Bagi yang senang berwisata kuliner ke kawasan pecinan Suryakencana Bogor, mungkin pernah melihat atau menyadari keberadaan sebuah kelenteng yang tak jauh dari gapura. Letaknya memang agak tersembunyi, kalah tinggi oleh gedung pasar yang ada di sana. Karena saya memang “pecinta” kelenteng, setiap saya melewati jalan tersebut saya selalu menyadari keberadaan kelenteng itu, tetapi tidak berkesempatan untuk mengunjungi entah karena sedang terburu-buru atau teman jalan yang tidak berminat mengunjungi kelenteng.
Minggu lalu, ketika saya berkunjung kembali ke kawasan Suryakencana, akhirnya saya berkesempatan untuk memasuki kelenteng tersebut. Di depannya tertulis “Vihara Dhanagun” (Hok Tek Bio). Penggunaan nama vihara untuk kelenteng memang kurang tepat, sebab vihara (baca: wihara) adalah tempat ibadah agama Buddha sedangkan kelenteng lebih merupakan gedung budaya atau tempat peribadatan keyakinan tradisional Tionghoa. Namun karena pemerintahan Orde Baru (Soeharto) melarang adanya hal-hal yang berkaitan dengan Tiongkok, maka kelenteng-kelenteng terpaksa berganti nama menjadi vihara agar bisa terus bertahan. Akhirnya, hingga sekarang terjadilah kerancuan antara kelenteng dan vihara. Banyak orang mengira kelenteng adalah tempat beribadah agama Buddha, atau ada juga yang mengira vihara adalah kelenteng.
Meski demikian, vihara dan kelenteng memang seperti saudara sepupu. Seperti yang sudah saya katakan, kelenteng adalah tempat persembahyangan bagi penganut keyakinan tradisional Tionghoa. Di Tiongkok sendiri, keyakinan tradisional yang dianut adalah sinkretisme dari Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Sehingga jangan kaget kalau memang di dalam kelenteng bisa menemukan altar Buddha, altar Kong Hu Cu, dan altar dewa-dewi Tao sekaligus. Di Indonesia, keyakinan ini disebut sebagai Tridharma dan bernaung di bawah Dirjen Agama Buddha. Tapi tidak semua kelenteng juga ada altar untuk Buddha, tergantung “aliran” dan keyakinan dari kelenteng tersebut.
Baiklah, selesai dengan penjelasan singkat, maka saya segera melewati gapura kelenteng tersebut. Ada sebuah halaman yang cukup luas. Sebuah kelenteng yang baik memang memiliki halaman layaknya alun-alun. Sebuah bangunan berciri khas Tiongkok klasik berdiri dengan kokoh. Di sebelah kiri dan kanannya terdapat pahatan yang mengisahkan tentang Perjalanan ke Barat (Xi You Ji, atau kisah Tang Xuan Zang mencari kitab suci ke barat). Saya segera memasuki gedung kelenteng.
Fu De Zheng Shen
Altar utamanya adalah altar untuk Hok Tek Ceng Sin (Fu De Zheng Shen), alias Dewa Bumi. Biasanya orang Tionghoa berdoa kepada Hok Tek Ceng Sin sebagai simbol berkah dan usaha yang maju (umumnya orang Tionghoa adalah pedagang). Konon Fu De Zheng Shen pernah terlahir sebagai manusia pada zaman Dinasti Zhou, sebagai soerang pejabat pemerintahan bernama Zhang Fu De. Pada masa kanak-kanak, Zhang sudah menunjukkan kepandaiannya baik dalam ilmu sastra dan pergaulan. Ia juga senang membantu orang-orang miskin. Ketika Zhang tumbuh dewasa, ia diangkat menjadi seorang pejabat, dan ia tetap senang membantu rakyat-rakyat yang mengalami kesulitan. Pejabat Zhang wafat pada usia 102 tahun, dan karena kebijaksanaan serta rasa murah hati yang sudah membekas pada rakyat Tionghoa, maka Zhang Fu De kemudian dikenang sebagai Fu De Zheng Shen.
Dari suasana altar dan corak patung, nuansa zaman dulu sangat terasa kuat. Kelenteng ini memang bersejarah sekali, sebab kelenteng ini konon didirikan pada tahun 1672, alias sudah 347 tahun.
