Ide berlibur ke Tasikmalaya tercetus setelah mempertimbangkan tiga hal. Petama, ingin wisata kuliner; kedua, ingin wisata alam; dan ketiga, ingin daerah yang masih dekat dengan Jakarta, karena keterbatasan waktu libur. Googling sana sini, terpikirkanlah Tasikmalaya! Ada aneka kuliner unik yang bisa dicicipi, ada Gunung Galunggung yang bisa dikunjungi, dan ada Kampung Naga yang bisa disambangi. Cukup naik bus selama 7 jam dari Jakarta! (eh, naik bus 7 jam itu kabar baik atau kabar buruk ya?)
Saya berangkat dari pool Primajasa di Cililitan, Jakarta Timur. Supaya tiba di Tasikmalaya masih pagi, saya berangkat dari jam 10 malam. Sesuai prediksi, saya tiba di kota Tasikmalaya keesokan harinya sekitar pukul 5 pagi. Suasana dingin menyelimuti, karena kebetulan kota Tasikmalaya memang berada di daerah pegunungan. Ingin mencari sarapan, tempat makan masih belum buka; ingin segera ke tempat rental motor, belum buka juga. Akhirnya saya menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di pool Tasikmalaya sambil memainkan ponsel, sambil menunggu jam 6.
1. Wisata Alam di Gunung Galunggung
Setelah langit mulai terang, saya langsung mencari sarapan. Pagi hari di Kota Tasikmalaya kita bisa menemukan banyak penjual nasi kuning, bubur ayam, dan surabi sebagai menu sarapan. Surabi di sini rasanya gurih, dan bisa dimakan bersama dengan oncom maupun telur mata sapi. Kombinasi surabi dengan oncom rasanya nikmat sekali! Harganya Rp3000 per buah dan bisa ditemukan hampir di setiap sudut kota pada pagi hari.
Kenyang sarapan, kami langsung mengambil motor di tempat rental, untuk menuju destinasi pertama kita: Gunung Galunggung.
Lokasinya di Kabupaten Tasikmalaya, namun tidak terlalu jauh dari pusat kota. Kurang lebih membutuhkan waktu 1 jam perjalanan saja. Lokasinya pun mudah ditemukan karena sudah tersedia penunjuk jalan dan sebagian besar warga sudah tahu Gunung Galunggung.
Di Gunung Galunggung, kita bisa melihat kawah Galunggung yang terkenal itu. Kawah Galunggung ‘terbentuk’ akibat letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982. Berbeda dengan kawah putih di Ciwidey yang masih mengeluarkan asap belerang, kawah di Galunggung tidak menimbulkan bau belerang. Pada akhir pekan, banyak kelompok pecinta alam yang mendaki Galunggung dan berkemah di sekitar daerah ini.
Dari tempat parkir untuk menuju Kawah Galunggung terdapat dua pilihan jalan: melalui tangga dengan 620 anak tangga atau jalan setapak yang lebih landai. Agar lebih menantang, saya memilih untuk menaiki 620 anak tangga, dan rasanya ternyata tidak mudah! Beberapa kali saya berhenti untuk menstabilkan napas.
Semua terbayar setelah tiba di Kawah Galunggung dengan danau yang luas. Warna airnya hijau jernih! Rasanya ingin menceburkan diri dan mandi, tapi baru sadar saya kan tidak bisa berenang, hehehe… Lagipula berenang di danau kawah Galunggung dilarang karena berbahaya (NB: ada yang pernah meninggal karena berenang di sini).
Selain melihat kawah, ada juga Curug Agung yang bisa dikunjungi, tetapi ternyata hanya bisa dilihat dari kejauhan saja karena dipagar. Kecewa, deh.
Tips: lebih baik sewa mobil atau sepeda motor untuk berkunjung ke Galunggung, tidak disarankan menggunakan kendaraan umum! Sebab jarak antara gerbang ke tempat wisata sangat jauh, sekitar 5 km dan jalannya menanjak.
2. Kampung Adat Kampung Naga
Destinasi kita selanjutnya adalah Kampung Naga yang terletak di Desa Neglasari, yang letaknya berada di jalan antara Tasikmalaya-Garut (perbatasan). Dari pusat Kota Tasikmalaya jaraknya sekitar 30 meter, tetapi kalau dari Gunung Galunggung kurang lebih perjalanan hanya 40an menit.
FYI, Kampung Naga ini bukan desa wisata, jadi harus memerhatikan adat setempat ya! Gunakan pakaian sopan dan bersikap respek kepada warga. Awalnya warga Kampung Naga tidak ingin menerima tamu dari luar kampung karena dikhawatirkan mengganggu keaslian tradisi mereka, tetapi sekarang mereka sudah terbiasa dengan kehadiran orang ‘asing’, oleh karena itu jangan sampai kita mengusik kehidupan mereka.
