Belum sreg kalau sudah di Cirebon tapi tidak mampir ke Kuningan, kata seorang teman. Memang, jarak antara Kota Cirebon dengan Kabupaten Kuningan tidak terlalu jauh. Bisa dicapai dalam perjalanan sekitar 1 jam. Perbandingannya mirip seperti Jakarta dan Bogor, Cirebon lebih banyak memiliki wisata budaya dan udaranya cenderung panas seperti Jakarta, sedangkan Kuningan lebih menawarkan wisata alam dengan udara yang sejuk. Dan ada banyak sekali destinasi wisata di Kuningan, sayangnya dalam kunjungan kali ini saya tidak dapat mengunjungi semuanya.
Setelah selesai dengan urusan di Cirebon (baca: Trip to Cirebon), saya pun menyempatkan diri ke Cirebon dengan menggunakan kendaraan pribadi. Sebelum mencapai Kabupaten Kuningan, kita akan melewati Kabupaten Cirebon terlebih dahulu. Perlahan-lahan pemandangan ala kota akan berganti dengan pepohonan khas perjalanan ke dataran tinggi, menandakan kita sudah tiba di Kuningan. Pemandangan persawahan rakyat yang hijau dan berpetak memberikan godaan bagi pengunjung untuk berhenti sebentar dan mengambil foto. Belum lagi udaranya yang sejuk membuat kita terbujuk untuk sekadar berjalan-jalan menikmati udara segar.
Gedung Perundingan Linggarjati
Tujuan pertama yang saya sasar adalah Gedung Perundingan Linggarjati. Bagi yang pernah belajar sejarah perjuangan Indonesia, pasti sudah sangat familiar dengan nama tersebut, gedung tempat perundingan Linggarjati dilakukan oleh perwakilan Indonesia dan Belanda, dengan seorang tokoh Inggris sebagai moderator.
Ada pun sejarahnya dimulai ketika akhir Perang Dunia II, setelah Jepang mengakui kekalahannya dalam perang. Bangsa Indonesia yang sudah menanti-nantikan saat itu pun segera mendeklarasikan kemerdekaannya, yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Sayangnya, Belanda yang pernah menjajah Indonesia sekitar 3,5 tahun sebelumnya, tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Konflik pun kembali terjadi. Menyadari bahwa peperangan tidak akan mengakhiri perselisihan tersebut, para pemimpin negara pun berusaha untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan Belanda dan melakukan sebuah perundingan.
Perundingan dilakukan di Desa Linggajati, Kabupaten Kuningan. Ada pun Desa Linggajati dipilih karena perundingan sedang tidak dimungkinkan dilakukan di Jakarta dan Yogyakarta (ibukota sementara RI saat itu). Perundingan tersebut dilakukan pada 11-12 November 1946. Adapun pihak Indonesia diwakili oleh Dr. Gani, Mr. Susanto Tirtoprojo, Mohammad Roem, dan dipimpin oleh Sutan Sjahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri RI. Sedangkan dari pihak Belanda, perwakilan yang dikirimkan adalah Van Pool, Prof. Schermerhorn, dan De Boer. Perundingan ini dimoderatori oleh Lord Kilearn, perwakilan dari Inggris.
Alotnya perundingan membuat perjanjian Linggarjati baru ditandatangani oleh pihak Indonesia beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 25 Maret 1947. Adapun isi dari Perjanjian Linggarjati adalah:
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Madura, Sumatera, dan Jawa. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
- Belanda dan Republik Indonesia akan bekerja sama untuk membentuk Negara serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Timur Besar, dan Kalimantan. Pembentukan RIS akan dilaksanakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
- Belanda dan RIS akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.
Sekilas isi perjanjian tersebut memang nampak seperti merugikan Indonesia, karena mempersempit wilayah Republik Indonesia yang hanya terdiri dari Jawa, Sumatera, dan Madura. Sisi positifnya, Indonesia mendapatkan pengakuan kemerdekaan secara de facto dari Belanda.
Pro dan kontra pun bermunculan terkait dengan isi perjanjian tersebut. Meski demikian, pihak Indonesia menandantanginya dengan pertimbangan bahwa cara damai merupakan cara terbaik untuk menghindari korban jiwa, di samping juga diharapkan dapat mengundang simpati dari negara-negara lain maupun PBB.
Di tempat inilah ternyata perundingan tersebut dibuat. Dari luar gedungnya nampak sederhana, namun sebenarnya tempat ini terdiri dari rumah dan taman yang luas sekali. Pintu masuknya hanya sekitar Rp7000 dan ramai dikunjungi pada akhir pekan, terutama oleh kalangan pelajar. Di sini kita bisa melihat diorama Perundingan Linggarjati, meja tempat perundingan dilakukan, kamar perwakilan Indonesia, kamar perwakilan Belanda, kamar Lord Kilearn, hingga taman-taman yang indah dengan udara yang menyegarkan. Berbagai perabotan antik pun bisa kita lihat di sini, termasuk sebuah piano tua yang masih asli 100% sejak perundingan tersebut dilaksanakan hingga hari ini.
