Bagi saya, pecinan atau China Town adalah salah satu jantung ekonomi dan budaya suatu kota. Di Bandung, misalnya, kawasan pecinan menjadi pusat perdagangan pada siang hari dan pusat kuliner pada malam hari, lengkap dengan kelenteng bersejarah dengan nilai budaya yang tinggi. Atau di Surabaya, yang meski kawasan pecinannya mulai redup, tetapi pada siang hari tetap ramai dalam perdagangan dan malam hari masih terdapat beberapa penjual kuliner legendaris (Mie Kembang Jepun adalah favorit saya!). Dan tak ketinggalan, pecinan di Jakarta, yang dikenal sebagai Glodok, juga menyimpan aneka kuliner yang menjadi layak untuk dikunjungi.
Mendengar kuliner Glodok, mungkin orang-orang berpikiran Petak Sembilan atau Gang Gloria, dengan kopi Tak Kie sebagai primadona. Tetapi, bila anda lebih cermat lagi, anda akan menyadari bahwa masih terdapat sebuah area di Glodok yang tak kalah ramainya dan juga menyediakan berbagai kuliner lezat. Sebagian besar orang menyebut gang tersebut Gang Tian Liong, meski sebenarnya nama gang tersebut adalah Jl. Pancoran V. Disebut Gang Tian Liong, karena gang tersebut tepat bersebelahan dengan sebuah toko alat rumah tangga legendaris yang bernama Tian Liong (sudah ada sejak 1935!). Persisnya, berada di seberang Chinatown Mall dan Gang Gloria.
(Baca juga: Chinese food paling worth it di kawasan Glodok)
Di gang ini, kulinernya lebih beragam. Mulai dari kue-kue basah (ada choi pan, uyen, lumpia, kue ku, bakpia, dll.) sampai makanan berat seperti bakmie, laksa, nasi campur, toge goreng, dan sebagainya. Menurut saya gang ini justru lebih menarik daripada Gang Gloria karena lebih banyak menyajikan hidangan tradisional! Dan lebih menarik lagi, kita tidak akan pusing dengan para pedagang yang langsung “menyerbu” pembeli yang datang seperti Gang Gloria. Harganya juga relatif lebih murah daripada makanan-makanan di Gang Gloria.
Jika anda tertarik untuk mengunjungi gang ini, ada beberapa makanan yang saya rekomendasikan:
Laksa dan Mie Belitung di Kedai Lao Hoe
Bagi saya ini adalah must visit! Tempatnya didesain dengan nuansa vintage yang kental. Tempat penyimpanan kuah berupa gentong, meja kursi dengan kayu bergaya klasik, dan berbagai gambar jadoel dipasang di dinding seolah membawa saya ke dalam tahun 1980-an (padahal saya belum lahir pada saat itu). Nama tempatnya adalah Kedai Lao Hoe, tapi orang-orang di sekitar Gang Tian Liong lebih mengenal tempat ini dengan sebutan tempat makan laksa dan mie Belitung. Saya sendiri mengetahui tempat ini dari cuitan alm. Bondan Winarno di Twitter.
Ya, laksa dan mie Belitung adalah dua menu andalan di tempat ini, selain menu ayam goreng dan aneka gorengan (sukun, cempedak, dan uyen) yang juga tersedia untuk pengunjung. Laksa yang disajikan di sini adalah laksa Bogor, dengan isian berupa bihun, daging ayam suwir, telur rebus, tauge, dan daun kemangi. Kuahnya berupa kuah rempah bersantan, tetapi rasanya ringan sehingga nyaman untuk perut. Mungkin karena sebagian besar pengunjung kedai ini adalah orang-orang yang sudah berusia lanjut, sehingga laksa yang ringan akan lebih cocok bagi mereka. Laksanya terasa segar dan gurih, samar-samar ada aroma ebi yang memperkaya citarasa. Enak disantap saat musim hujan.