Karena masih menjaga keaslian adat, warga Kampung Naga menolak kehadiran listrik. Tidak ada TV, ponsel, ataupun lampu di sini. Untuk penerangan di malam hari mereka menggunakan lampu minyak. Rumahnya juga seragam: lantainya terbuat dari papan kayu dan bambu (btw, lantai dari bambu itu rasanya adem sekali!), dinding dari bambu, dan atap jerami. Sederhana, tetapi nyaman dan otentik sekali. Penataan rumahnya pun ada aturannya, yakni harus membujur dari barat ke timur.
Seorang warga mengajak saya untuk mampir ke rumah beliau. Ternyata warga Kampung Naga tidak tertutup seperti yang saya kira! Beliau mengucapkan terima kasih karena sudah bersedia menjalin silaturahmi dengan mereka, dan mengajak masuk untuk sekadar minum teh dan berbincang-bincang, bahkan ditawari makan siang juga oleh istri beliau, tetapi kami tolak karena sungkan, hehehe… Dari hasil berbincang, sebagian besar warga berprofesi sebagai petani. Oh iya, di sini saya juga melihat padi yang baru dipanen dan sedang dijemur, yang kemudian akan ditumbuk dan menghasilkan beras. Tradisional sekali!
Menikmati keaslian adat dan alam yang ada di Kampung Naga terasa menyenangkan sekali. Bersyukur bisa tinggal di Indonesia dengan budaya yang beragam. Kita juga bisa menginap di sini, tetapi harus minta izin dari beberapa hari sebelumnya kepada kuncen di sini.
Tips: tanya kepada warga tempat-tempat yang dilarang untuk dipotret, karena ada beberapa titik di kampung ini yang dikeramatkan dan dilarang mengambil fotonya. Pastikan bersikap sopan dan menghargai adat di kampung ini, agar kehadiran kita tidak mengganggu mereka.
3. Monumen Geger Hanjuang dan Curug Pamutuh
Hari kedua – Rencana awal saya pada hari ini adalah mengunjungi Tonjong Canyon di Tasikmalaya bagian selatan, tetapi setelah membaca google map dan mempertimbangkan jarak akhirnya saya batalkan, dan destinasi saya hari ini adalah Curug Pamutuh.
Kenapa saya memilih Curug Pamutuh? Pertama, berdasarkan info yang saya dapat di internet, Curug Pamutuh masih asri dan cantik; kedua, lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota, dan ternyata berada di kaki Gunung Galunggung! Balik lagi deh ke Galunggung, hehehe…
Oh iya, di tengah-tengah perjalanan dari kota ke Curug Pamutuh, saya melewati Desa Tawang Banteng, dan pemandangannya indah sekali…
Mengikuti google map, perjalanan kemudian memasuki perkampungan dan mulai memasuki jalur hutan. Sempat tersesat, tapi akhirnya kami tiba di desa Linggamulya. Sebelumnya kami berfoto-foto dulu di Monumen Geger Hanjuang. Tempat ini merupakan tempat yang bersejarah, karena di sinilah ditemukan Prasasti Geger Hanjuang peninggalan Kerajaan Galunggung yang memuat tanggal berdirinya Tasikmalaya, yakni pada tanggal 21 Agustus 1111 Masehi.
Kemudian saya bertanya kepada warga setempat untuk menuju Curug Pamutuh. Mereka menyarankan agar saya dipandu oleh seorang pemuda warga menuju ke sana, karena dikhawatirkan tersesat. Sebenarnya ada muncul kecurigaan, jangan-jangan ini akal-akalan warga agar saya memberikan uang kepada mereka; tetapi karena mereka terus menyarankan agar saya menggunakan pemandu, akhirnya saya iyakan.
Dan memang harus pakai pemandu! Karena jalannya memasuki hutan yang masih alami, dalam artian tidak ada jalan setapak yang menjadi pengarah, tidak ada petunjuk, dan tidak ada jejak-jejak dari manusia seperti keberadaan sampah (sedih ya, terkadang saya menggunakan sampah sebagai petunjuk arah kalau sedang berjalan di hutan, karena dengan adanya sampah berarti ada manusia yang melewati tempat itu). Kami berjalan menyusuri tepi sungai, kadangkala harus menyeberanginya juga dengan melangkah dari batu ke batu. Dipastikan tersesat bila pertama kali datang ke sini tanpa pemandu!
Perjalanan menuju Curug Pamutuh tidak akan pernah saya lupakan… sebab ada pada satu titik, kami jalan menyusuri dinding tebing. Jalannya hanya selebar satu tapak kaki, di sebelah kiri adalah tebing, dan di sebelah kanan adalah jurang menganga yang dalam! Bahkan saya sampai tidak kuat ketika menengok sebentar ke bawah dan melihat sedalam apa jurang tersebut, saking tingginya. Berjalan terpeleset sedikit, bye bye! Maka dari itu pastikan gunakan jasa pemandu dan berhati-hati dalam melangkah.
