Sebenarnya keinginan untuk ke Solo sudah muncul sejak enam hingga tujuh tahun yang lalu, saat saya masih kuliah. Sayangnya, karena saya memiliki prioritas lain yang harus diselesaikan, baru tahun ini saya punya kesempatan ke Kota Solo.
Pukul 22.00 WIB. Berangkat dari Stasiun Pasar Senen dengan menggunakan kereta api. Ini pertama kalinya saya berangkat dengan menggunakan kereta bisnis (sebelumnya kalau tidak kereta eksekutif, ya ekonomi). Perjalanan akan memakan waktu 8 jam sehingga saya akan “menginap” di dalam kereta. Jam 6 pagi, saya sudah tiba di Stasiun Solo Balapan.
Banyak yang bertanya, beratkah melakukan perjalanan semalaman di kereta? Jawabannya… lumayan. Saya pernah menggunakan kereta ekonomi dari Malang ke Jakarta dan memakan waktu 15 jam, rasanya pegal dan lelah sekali. Namun bila durasi perjalanan 8 jam, sebenarnya tidak terlalu merepotkan, apalagi kalau menaiki kereta eksekutif. Intinya, persiapkan masker agar bisa menutup kita saat tidur… supaya kalau mangap tidak mengganggu orang lain :P.
Kamis, 27 Juli 2017
Begitu tiba di Stasiun Solo Balapan, saya langsung ke toilet untuk mencuci muka. Bagi yang ingin bersih-bersih badan juga bisa melakukannya di toilet stasiun.
Pasar Gede
Tujuan pertama saya adalah Pasar Gede. Pasar ini merupakan pasar tradisional terbesar di Kota Solo dan memiliki sejarah yang menarik untuk disimak. Nama lengkap dari pasar ini adalah “Pasar Gede Harjonagoro”. Pasar ini disebut gede karena pasar ini berukuran besar (luasnya 10,421 hektar), sedangkan sebutan Harjonagoro berasal dari nama seorang Tionghoa yang bergelar “Hardjonegoro” dari Keraton Surakarta; oleh karena ini sebenarnya pasar ini melambangkan harmoni antaretnis. Pasar Gede mulai dibangun pada tahun 1927 dan selesai pada tahun 1930 oleh seorang arsitek Belanda bernama Thomas Karsten.
Rasanya tidak lengkap kalau sudah ke Solo tapi tidak ke Pasar Gede, sebab di sinilah suasana tradisional Solo sangat terasa. Orang-orang Solo ramah-ramah, mereka selalu akan menyambut pertanyaan maupun sapaan kita dengan senyum. Misalnya, ketika saya sedang menyantap camilan sambil berbincang dengan warga lokal yang baru saya temui. Mereka dengan santai menanggapi kita dan kadangkala memberikan informasi mengenai tempat-tempat lain yang perlu kita kunjungi di Solo.
Hal wajib yang dilakukan ketika sudah di Pasar Gede adalah wisata kuliner! Ada banyak makanan tradisional khas Solo di sini, sebut saja lenjongan, hidangan berupa aneka olahan singkong (tiwul, gethuk) dan aneka ketan yang dicampur, kemudian ditaburi kelapa parut dan disiram gula jawa. Teksturnya kenyal dan rasanya manis legit. Disajikan di atas pincukan daun pisang. Rasanay enak sekali! Harganya pun murah meriah, Rp5000 seporsi.
Selain lenjongan, di sini juga ada penjual brambang asem, yakni daun ubi yang disiram dengan bumbu berbahan gula jawa, brambang (bawang merah), asem, dan cabai; rasanya mirip seperti makan daun ubi dengan bumbu rujak. Sempatkan juga cabuk rambak, yakni kerupuk rambak dengan irisan lontong kemudian disiram bumbu cabuk (bumbu dari wijen). Harganya juga Rp5000 seporsi. Makanan-makanan tersebut wajib dicoba ketika mengunjungi Solo. Sebagai hidangan penutup, cicipi es dawet selasih di Pasar Gede, sebuah hidangan dawet dengan biji selasih berkuah santan yang harum dan manis. Ketika Pak Joko Widodo masih menjadi walikota Solo, beliau sering menyantap es dawet selasih di sini.