Menu kedua, saya mencoba mie Belitung. Tampilannya tidak jauh berbeda dengan mie Belitung Atep yang sudah terkenal itu. Isiannya ada udang, tauge, emping, dan keripik yang terbuat dari adonan tepung. Kuahnya kental berwarna coklat gelap, rasanya enak sekali! Rasa manis dari gula merah cukup mendominasi, namun disertai dengan rasa gurih yang pas sehingga terasa sedap di lidah. Samar saya merasakan aroma jahe yang sangat ringan, hanya untuk sedikit mengangkat rasa. Tak lupa saya sengaja merendam emping dan keripik ke dalam kuah sehingga teksturnya menjadi lembek, enak!
Bakpia Durian
Berjalan dari arah toko Tian Liong, di sebelah kiri gang, kita akan menemukan seorang pedagang bakpia yang cukup laris ditunggui pengunjung. Bakpia tersebut akan digoreng di tempat, setelah kita menyebutkan pesanan. Hanya ada dua isian bakpia, yakni kacang hijau dan durian. Favoritnya tentu saja bakpia isi durian.
Karena digoreng di tempat, maka kita bisa mendapatkan bakpia dalam kondisi hangat. Kulitnya juga menjadi lebih renyah. Isian untuk bakpia kacang hijau sangat melimpah, bahkan sangat tebal. Sedangkan juaranya, bakpia isi durian, wajib untuk dicoba! Isiannya menggunakan durian asli, bukan menggunakan esens atau pasta; dan porsi isiannya cukup melimpah! Menyantap bakpia isi durian ini rasanya puas sekali.
Harganya hanya Rp5ribu per buah. Bakpia dadakan ini dijual dari pagi hingga sore hari sekitar jam 5. Menurut saya, ini wajib dicoba!
Bakmie Ake
Salah satu bakmie legendaris di Gang Tian Liong. Meski tidak setenar Bakmie Amoy atau Bakmie Loncat, tetapi menu di Bakmie Ake patut untuk dicoba, apalagi Bakmie Ake masuk ke dalam salah satu dari 100 bakmie terenak di Jakarta versi Tirta Lie.
Kedainya sederhana, dengan nuansa pecinan zaman dulu yang sangat kental. Pengunjung didominasi oleh encek-encek dan encim-encim (sebutan untuk orang-orang yang berusia lebih tua dari orangtua). Apalagi tepat di depan kedai ini terdapat penjual VCD lagu-lagu Mandarin zaman dulu. Duduk di sini seolah membawa saya ke tahun 1970an, masa-masa kejayaan Glodok (menurut orangtua saya, pada zaman itu Glodok masih sangat ramah bahkan pada jam 9 malam sekalipun).
Menu andalannya tentu bakmie. Pilihan topping-nya bisa babi atau ayam. Saya pilih campur. Bakmienya lembut, dengan bumbu minyak babi yang membuat bakmie terasa gurih. Topping babi cincang kecap terasa enak, tetapi favorit saya justru topping ayam rebus. Biasanya kedai-kedai bakmie lebih mengandalkan babi kecap daripada ayam rebusnya, tetapi di sini ayam rebus dimasak dengan cukup serius. Aromanya lebih wangi dan rasanya lebih gurih, nampaknya kecap juga digunakan untuk membumbui ayam. Secara keseluruhan bakmie di sini memang tergolong enak. Jangan lupa tambahkan acar cabai untuk memberikan rasa pedas.
Selain bakmie dan bihun, ada juga menu spesial yang setiap harinya berbeda-beda. Pada hari Senin, misalnya, tersedia menu tito alias usus babi, untuk disantap bersama nasi. Saya sendiri tertarik dengan menu sapi lobak yang tersedia di hari Rabu dan cukiok alias kaki babi yang tersedia pada hari Sabtu. Ketika saya datang pada hari Jumat, seorang encek memesan seporsi nasi dengan bakut sayur asin. Terlihat lezat dan menggiurkan. Saya jadi ingin datang lagi untuk mencicipi menu yang berbeda.