Setelah perjalanan singkat (selama 15 menit) tapi cukup menegangkan, tibalah kami di Curug Pamutuh, hello Pamutuh!
Di sini kami bertemu dengan serombongan remaja yang merupakan orang asli Tasikmalaya, kalau mereka sepertinya sudah terbiasa dengan jalur seperti ini ya. Di Curug Pamutuh ada sebuah danau besar yang airnya masih jernih sekali. Alamnya masih asri dan alami sekali! Tidak ada sampah dan benar-benar seperti jarang tersentuh oleh manusia! Tapi di mana curugnya? Ternyata curugnya hanya bisa dilihat setelah kita berenang di danau tersebut. Sayangnya saya tidak bisa berenang, jadi hanya bisa menikmati keasrian alam dan danaunya. Thank God I was here!
Tips: gunakan pemandu dan jangan bawa anak-anak ke sini, mengingat jalurnya yang berbahaya. Bawa juga persediaan air minum.
Oh iya, oleh warga saya diberitahu bahwa memang jalur menuju Curug Pamutuh ini belum resmi, sehingga memang harus melewati hutan (dan sebenarnya ada tanda dilarang masuk di sana!). Kabarnya pemerintah sudah berwacana untuk membangun daerah ini menjadi tempat wisata sehingga Curug Pamutuh bisa dinikmati tanpa harus melewati jalur hutan. Apapun itu… semoga orang Indonesia bisa menghargai keasrian alamnya sendiri. Amin.
4. Museum Bumi Alit Sukapura
Masih hari kedua, setelah puas menikmati Curug Pamutuh saya kembali ke kota untuk beristirahat. Rencana selanjutnya adalah Museum Bumi Alit yang berada di selatan Tasikmalaya. Cukup jauh, sekitar 30 kilometer juga dari kota.
Museum Bumi Alit merupakan satu-satunya museum yang berada di Tasikmalaya, sehingga saya menjadi tertarik untuk mengunjunginya. Lokasinya ternyata sulit dicari karena berada di dalam gang! Gunakan google map dan GPS “alami” (GPS = Gunakan Penduduk Sekitar alias nanya sama warga, hahahaha), agar tidak tersesat. Patokannya adalah Terminal Sukaraja. Bila sudah tiba di sana, langsung saja bertanya kepada warga agar ditunjukkan jalannya.
(Btw, ada Museum Bumi Alit juga di Ciamis; tetapi berbeda dengan yang di Tasikmalaya, jangan sampai salah ya.)
Berdasarkan informasi yang saya peroleh, museum ini menyajikan peninggalan Pemerintah Sukapura yang pernah dibentuk oleh Belanda pada tahun 1652. Isi dari museum ini adalah koleksi barang-barang, senjata, dan foto-foto pemerintahan Sukapura. Sekilas mungkin museum ini kurang populer dibandingkan koleksi museum lainnya, tapi nilai sejarahnya yang tinggi membuat saya merasa museum ini layak dikunjungi.
Namun sayang beribu sayang, ketika saya tiba di sini museum sedang ditutup. Jadi saya hanya sampai di luarnya saja. Agak kecewa, tapi mau bagaimana lagi…
5. Malam di Kota Tasikmalaya: Taman Hutan Kota
Di malam hari, saya pergi ke Taman Kota Tasikmalaya. Di sini suasananya ramai sekali, sebab ada pasar malam dan banyak orang ke sini baik untuk berwisata kuliner atau sekadar duduk-duduk. Aneka pedagang mulai dari souvenir sampai makanan ada di sini. Coba soteng (bakso bonteng) khas Tasikmalaya di sini, atau cigor (cilok goreng) yang gurih dan nikmat. Oh iya, di sini juga ada hiburannya, yaitu singing fountain yang berwarna-warni. Uniknya, singing fountain di sini diiringi dengan musik pop Indonesia lo! Beda banget dengan yang di Jakarta.
Setelah puas bersantai-santai di Taman Kota, saya pun kembali ke hotel untuk beristirahat.
Pulang ke Jakarta
Hari ketiga, hari kepulangan saya kembali ke Jakarta. Hari ketiga saya habiskan hanya untuk berwisata kuliner dan membeli oleh-oleh saja (baca: Wisata Kuliner khas Tasikmalaya). Saya segera menuju pool bus Primajasa untuk menumpangi bus jam 11 siang. Sepanjang perjalanan saya disuguhi pemandangan persawahan khas Tatar Sunda yang asri dan indah.
Tak heran Tasikmalaya kemudian dijuluki Mutiara dari Priangan. Alamnya indah, hijau dan dikelilingi oleh pegunungan.
Thank for the memories, Tasik.