Waktu masih menunjukkan pukul 05.30 pagi, tetapi matahari sudah mulai terang. Meski awalnya agak kesulitan untuk terlelap karena suasana luar kamar yang berisik, tetapi akhirnya saya bisa tidur dengan cukup berkualitas. Tujuan saya hari ini adalah menuju Ambarawa, tetapi perjalanan dilakukan perlahan dengan mengunjungi beberapa tempat wisata yang searah menuju ke sana. Ada pun yang sudah masuk dalam daftar kunjungan saya adalah Pagoda Watugong dan Candi Gedong Songo.
(Baca dulu: Catatan Backpacking Semarang & Ambarawa hari 1 bagian 1)
Karena paket penginapan yang saya pesan tidak disertai dengan sarapan (saya memang sengaja memesan penginapan yang tidak disertai dengan paket sarapan), saya pun segera menuju Mie Kopyok Pak Dhuwur.
Mie Kopyok
Menurut saya, sarapan pagi harus berupa comfort food. Sajian yang ringan namun cukup mengenyangkan. Untuk itu saya memutuskan untuk menyantap mie kopyok sebagai menu sarapan. Mie kopyok adalah menu yang sederhana namun penuh rasa: mie kuning, lontong, tauge, irisan tahu goreng, kerupuk gendar, lalu disiram dengan kuah rempah. Agak banyak mengandung karbohidrat, memang, tetapi lumayanlah sebagai bahan bakar energi sampai siang nanti. Dan salah satu tempat makan mie kopyok yang terkenal adalah Mie Kopyok Pak Dhuwur. Tempatnya terletak di Jl. Tanjung no.18A, Sekayu. Tempatnya sederhana dan berupa semi outdoor. Sepiring mie kopyok segera tersaji begitu saya memesannya. Kuahnya gurih sekali, dengan aroma bawang putih yang dominan. Ada sedikit aroma petis yang terhirup, tetapi saya tidak yakin apakah itu benar-benar petis atau bahan-bahan lain yang beraroma mirip. Pastinya, bumbu utama dari hidangan ini adalah bawang putih. Gurih, harum, dan hangat. Dan bagi pecinta aroma rempah yang kuat, tersedia air bawang putih tambahan yang bisa ditambahkan ke dalam hidangan. Enak.
Harga seporsinya Rp14.000. Dan karena dari jam 07.00 pagi Mie Kopyok Pak Dhuwur sudah mulai berjualan, maka tempat ini cocok sekali sebagai tempat untuk sarapan.
Pagoda Watugong
Setelah perut kenyang, mari bergerak ke arah selatan Semarang! Perjalanan dari pusat Kota Semarang menuju Candi Gedong Songo kurang lebih berjarak 38 kilometer dan ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam 20 menit, karena jalan menuju Gedong Songo berupa jalur pegunungan yang menanjak dan berliku-liku. Agar tidak merasa bosan, di tengah perjalanan saya memutuskan untuk mampir ke Pagoda Watugong dulu. Lokasi Pagoda Watugong kurang lebih sekitar 12 kilometer saja dari pusat kota dan bisa ditempuh hanya dalam waktu 25 menit.
Sebenarnya ada banyak nama untuk menyebut pagoda ini. Ada yang menyebutnya Pagoda Avalokitesvara, ada juga yang menyebutnya Wihara Buddhagaya. Apapun itu, nama panggilan-panggilan tersebut mengisyaratkan fungsi dari tempat ini. Disebut wihara, karena tempat ini memang merupakan tempat beribadah umat Buddha. Disebut Pagoda Avalokitesvara, karena di dalam pagoda ini ada altar untuk penghormatan kepada Avalokitesvara atau Dewi Kwan Im, salah satu sosok penting dalam keyakinan Buddhisme. Disebut juga Pagoda Watugong, karena dulu di tempat ini pernah ditemukan sebuah batu yang berbentuk seperti gong. Uniknya, batu ini bukanlah hasil rekayasa manusia alias terbentuk secara alami. Ada juga yang mengatakan bahwa batu berbentuk gong ini merupakan peninggalan sejarah dari kerajaan Majapahit. Oleh sebab itulah tempat ini juga disebut sebagai Watugong (batu gong).