Merangkul Keyakinan Lokal
Saya pun berkeliling untuk melihat altar-altar yang lainnya sambil memberi penghormatan. Dalam keyakinan tradisional Tionghoa, menghormati altar dewa-dewi bukanlah sebuah bentuk mendua kepada Tuhan. Keyakinan tradisional Tionghoa tetap mengakui adanya Tuhan YME yang disebut sebagai “Tian” (baca: thien). Hal ini ditunjukkan dengan setiap berkunjung ke kelenteng, maka pertama-tama kita harus memberikan penghormatan kepada Tian terlebih dahulu, yang ditunjukkan dengan menancapkan tiga batang dupa di hiolo (tempat dupa) yang berada paling depan. Biasanya orang Tionghoa melakukan persembahyangan kepada Tian dengan menghadap langit.
Di antara berbagai altar, ada dua yang paling menarik perhatian saya, yakni altar Raden Suryakencana dan Mbah Bogor. Raden Suryakencana diyakini sebagai leluhur orang Sunda, terutama bagi orang-orang yang berada di Cianjur. Selain di Vihara Dhanagun, saya juga pernah melihat altar persembahyangan untuk Raden Suryakencana di Kelenteng Pasar Baru. Sedangkan Mbah Bogor, sulit sekali untuk menemukan informasinya. Satu-satunya informasi yang paling dekat adalah Mbah Dalem Bogor, yang adalah sesepuh spiritual bagi orang Sunda. Kehadiran altar Raden Suryakencana dan Mbah Bogor sebenarnya tidak terlalu mengejutkan saya, sebab hal ini lazim dilakukan oleh kelenteng-kelenteng lainnya, yang memang selalu menghargai dan turut menjaga keyakinan lokal setempat, bukan justru melarang dan menghancurkannya.
Tepat di sebelah altar Mbah Bogor, terdapat sebuah pohon besar yang seolah “menyempil” di bagian belakang kelenteng. Pohon ini diberi kembang sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Bogor. Praktik ini mengingatkan saya kepada Animisme, sebuah keyakinan lokal asli Nusantara yang menghormati arwah leluhur. Penganut animisme meyakini bahwa arwah leluhur bisa saja masih berada di sekitar kita dan menetap di pohon, sehingga ada pohon-pohon tertentu yang dikeramatkan. Animisme masih bisa kita temukan di daerah-daerah pedalaman, atau di Bali cukup sering ditemui. Sayangnya, keyakinan lokal asli Nusantara ini justru tergerus dan nyaris punah oleh agama-agama impor yang masuk ke Indonesia.
Penghormatan kepada Buddha
Usai mengelilingi kelenteng ini, saya masih tidak menemukan altar untuk Buddha. Bisa jadi memang tidak ada. Tetapi bentuk penghormatan kepada Buddhisme di kelenteng ini terwujud dalam 2 altar, yakni altar untuk Guan Shi Yin Phu Sa (Avalokitesvara) dan Di Zhang Wang Phu Sa (Ksitigarbha). Baik Avalokitesvara (dewi Kwan Im) dan Ksitigarbha, dalam keyakinan Buddhisme mazhab Mahayana, adalah dua sosok Bodhisatva (calon Buddha) yang bertekad untuk membantu meringankan penderitaan makhluk hidup. Avalokitesvara merupakan simbolisme dari cinta kasih universal, sehingga seringkali diwujudkan dalam sosok feminin layaknya seorang ibu; sedangkan Ksitigarbha merupakan simbolisme dari welas asih, yakni rasa empati dan keinginan untuk menolong orang-orang yang kesulitan. Konsep empati dan keinginan untuk menolong orang-orang yang kesulitan sendiri dikaji dalam psikologi, yang secara teknis disebut sebagai compassion. Dalam Buddhisme, welas asih atau compassion tidak bisa serta-merta langsung diarahkan kepada orang lain (welas asih harus disertai kebijaksanaan). Compassion harus diarahkan kepada diri sendiri terlebih dahulu, atau dalam psikologi juga dikenal self-compassion.
Meski tidak ada altar khusus untuk Buddha Gautama / Sakyamuni, namun terdapat sebuah arca Buddha berwarna putih di bagian belakang kelenteng.
Semoga Tetap Lestari
Mengelilingi kelenteng ini secara singkat memberikan sebuah kesan tersendiri. Vihara Dhanagun bukan hanya sekadar tempat persembahyangan orang Tionghoa. Jauh di balik itu, kelenteng yang sudah berusia hampir 350 tahun ini menjadi saksi bisu sejarah Nusantara. Di sinilah sepotong sejarah panjang Indonesia bisa kita temukan. Semoga lestari.