Keraton Surakarta Hadiningrat
Jaraknya tidak terlalu jauh dari Pasar Gede sehingga bisa dijangkau dalam waktu sekitar 10 menit dengan menggunakan becak. Kalau ingin sedikit berolahraga, bisa berjalan kaki sekitar 20-30 menit. Sebelum mencapai keraton, kita akan menemukan Pasar Klewer dan kita dapat berbelanja batik, souvenir, maupun sekadar berwisata kuliner. Salah satu kuliner yang paling terkenal di Pasar Klewer adalah tengkleng Ibu Edi yang laris manis. Perut kenyang, perjalanan ke keraton pun dilanjutkan.
Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan keraton yang berdiri setelah konflik panjang yang terjadi dalam Kesultanan Mataram Islam. Awalnya keraton berpusat di hutan Wonokarto (sekarang masuk ke dalam Kabupaten Sukoharjo), kemudian karena peristiwa Geger Pecinan, pusat pemerintahan pun dipindahkan di Desa Sala, yang sekarang disebut sebagai “Solo” dan menjadi lokasi Keraton Surakarta saat ini.
Objek wisata yang harus kita kunjungi ketika kita berada di area keraton adalah Museum Keraton Solo, yang juga sekaligus menjadi objek wisata Solo yang paling populer. Tiket masuknya hanya Rp10.000, dan sangat saya sarankan untuk menggunakan jasa guide (tarifnya tidak ditetapkan, silakan berikan sesuai dengan jasa yang telah mereka berikan kepada kita) agar bisa memeroleh informasi yang jelas mengenai objek-objek yang terdapat di area keraton.
Hal yang paling unik dari Keraton Surakarta/Keraton Solo adalah area pelataran yang dihampari oleh pasir yang berasal dari Pantai Parang Kusumo. Menurut guide, pasir-pasir ini memiliki banyak fungsi, seperti misalnya menyerap air saat hujan besar sehingga keraton lebih tahan banjir dan meredam efek gempa ketika gempa bumi sedang terjadi. Area ini disebut sebagai Sasana Sewaka.
Di area ini pula bisa kita saksikan Panggung Sanggabuwana yang berdiri kokoh. Panggung Sanggabuwana dipercaya sebagai tempat bersemedinya raja-raja Solo, selain sebagai tempat pertemuan dengan Kanjeng Ratu Kidul. Oleh sebab itu, tempat ini tidak boleh dimasuki sembarang orang dan kita hanya bisa menyaksikannya dari luar. Di puncak bangunan ini, terdapat hiasan berbentuk naga yang dikendarai oleh manusia sambil memegang panah yang bila ditafsirkan akan menghasilkan angka 1708, tahun di mana panggung tersebut didirikan (berdasarkan kalender Jawa). Selain itu, pada puncak ini juga terdapat ramalan tahun kemerdekaan Indonesia, yakni tahun 1945 berdasarkan penanggalan Masehi.
Di dalam area museum, kita bisa melihat berbagai koleksi Keraton Solo, seperti fragmen-fragmen candi, peralatan gamelan, senjata-senjata keluarga kerajaan, sampai koleksi kereta kencana. Dan salah satu yang menurut saya menarik adalah guci hadiah dari Tiongkok, di mana guci tersebut bila diketuk akan mengeluarkan bunyi dan nada seperti gamelan.
Check-in dan Istirahat!
Usai mengunjungi Pasar Gede dan Keraton Solo, saya pun berjalan menuju daerah Keprabon, tempat saya akan menginap. Saya menyarankan agar mencari penginapan di sekitar Keprabon, sebab area ini sangat dekat dengan berbagai tempat wisata di Solo. Misalnya, Galabo dan Istana Mangkunegaran dapat kita capai hanya dengan berjalan kaki selama 5-10 menit; sedangkan menuju Pasar Gede, Keraton, maupun area Sriwedari juga masih dapat dicapai kurang dari 20 menit bila menggunakan kendaraan bermotor.