Tiket masuknya gratis, karena tempat ini sejatinya adalah tempat ibadah (kontras sekali dengan Kelenteng Sam Poo Kong yang sama-sama tempat ibadah tapi tiket masuknya mahalll). Tepat di depan komplek wihara ini, kita bisa menemukan watugong / batu gong yang dimaksud. Ada juga gapura yang menjadi titik wefie orang-orang. Cheese…
Sebelum masuk ke dalam pagoda, kita akan melewatkan sebuah pohon bodhi besar dengan patung Buddha di bawahnya. Dalam agama Buddha, pohon bodhi adalah jenis pohon yang dihormati karena dulu di bawah pohon inilah Siddhartha Gautama bermeditasi dan mencapai pencerahan. Pohon ini bisa ditemui di berbagai wihara. Karena saya beragama Buddha, saya menyempatkan diri memberi penghormatan sebentar.
Barulah kemudian saya berjalan ke arah pagoda. Cantik sekali! Kita perlu menaiki sedikit tangga untuk masuk ke dalam bangunan pagoda. Kabarnya pagoda ini adalah pagoda terbesar yang ada di Indonesia. Di dalamnya, terdapat altar Avalokitesvara / Dewi Kwan Im yang indah sekali. Saya menemukan beberapa wanita berusia paruh baya datang ke sini dan berdoa, menandakan bahwa tempat ini masih aktif digunakan untuk beribadah. Oleh karena itu, ketika datang ke sini, harap menjaga ketenangan sehingga tidak sampai mengganggu pengunjung lain.
Pagoda ini bisa dikelilingi dan kita bisa menemukan berbagai altar Dewi Kwan Im dalam berbagai perwujudan, seperti Dewi Kwan Im sedang menggendong anak (lambang kesuburan) atau Dewi Kwan Im dengan seribu tangan (lambang pertolongan dan keselamatan). Jika anda adalah umat Buddha, silakan datang beribadah sesuai dengan keperluan anda.
Keluar dari bangunan pagoda, saya berkeliling sebentar. Ada sebuah bangunan yang disebut Dhammasala, yang merupakan tempat untuk melaksanakan puja bhakti (kebaktian). Gedungnya juga tak kalah indah, dengan altar Buddha Gautama yang menjadi objek perenungan spiritual umat Buddha. Selain itu, ada juga bangunan kecil yang di dalamnya terdapat altar penghormatan kepada Sivali, yakni murid utama Buddha yang dikenang sebagai pembawa rezeki karena semasa hidupnya tidak pernah kekurangan pemberian. Ada juga sebuah gua kecil yang digunakan untuk bersembahyang kepada Dewa Bumi. Menarik!
Candi Gedong Songo
Setelah puas menikmati pemandangan di Pagoda Watugong, selanjutnya saya menuju destinasi yang paling saya tunggu-tunggu, Candi Gedong Songo!
Jika teman-teman pembaca ingin mengunjungi Candi Gedong Songo dengan kendaraan pribadi, pastikan dulu kalau kendaraannya kuat, sebab jalurnya menanjak cukup tinggi dan berkelok-kelok. Pada satu titik, ada yang kemiringan tanjakannya sampai kira-kira 40 derajat. Jika tidak disiapkan dari awal, bisa saja kendaraan tidak kuat untuk menanjak dan berakibat fatal.
Kalau pengalaman saya pribadi sih, pakai sepeda motor New Honda Beat sudah bisa melewati tanjakan itu kok. Dan saran yang tak kalah penting, perhatikan keselamatan perjalanan.
Semakin dekat dengan Gedong Songo, pemandangan semakin indah. Wow! Di satu titik, saya melihat setidaknya ada 3 gunung berjejer: gunung Telomoyo, Merbabu, dan Merapi. Di titik lain, Gunung Sumbing dan Sindoro menghampar berdampingan. Di titik lain lagi, Gunung Ungaran berdiri gagah. Indah! Oh iya, Candi Gedong Songo sendiri sebenarnya berada di lereng Gunung Ungaran, makanya sepanjang perjalanan kita akan hampir terus-menerus melihat Gunung Ungaran dari kejauhan.
