah kembali ke arah utara, ke arah Kota Semarang.
Asem-Asem Koh Liem
Saya tiba di Kota Semarang dengan kondisi cukup lelah dan lapar. Saya teringat dengan kunjungan saya ke Semarang satu tahun lalu. Saat itu saya ingin mencicipi asem-asem daging racikan Koh Liem, namun karena keterbatasan waktu saya tidak sempat ke sana. Oleh karena itu, pada kunjungan ini, saya bermaksud untuk bersantap siang di Asem-Asem Koh Liem yang terletak di pusat Kota Semarang.
Saya mendapat kabar bahwa Koh Liem sudah meninggal dunia, tetapi usaha asem-asem daging masih dilanjutkan oleh istri dan anak-anaknya. Ternyata saya masih berjodoh dengan asem-asem resep Koh Liem, meski sudah tidak diracik langsung oleh beliau.
Asem-Asem Koh Liem adalah nama rumah makan legendaris khas Kota Semarang, yang konon katanya sudah ada sejak tahun 1978. Tempatnya cukup luas hingga mampu menampung puluhan orang, namun sayang tempat parkirnya sangat terbatas untuk sepeda motor sekalipun. Menu utama dari rumah makan ini adalah asem-asem daging yang merupakan kuliner khas Demak, namun juga cukup populer di Semarang. Selain asem-asem daging, tempat ini juga menyediakan menu khas Jawa lainnya.
Seporsi asem-asem daging dengan nasi langsung saya pesan. Tak lama, langsung tersaji sepiring nasi putih yang diguyur dengan kuah asem-asem yang berwarna hitam kecoklatan bersama potongan-potongan daging. Perut yang sudah kelaparan membuat saya dengan cepat melahap hidangan ini. Aroma kaldunya cukup kuat dengan rasa kuah yang segar dan manis. Warna hitam kecoklatan dan citarasa manis berasal dari kecap manis Mirama yang merupakan khas Semarang, sedangkan rasa asam segar berasal dari tomat dan belimbing wuluh. Potongan dagingnya cukup banyak. Tekstur dagingnya empuk sekali, katanya direbus selama dua jam hingga lembut. Rasanya lezat sekali, pantas saja sangat digemari oleh orang Semarang.
Harganya cukup wajar, sekitar Rp22.000 jika dicampur dengan nasi, atau Rp33.000 jika nasi disajikan terpisah. Asem-Asem Koh Liem tidak membuka cabang, sehingga jika ingin mencicipi hidangan berkuah segar ini kita harus datang ke Semarang.
Makan Es Krim di Toko Oen
Setelah makan siang, lantas apa lagi? Rasa lelah masih terasa, disertai dengan rasa gerah akibat cuaca Semarang yang sedang terik saat itu. Saya kemudian terpikir untuk menyantap es krim saja. Kebetulan saya teringat saat saya berkunjung ke Malang tiga tahun silam, saat saya bersantap es krim di Toko Oen dan di sana saya diberitahu bahwa Toko Oen juga terdapat di Semarang. Mumpung sekarang saya memang sedang berada di Semarang, bagaimana kalau saya mencicipi es krim di Toko Oen saja?
Toko Oen adalah sebuah restoran bergaya Eropa-Indonesia yang tergolong legendaris pula. Awalnya Toko Oen dibuka pada tahun 1900 di Yogyakarta, kemudian cabang Semarang dibuka pada tahun 1936. Restoran ini masih mempertahankan bentuk dan interior aslinya sehingga tempat ini sangat bernuansa zaman dulu. Perabotannya masih dipertahankan sebisa mungkin seperti awal tahun 1900an. Meja bundar lawas, kursi rotan, lemari-lemari tua, semua menambah nilai sejarah dari tempat ini. Lengkap dengan foto-foto Semarang zaman dulu maupun koran lawas zaman Hindia Belanda yang dibingkai sebagai hiasan dinding.
Toko Oen menawarkan berbagai menu bergaya Eropa-Jawa, dengan menu bestik lidah sapi yang menjadi juaranya. Selain hidangan berat, Toko Oen juga menyajikan berbagai camilan khas Eropa-Jawa seperti poffertjes, kue lidah kucing, sampai lunpia. Dan yang paling terkenal, yakni aneka sajian es krimnya.
Seporsi poffertjes dan es krim bernama Oen’s symphony saya pesan. Sedangkan Jeje, rekan backpacking saya di Semarang memesan es krim tuttifrutti.
Poffertjes disajikan hangat dengan taburan keju parut dan coklat meses di atasnya. Teksturnya lembut dengan aroma harum vanila yang sangat menggoda. Poffertjes ini terasa lebih enak lagi ketika dicocol dengan es krim yang dingin legit. Oen’s symphony merupakan es krim andalan Toko Oen, berupa empat skup es krim yang berbeda rasa dengan dua keping kue lidah kucing sebagai pelengkap. Empat rasa es krim yang digunakan adalah coklat, moka, vanila, dan kopyor. Dari keempat rasa itu, favorit saya adalah moka dengan aroma kopi yang cukup kuat. Tapi ketiga rasa lainnya juga enak. Kekuatan dari es krim Oen adalah pengolahannya yang masih tradisional layaknya es krim pada zaman dulu. Teksturnya creamy dan sedikit kasar, tekstur khas es krim tempo dulu – kontras dengan es krim zaman sekarang yang teksturnya sangat lembut. Menurut saya baik es krim bertekstur kasar maupun lembut memiliki kenikmatannya tersendiri, sama seperti musik oldies dan musik kekinian yang memiliki keindahan nadanya masing-masing. Usai menyantap es krim, saya segera menenggak segelas air dingin yang selalu disajikan bersama es krim. Segar sekali.
