Saya pertama kali mengenal sate maranggi dari Cipanas, kala itu saya sedang diajak untuk menjadi narasumber dalam sebuah kegiatan dan salah seorang panitia menawari saya untuk menyantap sate maranggi. Oleh sebab itu saya sering mengira bahwa sate maranggi adalah makanan khas Puncak. Saya baru tahu belakangan, ketika sedang googling mengenai Purwakarta, bahwa sate maranggi berasal dan menjadi makanan khas dari Purwakarta.
Maka, ketika pertama kali mengunjungi Purwakarta, makanan pertama yang saya coba adalah sate maranggi, langsung di Cibungur, tempat sate maranggi yang konon terenak berada. Ciri khas dari sate maranggi adalah dagingnya yang direndam bumbu dulu selama satu malam sebelum dibakar, sehingga bumbunya meresap ke dalam daging dan tidak perlu menggunakan tambahan saus lagi untuk menyantapnya.
Saya sempat bertanya-tanya, mengapa daging di sate maranggi hanya ada tiga potong dalam satu tusuk? Kesannya jadi cepat habis (karena biasanya saya sekali gigit langsung dua potong daging) dan porsinya kecil, padahal rasanya sudah enak sekali. Pertanyaan tersebut terjawab ketika saya mengunjungi Bale Indung Rahayu, sebuah museum yang menyajikan berbagai filosofi Sunda secara modern dan menarik.
Kata “maranggi” ternyata berasal dari nama seseorang, yakni Ranggi. Beliau adalah seorang penjual sate yang kala itu sangat terkenal, dan sudah jadi kebiasaan orang Sunda untuk memanggil seorang wanita yang berusia sepantar dengan ibu kita dengan sebutan “Mak”. Jadilah orang-orang menyebut, “sate Mak Ranggi.” Ternyata asal usul Sate Maranggi ini sederhana :D.
Meski sejarahnya sederhana, tetapi ada filosofi yang bagus di dalam sate maranggi. Ternyata tiga potong daging itu melambangkan tri tangtu dalam Budaya Sunda: tekad, ucap, lampah. Potongan daging pertama melambangkan tekad, kedua melambangkan ucap, ketiga melambangkan lampah atau tindakan.
Tekad merupakan niatan yang sungguh-sungguh terhadap suatu tujuan. Suatu hal yang besar selalu diawali oleh tekad. Kita bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh hingga lulus sekolah, kita bertekad untuk bekerja dengan giat agar mendapatkan berkah, tekadlah yang membuat kita mau untuk memulai sesuatu.
Ucap adalah kata-kata yang keluar dari mulut kita. Ucap ini erat kaitannya dengan tekad. Tekad berasal dari pikiran, dan ucapan merupakan kata-kata yang terbentuk karena adanya pemikiran di dalam proses kognitif kita. Seseorang tidak akan mungkin berucap tanpa memiliki alasan. Tekad biasanya diucapkan, baik kepada diri sendiri ataupun kepada orang banyak.
Lampah adalah tindakan. Tekad yang diucapkan akan menjadi sia-sia apabila tidak direalisasikan dalam bentuk tindakan. Tekad dan ucap yang baik akan diikuti dengan tindakan baik, kemudian menghasilkan sesuatu yang baik juga; sedangkan tekad dan ucap yang buruk akan diikuti dengan tindakan buruk, hasilnya tentu hal yang buruk juga.
Tekad, ucap, lampah senantiasa adalah cara leluhur Sunda mengingatkan bahwa ada tiga hal yang harus diperhatikan sebagai manusia, yakni: pikiran, ucapan, dan tindakan. Sebuah keberhasilan berasal dari tekad yang benar, ucap yang benar, dan tindakan yang benar. Sebuah kegagalan berasal dari tekad yang salah, ucap yang salah, dan tindakan yang salah.
Tekad dan ucap juga bisa melambangkan doa. Setelah berdoa, harus diikuti dengan tindakan. Tindakan sendiri juga perlu diawali dengan doa, yakni tekad dan ucap. Maka, tekad-ucap-lampah juga melambangkan bahwa segala tindakan kita harus diawali dengan doa.
Sambil menyantap sate maranggi, saya mengangguk-angguk merenungkan makna filosofi ini.
Kumpulan tulisan saya tentang Purwakarta:
1. Pengalaman Backpacking di Purwakarta: Itinerary dan Biaya
2. Kuliner Rekomendasi di Purwakarta
3. Review Eli Hostel Purwakarta
4. Pendakian Gunung Lembu, Purwakarta
5. Filosofi di balik Kuliner Sate Maranggi khas Purwakarta