Tak jauh dari Keprabon, saya juga menyempatkan diri untuk mencicipi sate buntel di Jl. Tambaksegaran yang bisa dicapai hanya dengan 10 menit berjalan kaki.
Setelah itu, saya segera check in ke hotel dan membersihkan diri (mandi), kemudian beristirahat. Sore hari di Solo adalah waktu yang paling pas untuk beristirahat, sebab sebagian besar tempat wisata sudah tutup.
Wisata Kuliner di Galabo
Pukul 18.00, usai beristirahat, saya pun bersiap-siap untuk berjalan ke Galabo (Gladag Langen Bogan), sebuah area wisata yang beroperasi di malam hari. Sebenarnya waktu yang paling pas untuk ke Galabo adalah di atas pukul 19.00, ketika sebagian besar pedagang sudah mulai berjualan dan pemain organ tunggal sudah siap untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam bermusik. Menurut saya Galabo adalah tempat yang paling menyenangkan untuk melewatkan malam di Solo: duduk di area outdoor menyantap berbagai kuliner khas Solo sambil ditemani oleh live music nostalgia. Cicipi berbagai macam wedangan dan makanan khas Solo yang sulit ditemui di kota lain.
Jumat, 28 Juli 2017
Pada hari kedua saya di Solo, tujuan saya adalah mengunjungi Museum Radya Pustaka, melihat Sungai Bengawan Solo, dan mengunjungi Kabupaten Sukoharjo.
Sarapan lagi di Pasar Gede
Ya… sarapan di Pasar Gede adalah hal yang paling saya suka, sebab kuliner di sini ada banyak dan beragam. Di belakang Pasar Gede terdapat penjual timlo ternama yang bernama Timlo Sastro. Saya pun menyempatkan diri untuk mencicipi sup ayam dengan telur kecap dan sosis Solo di sini. Selain itu, saya juga berbelanja oleh-oleh di Pasar Gede untuk dibawa ke Jakarta.
Istana Mangkunegaran
Usai sarapan, saya segera menuju Istana Mangkunegaran yang berada tak jauh dari tempat saya menginap. Pada masa kolonial, wilayah Solo terbagi menjadi dua kekuasaan, yakni Kasunanan Surakarta yang kini menjadi Keraton Solo dan Kadipaten Mangkunegara yang kini jejaknya bisa kita lihat di Istana Mangkunegara. Sebenarnya, baik Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, maupun Kadipaten Mangkunegara memiliki asal usul yang sama. Adipati Mangkunegara yang pertama, yakni Pangeran Raden Mas Said (Sambernyawa) merupakan salah satu keturunan Keraton Solo, demikian juga Sri Sultan Hamengkubuwono yang pertama adalah salah satu pangeran di Keraton Solo.
Setelah membayar tiket masuk, saya langsung diajak berkeliling-keliling melihat istana. Di sini kita diwajibkan untuk ditemani oleh guide. Tempat yang paling menarik adalah Dalem Ageng, yang berisi berbagai koleksi milik Istanan Mangkunegaran, seperti perhiasan, teko teh, tempat tidur pengantin, dan lainnya; namun di sini kita tidak boleh menggunakan kamera sehingga tidak ada gambar yang terekam di dalam ponsel saya. Di belakang Dalem Aageng ada sebuah teras terbuka yang bernama Pringgitan, di sini kita juga bisa melihat-lihat berbagai koleksi seperti topeng Jawa maupun foto-foto keluarga adipati. Ada juga koleksi kereta kencana seperti di Keraton Solo.
Sriwedari dan Museum Radya Pustaka
Saya langsung menuju daerah Sriwedari. Di sini ada Taman Hiburan Rakyat yang menampilkan berbagai kesenian khas Jawa, namun di malam hari. Area yang menarik di sekitar Sriwedari saat siang hari adalah Museum Radya Pustaka.
Radya Pustaka disebut-sebut sebagai museum tertua di Indonesia, sebab ia didirikan pertama kali pada tahun 1890, meski sudah pernah mengalami perpindahan tempat. Koleksi yang bisa kita lihat di sini adalah berbagai macam arca, benda-benda pusaka adat, manuskrip-manuskrip kuno, maupun wayang.