Tiba di Gedong Songo, sepeda motor langsung saya parkir. Kesan pertama saya ketika melihat Candi Gedong Songo adalah: “wah, ternyata sudah jadi destinasi wisata keluarga terkenal!” Dalam ekspektasi saya, Candi Gedong Songo itu akan mirip Candi Cetho yang terletak di Karanganyar. Keduanya sama-sama berada di lereng gunung, tetapi Candi Cetho itu menurut saya masih lebih “perawan” dibandingkan Gedong Songo. Candi Cetho suasananya masih syahdu dan agak mistis, sedangkan Candi Gedong Songo suasananya sudah lebih mirip Candi Prambanan. Sudah dikelola dengan sangat modern. Bahkan, ada The Ayanaz di dalam komplek Candi Gedong Songo yang menyediakan layanan wisata kekinian! Wah, wah, agar kontras ya.
Tapi tidak terlalu masalah sih, saya tetap fokus saja pada candinya. Tiket masuknya murah meriah, kalau tidak salah sekitar Rp10ribu per orang. Begitu masuk, kita akan langsung ditawari ingin mengelilingi komplek candi dengan kuda atau tidak. Awalnya saya cukup tertarik dengan konsep keliling candi sambil berkuda, tetapi setelah melihat bahwa kudanya ternyata ditarik oleh manusia juga (bukan berkuda sungguhan), jadi tidak tertarik lagi deh.
Candi Gedong Songo itu artinya “candi sembilan bangunan”. Disebut “sembilan bangunan”, karena konon di dalam komplek candi ini ditemukan sembilan buah candi. Dari hasil Googling, candi ini pertama kali ditemukan oleh Raffles pada tahun 1804 dan bercorak Hindu pada wangsa Syailendra tahun 927 Masehi. Tak heran, nantinya di bangunan candi-candi ini akan banyak ditemukan pahatan dewa-dewi Hindu seperti Dewi Durga dan Dewa Ganesha.
Meski disebut sebagai “Candi Sembilan Bangunan”, tetapi sesungguhnya yang secara resmi tertera di papan petunjuk Candi Gedong Songo hanyalah lima candi. Dan lokasi kelima candi ini didirikan berderet dari bawah ke atas, sehingga jika ingin mengunjungi semua candi, maka kita harus trekking berjalan naik yang lumayan menanjak. Persiapan fisik perlu diperhatikan. Hampir semua teman saya yang bercerita pernah berkunjung di sini, menyerah di candi kedua atau candi ketiga saja. Tapi saya sendiri sudah membulatkan tekad: harus sampai candi yang tertinggi!
Candi Gedong I atau candi pertama lokasinya tidak jauh dari gerbang utama. Karena lokasinya paling mudah dicapai, di sekitar Candi Gedong I ada banyak pengunjung yang sekadar berfoto atau duduk-duduk santai. Pahatan bercorak Hindu bisa kita temukan di candi ini. Ketika saya masuk ke dalam candi, saya menemukan sebuah meja batu berbentuk persegi yang nampaknya dulu digunakan untuk ritual doa. Saya juga menemukan beberapa batang dupa yang masih menyala, nampaknya tempat ini masih digunakan oleh sebagian orang untuk beribadah.