NB: pada hari Rabu, menu spesial dari rumah makan ini adalah Sup Sapi Lobak. Saya pun datang dan mencobanya. Seporsi sup berkuah bening dengan sedikit aksen merah akibat campuran angkak (bumbu khas masakan Hakka) tersaji hangat. Kuahnya kaldu bening yang terasa ringan, namun gurih dan sedap. Rasa daging sapinya empuk sekali! Menurut saya sup sapi lobak ini wajib dicoba. Jika ingin makan sendiri, jangan pesan seporsi karena porsinya besar sekali, pesan setengah porsi saja.
Vegetarian
Di sebelah kiri gang (bila masuk dari arah Tian Liong), maka kita akan menemukan sebuah kedai nasi vegetarian yang sederhana. Cirinya adalah sebuah etalase kecil di depan kedai yang bertempelkan stiker bertuliskan “vegetarian”. Meski tanpa plang nama, tempat ini mudah ditemukan karena biasanya cukup ramai.
Ketika saya datang, tempat ini juga sedang ramai dengan pembeli. Tempatnya tidak terlalu luas, hanya ada 3 meja makan saja. Ketiga meja tersebut sudah terisi pengunjung. Karena mejanya hanya ada 3, maka siap-siap untuk sharing meja dengan pengunjung lain. Sistem memesannya mirip seperti warteg, di mana kita langsung melihat menu di etalase dan meminta untuk diambilkan. Saya mencoba ayam goreng kalasan, ikan goreng cabai, dan char siu (babi panggang saus merah). Ketiganya tentu saja vegetarian, alias daging palsu. Misal, ayam goreng kalasannya menggunakan kaki jamur yang ditumbuk sehingga membentuk tekstur seperti serat daging ayam. Rasanya gurih dan harum, apalagi lengkap dengan serundeng layaknya ayam goreng kalasan yang asli. Ikan goreng cabainya juga enak, dengan sedikit aroma rumput laut untuk memberikan aksen citarasa seafood. Favorit saya justru pada char siu merahnya, manis gurih dan teksturnya empuk seperti daging! Sambalnya, meski hanya terbuat dari gilingan cabai tanpa bawang, tetap berhasil memeriahkan suasana makan dengan rasa pedas menggigit.
Seporsi nasi dengan 3 macam lauk ini dihargai sekitar Rp25ribu++, sudah termasuk dengan es teh manis. Agak mahal? Sebenarnya masakan vegetarian memang mahal-mahal, apalagi bila menunya menggunakan daging palsu. Meski demikian, porsi lauknya banyak. Tidak pelit. Jadi menurut saya harga tersebut masih worth it.
Siomay Babi Sewan
Tepat di depan kedai vegetarian, kita bisa menemukan sebuah sepeda motor yang menjual siomay dengan tulisan “Siomay B2 Sewan”. Sewan sendiri merupakan nama sebuah daerah di Kabupaten Tangerang yang terkenal dengan kuliner siomay babinya, saya sendiri sudah pernah ke Sewan membuktikan bahwa siomay di sana memang enak. Ternyata kini saya sudah tidak perlu jauh-jauh lagi ke Sewan karena sudah ada penjual siomay Sewan di kawasan Glodok.
Pertanyaannya, apakah siomay yang dijual benar-benar siomay khas Sewan? Ketika saya tanyakan, sang penjual langsung menjawab, “Asli Sewan, koh, saya pagi dari Sewan berangkat ke sini dan nanti saya pulang lagi ke Sewan.” Wah, penjualnya sendiri ternyata asli Sewan.
Kita bisa memilih siomay babi biasa, siomay isi telur, tahu, pare, kentang, dan kulit babi. Sayangnya ketika saya datang, kulit babi sudah habis. Saya kemudian mencoba siomay dan parenya.
Tekstur siomaynya kenyal, namun enak. Rasa babinya memang tidak dominan, tetapi saya tahu bahwa siomay ini menggunakan bahan-bahan berkualitas. Siomaynya dibuat dengan serius. Rasanya mirip sekali dengan siomay yang saya cicipi di Sewan langsung. Bumbu kacangnya juga kental dan gurih. Menariknya, siomay parenya juga tergolong enak! Sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan pare, tetapi saya hanya iseng mencicipinya. Ternyata parenya tidak pahit dan justru memberikan tekstur juicy!