Paling menarik perhatian saya adalah patung kepala raksasa bernama Kyai Rajamala yang sebenarnya merupakan hiasan depan sebuah perahu yang dulu dibuat oleh Pakubuwono kelima ketika masih menjadi seorang pangeran. Pakubuwono V sebenarnya membuat dua patung, satunya disimpan di Museum Radya Pustaka sedangkan satunya lagi disimpan di Keraton Solo.
Kyai Rajamala disimpan di salah satu sudut museum dengan penerangan yang remang. Entah sugesti atau bukan, namun suasana tempat penyimpanan Kyai Rajamala memang terkesan mistis, seolah ada atmosfer yang lain di sana. Sebagian orang pun kadangkala memberikan sesajen kepada Kyai Rajamala.
Dan, salah satu lokasi yang paling menarik di Museum Radya Pustaka adalah perpustakaan naskah-naskah Jawa Kuno. Sayangnya tempat ini dikhususkan bagi akademisi di bidang sejarah atau sejarawan.
Saya sangat merekomendasikan pembaca untuk mengunjungi Museum Radya Pustaka bila datang ke Solo, sebab di sini ada banyak sekali koleksi-koleksi yang sarat akan nilai historis. Selain itu, museum ini tergolong modern, dalam tiap koleksi terdapat barcode yang bila kita scan dengan gawai kita dapat memberikan informasi mengenai koleksi tersebut. Sebuah teknologi yang perlu ditiru oleh museum-museum lain.
Menyeberangi Sungai Bengawan Solo, Menuju Kabupaten Sukoharjo
Salah satu yang sangat menarik rasa penasaran saya adalah melihat Sungai Bengawan Solo, sebab selama ini saya hanya mengetahui sungai ini dari buku geografi saya saat masih sekolah dan lagu yang digubah oleh Alm. Gesang. Mengendarai sepeda motor yang saya sewa dari rental, saya pun berkendara ke arah selatan selama kurang lebih 30 menit. Akhirnya saya pun bisa melihat sungai Bengawan Solo dengan mata kepala saya sendiri. Sesi foto-foto norak pun saya lakukan.
Sungai Bengawan Solo juga sekaligus menjadi pembatas antara Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo, oleh karena itu saya juga menyempatkan diri untuk berkeliling sebentar di Sukoharjo. Saya langsung tiba di Kecamatan Mojolaban, sebuah kecamatan di Sukoharjo yang merupakan sentra industri. Setidaknya ada beberapa produk yang dihasilkan oleh kecamatan ini: gamelan, kok (untuk bulutangkis), batik kelengan, ethanol, sampai kerupuk karak.
Karena waktu yang terbatas, saya hanya mengunjungi Desa Gadingan, di mana terdapat sentra industri karak, kerupuk nasi khas Sukoharjo. Saya menyambangi salah satu rumah yang sedang membuat karak. Mengetahui bahwa saya adalah pelancong dari Jakarta, mereka mempersilakan saya untuk masuk ke dalam. Kami mengobrol ngalor-ngidul mengenai Jakarta dan Solo, sambil saya diizinkan mencicipi karak yang sudah digoreng. Sebagai oleh-oleh, saya membeli karak mentah sebanyak 100 keping untuk digoreng di rumah nanti.
Mungkin karena lahir dan besar di Jakarta, maka pemandangan desa adalah hal yang menyenangkan bagi saya. Maka, tak kurang dari 2 jam lamanya saya mengendarai sepeda motor berkeliling desa dan menemukan berbagai hal. Misalnya, peternakan bebek (atau angsa?) yang menurut saya cukup menarik.
Hampir di setiap tikungan di Mojolaban selalu terdapat penjual es degan (es kelapa muda). Karena cuaca terik dan saya juga merasa haus, saya pun merapatkan diri ke salah satu depot penjual es degan. Harganya hanya Rp3000 segelas. Rasa degannya biasa saja, namun yang luar biasa adalah saya bisa menikmati es degan yang segar sambil menikmati pemandangan sawah khas desa, sambil mengobrol dengan warga setempat mengenai berbagai hal. Rasanya luar biasa sekali.