Namun saya juga menemukan hal yang cukup menyakitkan hati: candi ini dirusak! Saya melihat banyak bekas-bekas pahatan bertuliskan nama manusia di batu-batu candi. Tidak hanya satu batu, tetapi banyak batu! Jelas, ini pasti ulah manusia yang mengunjungi candi ini. Benar-benar tidak bertanggungjawab dan tidak menghargai sejarah! Batu-batu yang membentuk candi ini sudah berusia ribuan tahun dan merupakan bukti peradaban Nusantara yang sudah berusia ribuan tahun juga. Selain itu, ukiran-ukiran pada batu candi juga merupakan karya seni Nusantara kuno yang masih bisa ditelisik lagi nilai-nilai kebudayaannya. Jika batu-batu ini dirusak dengan dicorat-coret atau diukir dengan nama-nama pengunjung, jelas merupakan perbuatan yang sangat patut dicela! Sayangnya, mulai dari candi pertama sampai candi paling atas nanti, semuanya sudah dirusaki alias dicorat-coret / diukir oleh pengunjung dengan cara yang tidak bertanggung jawab. Saya masukkan contoh ukiran nama manusia di bawah ini:
Jelas ini merusak nilai budaya dan sejarah peradaban Nusantara kuno. Dan tindakan yang sudah dilakukan ini tidak bisa dikembalikan ke kondisi awal. Saya amat sangat mengecam tindakan ini. Semoga pihak pengelola bisa melakukan tindakan tegas untuk mencegah terjadinya kembali hal-hal seperti ini, atau kalau perlu, tutup saja destinasi wisata candi! Lebih baik tidak usah dikunjungi manusia sekalian daripada ditemukan tetapi dirusak!
Baik, baik, sudah cukup keluh-kesahnya. Mari sekarang nikmati kembali Candi Gedong Songo…
Perjalanan saya lanjutkan menuju Candi Gedong II. Perjalanan dari candi pertama ke candi kedua cukup jauh dan jalanan mulai menanjak. Lumayan melelahkan, apalagi bagi yang tidak terbiasa melakukan trekking. Dalam perjalanan saya melihat beberapa orang sedang beristirahat sambil tersengal-sengal, mungkin karena lelah menanjak. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi karena jalan menanjaknya itulah yang membuat perjalanan terasa agak menantang.
Dan, sampai juga saya di candi kedua. Di sini pengunjungnya sudah tidak sebanyak pengunjung di candi pertama. Dari hasil mengobrol bersama pengunjung lain, banyak pengunjung yang memutuskan untuk cukup sampai candi pertama saja dan tidak melanjutkan lagi ke candi-candi berikutnya karena tidak kuat berjalan jauh dan menanjak. Oleh sebab itu, jika ingin mengunjungi candi ini, persiapkan fisik dulu ya :).
Penampakan candi kedua tidak berbeda jauh dengan candi pertama. Bedanya, di dalam bangunan candi kedua saya tidak menemukan meja batu yang berbentuk persegi itu. Ngomong-ngomong, suhu udara di dalam bangunan candi itu sejuk sekali lo! Mungkin karena bebatuan yang digunakan tidak menyerap panas, sehingga begitu saya masuk ke dalam bangunan candi, suhu udara luar yang awalnya sangat panas langsung berganti dengan suhu udara yang sejuk dan dingin, membuat saya betah dan tidak ingin keluar (hehehe…). Saya membayangkan, betapa nikmatnya duduk bersila di dalam candi dan bermeditasi, terlindung dari hujan dan panasnya suhu lingkungan.
Kemudian saya berjalan lanjut lagi ke candi ketiga. Jalur dari candi kedua ke candi ketiga ternyata lebih mudah dibandingkan jalur dari candi pertama ke candi kedua.
Menurut saya, di antara semua candi di kompleks ini, candi terbagus adalah candi ketiga (Candi Gedong III). Bangunannya masih lebih utuh dibandingkan candi yang lain, dan view pemandangannya juga mulai bagus.
Dan perjalanan saya lanjutkan berturut-turut menuju candi keempat dan candi kelima (Candi Gedong IV dan V). Semakin tinggi perjalanan, semakin indah pemandangannya. Gugusan gunung muncul dengan indahnya! Ada Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro.
Selain kelima candi itu, saya juga menemukan tiga candi lain yang tidak tercantum dalam papan petunjuk. Bisa jadi ini adalah masing-masing Candi Gedong VI, VII, dan VIII. Namun dua di antara tiga candi ini sudah hancur dan hanya tersisa bebatuannya saja.