Suasana vintage dengan es krim yang segar ini harus ditebus dengan harga yang lumayan mahal, apalagi untuk standar Semarang. Seporsi poffertjes dihargai Rp25.000, sedangkan untuk Oen’s symphony dan tuttifrutti masing-masing dihargai Rp40.000. Namun sebenarnya harga ini saya anggap masih pantas, mengingat Toko Oen bukan hanya sekadar restoran untuk memuaskan lapar ataupun dahaga, tetapi juga salah satu bangunan bersejarah yang saya harap bisa terus terjaga hingga generasi selanjutnya.
Di depan Toko Oen, saya menemukan gerobak penjual pisang plenet, kuliner manis khas Semarang yang sudah langka. Pisang plenet merupakan pisang yang dipenyet hingga pipih terlebih dahulu, kemudian dibakar dan disajikan dengan topping coklat, keju, dan susu kental manis. Sang penjual mengatakan bahwa penjual pisang plenet memang sudah jarang sekali, dan beliau hanya berjualan di Jalan Pemuda ini. Rasa pisang plenet ini legit, lengkap dengan aroma bakar yang harum. Jika anda sempat mampir ke Toko Oen Semarang, jangan lupa juga mencicipi pisang plenet ini yang berada tepat di seberang.
Berburu Oleh-Oleh
Sebelum mengembalikan sepeda motor dan check-in di Bandara Achmad Yani, kegiatan terakhir yang saya lakukan adalah berburu oleh-oleh untuk kerabat di Jakarta. Pusat oleh-oleh Semarang terdapat di Jalan Pandanaran, tidak jauh dari Simpang Lima. Di sepanjang jalan ini, berbagai penjual oleh-oleh menawarkan produk-produk khas Semarang, baik dalam wujud toko ataupun lapak kaki lima. Silakan berkeliling dan memilih buah tangan sesuai dengan budget.
Oleh-oleh khas Semarang yang wajib dibeli adalah bandeng presto dan wingko babat. Kedua makanan ini sudah menjadi icon Kota Semarang yang selalu dijadikan buah tangan ketika berkunjung ke sini. Resep bandeng presto ini sebenarnya ditemukan pertama kali di Kabupaten Pati, kemudian menjadi terkenal di Kota Semarang. Bandeng mula-mula dibumbui, kemudian dimasak dalam panci bertekanan tinggi (atau dipresto) hingga ikan matang secara merata. Hasil dari presto ini membuat tulang bandeng menjadi lunak dan dagingnya bertekstur sangat lembut. Enak disantap dengan nasi hangat dan sambal. Sedangkan wingko babat adalah kue yang terbuat dari adonan tepung beras ketan, kelapa, dan gula yang dipanggang. Rasanya legit dan bertekstur.
Saya membeli bandeng presto dan kopi Banaran (kopi khas Semarang) di sebuah toko oleh-oleh yang cukup besar. Selain itu, saya juga membeli wingko babat dari sebuah lapak kaki lima. Mengapa saya membelinya di lapak kaki lima? Sederhana, saya hanya ingin ikut membantu usaha-usaha kecil yang dijalankan oleh warga sekitar, apalagi sang Ibu penjual wingko babat tadi juga memberikan saya sebuah wingko babat sebagai sampel. Saya jadi tertarik membeli.
Jika masih ingin membeli jenis oleh-oleh lain, anda juga bisa membeli tahu bakso khas Ungaran (ibukota Kabupaten Semarang) yang bisa digoreng di rumah. Bakso tahu ini enak sebab tahunya bertekstur padat sehingga cukup mengenyangkan.
Tidak berlama-lama lagi, setelah selesai berbelanja oleh-oleh saya langsung mengembalikan sepeda motor di tempat rental dan memesan taksi online untuk mengantarkan saya ke bandara.
Bandara Internasional Achmad Yani: Sampai Jumpa Lagi Semarang!
Jarak antara pusat Kota Semarang ke Bandara Internasional Achmad Yani tidak terlalu jauh, berbeda dengan Kota Jakarta maupun Surabaya di mana jarak antara bandara dengan pusat kota cukup memakan waktu. Tiba di bandara, saya segera melakukan check-in, mencetak boarding pass, masuk ke ruang tunggu, kemudian terbang kembali ke Jakarta. Membawa baju kotor yang harus dicuci, oleh-oleh untuk keluarga di rumah, serta kenangan selama tiga hari di Semarang.
It was fun, Semarang. Sampai jumpa lagi!