Menyadari waktu sudah sore dan saya juga harus menyambangi tempat lain, saya pun kembali ke hotel yang berada di Solo.
Malam: Nasi Liwet Wongso Lemu
Bisa dibilang nasi liwet Wongso Lemu adalah tempat makan legendaris yang berada di Solo, sebab Wongso Lemu sudah berjualan sejak 1950 (sekarang tentu sudah dipegang oleh penerusnya). Lokasinya berada di daerah Keprabon, cukup berjalan kaki sebentar saja dari hotel saya menginap. Wongso Lemu buka pada sore hari, sekitar pukul 17.00.
Nasi liwet merupakan hidangan khas Solo berupa nasi yang gurih dengan siraman kuah areh (kuning seperti kuah lodeh) dengan ayam, telur, atau baceman. Rasanya gurih sekali. Kabarnya Bapak Soeharto semasa hidupnya gemar sekali menyantap nasi liwet di sini. Pastikan pembaca mampir ke sini ketika mengunjungi Solo.
Sabtu, 29 Juli 2017
Hari terakhir saya di Solo, rencana saya pada hari ini adalah mencicipi selat solo yang sudah saya idam-idamkan sejak masih kuliah dan mengunjungi Kabupaten Karanganyar, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta.
Selat Solo Mbak Lies, Wajib Coba!
Saya masih ingat saat kuliah dulu, seorang teman yang berasal dari Solo selalu mengatakan kepada saya untuk mencoba selat solo bila mengunjungi Solo. Makanya, saat kedatangan saya kali ini, saya pun sudah menyiapkan waktu untuk mencicipi selat solo. Kebetulan berdasarkan informasi yang saya dapatkan setelah googling, selat solo yang terkenal adalah selat solo Mbak Lies yang terdapat di daerah Serengan.
Tempatnya tidak terlalu sulit dicari, namun berada di dalam gang sehingga perlu kejelian untuk menemukannya. Silakan tanya kepada orang sekitar untuk mendapatkan petunjuk arah. Dan, setelah berada di sebuah gang yang mungkin hanya bisa dilewati oleh dua sepeda motor, saya pun tiba di rumah makan Mbak Lies.
Entah apa yang harus saya katakan, tapi tempat ini lebih mirip museum keramik daripada rumah makan! Lihat saja hiasan-hiasan keramik yang bertebaran hampir di setiap sudut rumah makan. Memang ciri khas dari rumah makan ini adalah interiornya yang luar biasa menarik. Nah, berhubung saya datang di pagi hari ketika rumah makan Mbak Lies baru buka, maka baru hanya ada saya sebagai pengunjung. Ini tentu menguntungkan saya, sebab biasanya tempat ini selalu ramai oleh pengunjung, dan sering didatangi oleh selebriti-selebriti maupun tokoh publik.
Setelah selesai dengan sesi norak berfoto-foto, saya pun segera memesan seporsi selat solo. Selat merupakan hidangan adaptasi Jawa terhadap kuliner Belanda. Kata “selat” sendiri berasal dari kata “salad”. Dan lihat saja, hidangan selat Solo memang berisi banyak sayuran seolah menu salad. Bahkan konon katanya selat Solo merupakan hidangan khas Indonesia yang paling sehat, sebab ia tidak digoreng, tidak mengandung santan, dan banyak menggunakan sayuran sebagai bahan.
Ada dua macam selat Solo yang dijual di sini, selat bistik atau selat galantin. Bedanya, galantin lebih mirip rolade sedangkan bistik, ya… sepotong daging seperti steak.
Entah mengapa, makan di sini begitu memorable bagi saya. Mungkin karena saya sudah sejak dulu mengidam-idamkan selat Solo, mungkin karena interiornya yang begitu menarik, mungkin juga karena musik-musik lawas evergreen yang diputar berulang-ulang di sini.