Harganya juga murah (Rp3500/potong – harga per Juli 2019). Saya pasti akan ke sini bila sedang kangen dengan siomay babi khas Sewan.
(Baca juga: Aneka kuliner legendaris di Gedung Chandra Glodok)
Cempedak Goreng Cik Llina
Tepat di ujung Gang Tian Liong, berbeloklah sedikit ke arah kanan, maka kita akan menemukan penjual cempedak goreng yang harum dan menggiurkan. Dulunya tempat ini tidak memiliki nama, orang-orang hanya mengenalnya sebagai tempat yang menjual cempedak goreng. Tapi kini sudah ada spanduk bertuliskan “Cempedak Goreng Cik Lina” untuk mengenali tempat ini. Meski berada di dalam gang, tetapi cempedak goreng di sini legendaris sekali dan menjadi salah satu favorit pengunjung. Bahkan menjadi salah satu kuliner khas Glodok yang wajib dicoba.
Jangan kaget bila harus mengantri untuk mencicipi cempedak goreng ini, saya sendiri sampai menunggu 30 menit untuk mendapatkan 2 potong cempedak goreng pada hari Sabtu. Namun jangan khawatir, mengantri di sini tidak terasa terlalu lama sebab sang penjual senang berceloteh dan berbicara dengan pengunjung. Bahkan terkadang celotehannya membuat pengunjung yang sedang menunggu menjadi tertawa. Sebuah service yang baik.
Sesuai namanya, kudapan ini terbuat dari buah cempedak yang digoreng dalam balutan tepung. Sederhana, tapi rasanya luar biasa. Harumnya cempedak dengan tekstur crispy tepung benar-benar membuat nagih. Belum lagi siraman saus gula merah yang menambah rasa legit. Hati-hati jangan makan terlalu banyak agar tidak panas dalam!
Kuotie Akin
Bagi penggemar kuotie (makanan sejenis pangsit, namun dimasak dengan cara dipanggang), maka Kuotie Akin adalah tempat yang wajib dikunjungi! Mengapa? Sebab semua orang yang saya ajak untuk makan kuotie di sini pasti selalu mengatakan bahwa kuotie di sini lebih enak dibandingkan di tempat makan kuo tie yang sudah pernah mereka kunjungi!
Kuotie Akin terletak agak dalam. Telusuri Gang Tian Liong sampai ujung, kemudian belok ke kanan. Kita akan menemukan kedai penjual cempedak goreng dulu, nah tidak jauh dari sana kedai Kuotie Akin sudah menunggu di sebelah kanan. Boleh makan di tempat atau dibawa pulang. Tempatnya agak panas sehingga kurang nyaman untuk makan di tempat, tetapi jika makan di kedainya langsung, kuotie yang disajikan masih hangat dan kita bisa meracik sambal sesuai dengan selera kita (tersedia bawang putih cacah, cuka, sambal, kecap asin, dan kecap manis).
Kulitnya yang digoreng hingga renyah membuat kuotie di sini menjadi juara. Selain itu, dagingnya juga cukup tebal. Hampir 90% isinya adalah daging (di tempat lain biasanya dicampur dengan sayuran dengan porsi yang cukup banyak). Dan selain enak, harganya juga paling murah di antara tempat makan kuotie lain yang pernah saya temui, yakni hanya Rp30ribu per 10 buah kuo tie!
Kedai Kuotie Akin hanya buka dari pagi hingga sore, sampai kuo tie habis. Di malam hari, Kuotie Akin juga berjualan di Kwetiaw Aciap, Mangga Besar.
(Baca juga: Wisata Kuliner Legendaris di Gang Gloria, Glodok)
Masih Banyak yang Bisa Ditelusuri!
Sebenarnya masih banyak lagi tempat makan di Glodok yang bisa kita kunjungi. Di Gang Tian Liong sendiri saja masih banyak makanan yang belum saya tuliskan. Saking banyaknya, satu tulisan ini saja tidak bisa merangkum seluruh destinasi wisata kuliner di Gang Tian Liong dan Glodok. Tunggu tulisan saya selanjutnya di blog ini.