Curug Cidomba
Puas mengelilingi Gedung Perjanjian Linggarjati, kami pun masih memiliki beberapa jam lagi sebelum kembali ke Cirebon, karena kereta Cirebon-Jakarta yang akan kami tumpangi akan berangkat pada pukul 18.00. Awalnya saya ingin pergi ke Situs Sejarah Cipari, namun karena jaraknya yang jauh dari Linggarjati, akhirnya kami memutuskan untuk ke destinasi wisata alam yang populer di Kuningan, yaitu Curug Cidomba.
Curug Cidomba terletak di kaki Gunung Ceremai. Dari Linggarjati dapat ditempuh sekitar 30 menit menggunakan kendaraan pribadi. Tiket masuknya terjangkau, sekitar Rp5000-Rp10.000 per orang.
Menurut saya Curug Sidomba ini merupakan tempat wisata alam yang dikhususkan untuk keluarga, karena terdapat sarana bermain anak (seperti kereta mini, mobil domba, kolam pancing anak), saung untuk bersantai, flying fox, bahkan juga ada camping ground bagi yang ingin merasakan pengalaman berkemah. Tempatnya didesain senyaman mungkin untuk didatangi beramai-ramai dan relatif aman bagi anak. Saat saya sampai di sini, memang pengunjungnya didominasi oleh keluarga dengan anak-anak yang masih kecil.
Bagi yang ingin melihat curug atau air terjun, silakan ikuti petunjuk arah yang sudah disediakan. Kurang lebih sekitar 300 meter saja dari pintu gerbang, maka kita sudah bisa melihat curug alias air terjun Sidomba. Tidak perlu melakukan trekking panjang, karena jalur di sini sudah dipasang batu-batu sehingga mudah untuk ditelusuri, naik turunnya pun sudah menggunakan tangga. Aman.
Air terjunnya sendiri tergolong “mini”, tingginya hanya sekitar 3 meter. Namun suasana alam yang menyegarkan tentu memberikan kenikmatan sendiri bagi pengunjungnya. Di bawah air terjun, ada kolam yang terdapat berbagai macam ikan, yang salah satunya adalah ikan “kancra bodas”. Ikan-ikan ini tidak boleh diberi makan dan tidak boleh dipancing. Sayang, ketika saya datang, air di kolam nampak agak keruh.
Curug Sidomba tergolong air terjun buatan, karena ada jalur sungai yang aliran airnya melewati lokasi ini. Airnya jernih dan dingin, berasal dari Gunung Ceremai. Ada kisah yang menceritakan bahwa seseorang yang mencuci muka dengan air Curug Sidomba akan dimudahkan dalam berbagai urusan, seperti rezeki atau jodoh. Lagi-lagi, silakan kembalikan kepada keyakinan anda masing-masing.
Oh iya, berdasarkan informasi yang saya terima, curug ini ditemukan secara tidak sengaja oleh siswa-siswa SMP Islam Terpadu Umar Sjarifudin yang sedang melakukan hiking di sini pada tahun 2002. Disebut Curug Sidomba karena dulunya di sekitar kawasan ini merupakan tempat menggembalakan dan memandikan domba. Curug sendiri dalam Bahasa Sunda berarti “air terjun”.
Tempat ini cukup menyenangkan untuk beristirahat dan melepas lelah, sambil menikmati keindahan alam Kuningan.
Menikmati Kuliner Hucap
Sebelum kembali ke Cirebon (untuk menaiki kereta pulang ke Jakarta), saya menyempatkan diri untuk mencicipi kuliner khas Kuningan, yakni “Hucap” alias tahu kecap. Oleh pengemudi mobil yang kami sewa, kami diantar menuju salah satu tempat penjual hucap yang cukup terkenal, yaitu Kupat Tahu Wa Enjum di daerah Cilimus.
Nama lain dari hucap adalah kupat tahu. Hal ini karena hidangan ini berisi kupat (ketupat) dan irisan tahu goreng yang kemudian disiram dengan bumbu kacang yang gurih, kemudian diberi taburan bawang goreng. Sekilas, hidangan ini memang mirip dengan ketoprak.
Rasanya rekomendasi dari sang pengemudi perlu saya acungi jempol. Kupat buatan Wa Enjum pulen sekali. Teksturnya pas sehingga hidangan terasa lebih nikmat. Jangan lupa tambahkan kerupuk yang khas terdapat di tempat-tempat makan di Kuningan dan Cirebon. Seporsi hucap atau kupat tahu ini hanya Rp7000 (porsi kecil).
Akan Kembali Lagi
Perjalanan wisata alam dan sejarah di Kabupaten Kuningan harus segera dihentikan, karena saya harus mengejar keberangkatan kereta di Stasiun Cirebon. Masih banyak sekali tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Kuningan, seperti Waduk Darma, Telaga Remis, Situs Purbakala Cipari, dan lain-lain. Tentu saja, kunjungan kali ini bukanlah kunjungan terakhir saya ke Kuningan, karena masih ada tempat-tempat lain yang akan saya datangi nanti.