Perjalanan Menuju Karanganyar
Usai sarapan, saya segera kembali ke hotel untuk merapikan barang-barang saya dan segera check-out, sebab saya akan segera bertolak menuju timur kota Solo, menuju dataran tinggi di Kabupaten Karanganyar untuk mengunjungi Kebun Teh Kemuning dan Candi Cetho.
Total perjalanan memakan waktu cukup lama, yakni sekitar 1 jam. Perjalanan dimulai dari jalan raya perbatasan antara Solo-Karanganyar, lalu perlahan-lahan saya mulai memasuki daerah persawahan. Lebih jauh lagi, saya menyadari bahwa saya sudah berada di daerah pedesaan di dataran tinggi. Kemudian, perjalanan mulai terasa berulang-ulang: persawahan, pedesaan, persawahan, dst.
Hingga saya tersadar kini saya sudah berada di jalur pegunungan yang berkelok-kelok dan menanjak. Ada banyak cerita dalam perjalanan ini, misalnya ketika saya kebelet buang air lalu mengetok pintu rumah warga hanya untuk sekadar menumpang toilet. Atau misalnya ketika saya berhenti di sebuah tempat lalu bertanya kepada warga, “Pak, saya sedang berada di mana ya?” Kemudian sang Bapak melihat saya dengan tatapan aneh, mungkin disangka orang tidak waras.
Setelah 30an menit perjalanan, saya pun tiba di Kebun Teh Kemuning. Di sini saya memarkirkan sepeda motor sebentar, menikmati udara kebun teh sambil membeli teh sebagai oleh-oleh. Saya juga menyempatkan diri untuk mengunjungi seorang pedagang untuk menumpang lesehan dan menyeruput kopi untuk menghangatkan tubuh. Karena cuaca yang mendung, niat untuk duduk sebentar berubah menjadi niat untuk beristirahat lebih lama. Tak disangka saya menjadi mengobrol panjang dengan ibu pedagang dan tukang batagor yang sedang mangkal di sana. Kami berbicara banyak sekali, mulai dari kehidupan masing-masing, tentang kebun teh, sampai tentang Candi Cetho yang akan saya kunjungi.
Menyadari waktu mulai siang, saya pun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya saya pun tiba di tujuan saya yang sesungguhnya: Candi Cetho.
Dan… entah bagaimana saya harus mengatakannya. Candi Cetho merupakan candi yang sangat megah! Saya tidak berhenti-hentinya berdecak kagum melihat candi bercorak Hindu peninggalan Majapahit ini. Begitu luas, begitu megah, dan atmosfer spiritualnya masih terasa (bayangkan, candi ini terdiri dari 9 tingkat!). Apalagi tempat ini hampir selalu berkabut, menambah nuansa seolah kita benar-benar dikembalikan ke masa lalu.
Saya mungkin akan menuliskan lebih detil mengenai kunjungan saya ke Candi Cetho di tulisan selanjutnya, agar tulisan ini tidak menjadi terlalu panjang.
Selain Candi Cetho, sebenarnya di Karanganyar kita juga bisa mengunjungi Candi Sukuh dan Tawangmangu. Namun karena keterbatasan waktu, maka saya tidak mengunjungi kedua tempat tersebut.
Pulang ke Jakarta
Saya pun segera berkendara menuju Bandara Adi Soemarmo yang berada di Kabupaten Boyolali, yang bisa kita capai hanya dalam waktu 15 menit dari Solo. Di sini pun saya juga mengembalikan motor sewaan dan terbang kembali ke Jakarta. Thank you Solo!
Kesan dan Tips selama Berkunjung di Solo
– Orang Solo ramah-ramah, mereka sering mengajak saya mengobrol dan menyambut saya (sebagai turis) dengan sangat baik.
– Makanan di Solo murah-murah, dengan uang tak lebih dari Rp10.000 saja sebenarnya kita sudah bisa makan sampai puas!
– Saya sangat menyarankan untuk menyewa sepeda motor/mobil di sini, sebab jalan di Solo tidak rumit dan dapat kita pahami dengan mudah lewat GPS.
– Solo adalah salah satu destinasi yang saya rekomendasikan untuk ber-solo traveling 🙂