Saya sangat menikmati pengalaman di Candi Gedong Songo ini. Selain karena candi-candinya yang penuh nilai sejarah, pemandangan alam di sini juga tergolong menakjubkan. Candi dan gunung, dua kombinasi yang saya sukai.
Makan Siang Sebelum Menuju Ambarawa
Maka, setelah selesai mengunjungi seluruh candi di Gedong Songo, kami segera berjalan untuk menuju pintu keluar. Tidak sulit untuk mengelilingi Candi Gedong Songo karena petunjuk arah sudah tersedia jelas. Dari pengamatan saya, nampaknya kita hanya butuh 2 jam untuk mengelilingi seluruh candi di sini.
Sebelum berlanjut, karena perut yang lapar, saya mampir dulu di sebuah warung yang terdapat di depan Candi Gedong Songo. Dari beberapa pedagang makanan yang ada, saya memilih Warung Makan Rahayu, dengan alasan tempatnya luas dan nampak lebih bersih dibandingkan yang lainnya. Sebenarnya saya tidak memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi dengan warung ini, yang ada di pikiran saya hanyalah bersantap siang dulu supaya tidak terlalu lemas.
Cukup ramai yang makan di sini, sampai-sampai saya harus berbagi meja dengan pelanggan lainnya. Konsep rumah makannya unik, di sini kita harus mengambil piring sendiri, mengambil nasi dan lauk sendiri, duduk makan, lalu setelah selesai makan baru memanggil Ibu penjual yang berada di belakang warung untuk membayar makanan. Jadi, jangan tunggu sampai ada pelayan yang menghampiri anda, karena di warung ini nyaris tidak ada yang menjaga. Si Ibu hampir selalu di belakang warung untuk memasak.
Saya mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan beberapa lauk. Pilihan lauknya sebenarnya tidak terlalu beragam, mayoritas aneka macam hidangan dari ayam dan sayuran. Saya sendiri hanya mengambil lauk gudeg dan sebuah gorengan yang saya tidak tahu apa isinya. Nampak seperti perkedel, namun nampak juga seperti kornet. Saya ambil saja, karena nampaknya enak.
Baiklah, sebenarnya rasa masakan di warung ini enak, seperti masakan warung-warung nasi (terutama warteg) pada umumnya. Tapi ada satu yang menurut saya enak sekali, yaitu gorengan yang saya ambil tadi! Begitu saya coba, rasanya unik. Mirip seperti aroma telur, tetapi teksturnya tidak seperti telur. Mirip kornet juga, tetapi teksturnya lebih mudah hancur daripada kornet. Tapi rasanya enak sekali! Karena penasaran, saat membayar, saya bertanya pada ibunya, gorengan apa ini. Dan ternyata, gorengan ini adalah telur ikan goreng! Saya sempat tidak percaya karena tidak pernah mendengar telur ikan yang digoreng. Tapi si Ibu meyakinkan saya bahwa benar ini adalah telur ikan yang digoreng. Mula-mula telur ikan dicampur dengan kelapa, kemudian dikukus dulu agar teksturnya lebih padat. Setelah dikukus, telur ikan dimasukkan ke dalam kocokan telur ayam lalu digoreng. Rasanya gurih dan nikmat! Masakannya unik sekali, dan menurut saya harus dicoba ketika berkunjung ke Gedong Songo.
Soal urusan harga, jujur saja saya lupa berapa. Nampaknya sekitar Rp15.000 untuk sepiring nasi, telur ikan goreng, dan gudeg. Cara membayarnya pun unik, karena si Ibu hanya akan menanyakan menu apa saja yang sudah kita ambil. Bila dipikir-pikir, si Ibu tidak pernah melihat kita mengambil lauk apa saja, sehingga si Ibu sebenarnya hanya mengandalkan kejujuran kita. Si Ibu hanya menaruh kepercayaan terhadap saya yang sudah makan di tempatnya, dan tentu saya tidak akan merusak kepercayaan tersebut.
Menuju Ambarawa…
Perut kenyang, langsung saya menuju destinasi sekaligus kota selanjutnya, yakni Kota Ambarawa… (berlanjut ke bagian selanjutnya).