“Sekarang sudah sedikit orang Jamblang yang masih sembahyang, kebanyakan pindah ke tempat ibadah agama lain di sekitar sini. Biasanya orang dari luar kota yang ke sini, tapi pada saat tertentu saja.”
Cerita Ibu Yana, salah satu penjaga kelenteng yang menyambut kami dengan ramah. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul 8 pagi di hari Sabtu. Saya berada di sebuah kelenteng yang lebih dikenal sebagai Kelenteng Jamblang karena berlokasi di desa Jamblang, Kabupaten Cirebon.
Ada plang bertuliskan “Vihara Dharma Rakkhita”, tetapi tentu saja ini bukan nama asli dari Kelenteng Jamblang, sebab pada zaman Orde Baru (1966 – 1998) semua hal yang berbau Tionghoa dilarang, sehingga kelenteng-kelenteng berganti sebutan menjadi vihara dan mengganti namanya dari Bahasa Mandarin menjadi nama Bahasa Sansekerta. Ini memunculkan kecelakaan sejarah yang besar, di mana generasi milenial dan setelahnya menjadi tidak dapat membedakan vihara dan kelenteng.
Meski bangunannya tidak terlalu besar, tetapi beribadah di Kelenteng Jamblang sangat syahdu. Pertama-tama saya membakar dan menancapkan tiga batang dupa untuk menghormat kepada Tian Gong (Hokkian: Thi Kong) yang merupakan representasi Tuhan Yang Maha Esa dalam keyakinan tradisional tionghoa. Setelah itu saya menancapakn tiga batang dupa untuk altar tuan rumah dari kelenteng ini, yaitu Fu De Zheng Shen (Hokkian: Hok Tek Ceng Sin) alias dewa kemakmuran, sambil mendoakan kesehatan dan kebahagiaan bagi anggota keluarga besar saya. Setelah itu secara berturut-turut saya menancapkan masing-masing tiga batang dupa untuk altar Buddha Sakyamuni (Shi Jia Mo Ni Fo), Dewi Kwan Im (Guan Yin Pu Sa), Guan Gong alias Kwan Kong, dan Kong Hu Cu (Kong Zi) di blandongan sebelah kanan. Setelahnya, Ibu Yana mengajak saya ke belakang untuk menghormat dan menancapkan tiga batang dupa kepada dewa dapur (Zhao Jun) dan dewa bumi (Tu Di Gong).
Terakhir, saya melakukan penghormatan kepada sumur yang berada di belakang kelenteng; tentu saja, bentuk penghormatan kepada sumur ini bukan merupakan bentuk pemberhalaan, melainkan bentuk syukur kita kepada alam yang sudah menganugerahi air bersih untuk kita konsumsi; selain juga ada keyakinan orang Tionghoa bahwa di dalam sumur terdapat dewa naga yang menjaganya.
Suasana sembahyang menjadi sangat syahdu karena lingkungan sekitar Kelenteng Jamblang yang amat tenang dan teduh. Tidak ada riuh perkotaan, sebab di sekitarnya adalah perkampungan penduduk yang tidak terlalu ramai. Pun rumah-rumah warga di sekitar merupakan rumah-rumah pecinan tua yang menambah atmosfer tempo dulu yang tidak bisa saya dapatkan dari kelenteng-kelenteng di kota besar. Tetapi yang paling penting adalah, bangunan kelenteng yang masih otentik dan hanya mengalami sedikit renovasi selama empat ratus tahun lebih lamanya.
Tidak ada catatan sama sekali mengenai tahun berdirinya kelenteng ini, adapun catatan tua yang masih ada hanya menyebutkan bahwa pada tahun 1785 blandongan di sebelah kiri dan kanan kelenteng dibangun (bagian sebelah kanan menjadi tempat altar untuk Buddha, Dewi Kwan Im, Kwan Kong, dan Kong Hu Cu), tetapi banyak yang menduga bahwa kelenteng ini dibangun pada tahun yang sama dengan Masjid Agung Cipta Rasa dekat Keraton Kasepuhan Cirebon pada tahun 1500an. Dugaan ini didukung oleh catatan bahwa kayu yang digunakan pada atap kelenteng berasal dari pohon yang sama yang digunakan untuk membangun Masjid Agung atas persetujuan Sunan Gunung Jati.
Dinding utama kelenteng berhiaskan dengan panel-panel lukisan yang sudah mulai menghitam karena termakan oleh usia. Saya tidak tahu cerita yang terkandung di dalam panel-panel gambar itu, termasuk penjaga kelenteng juga tidak mengetahuinya, tetapi pengurus mengatakan bahwa ada seorang yang berasal dari Universitas Kristen Maranatha di Bandung datang memotret seluruh panel gambar tersebut dan mempelajarinya. Semoga pada suatu hari saya bisa bertemu dengan beliau dan mendapatkan kisahnya.
Setelah selesai sembahyang, saya mengobrol sejenak dengan Ibu Yani, pengurus yang sejak awal menemani saya. Beliau bercerita bahwa dulunya desa Jamblang ini merupakan daerah pecinan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perdagangan, tetapi perlahan-lahan pesona kota tua Jamblang ini menghilang, terutama setelah krisis pada tahun 1998. Putra-putra asli pun banyak yang mengadu nasib di kota lain, membuat kelenteng ini tidak seramai dulu lagi. Selain itu, banyak warga Tionghoa desa Jamblang yang tidak mau lagi menganut kepercayaan tradisional Tionghoa dan berpindah ke agama lain sehingga kelenteng ini sudah tidak menjadi pusat persembahyangan warga Tionghoa di sekitar.
Selain itu, di dinding kiri dan kanan pintu ruang altar utama, terdapat dua bingkai naskah yang ditulis dalam huruf Mandarin kuno. Saya tidak dapat membaca isinya, tetapi ternyata sudah ada yang pernah menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia dan difotokopi, pengurus kelenteng memberikan saya satu kopi naskah. Ternyata teks ini disebut sebagai “Babad Dinding Kelenteng Jamblang”, sesuai letaknya yang berada di dinding kelenteng. Teks ini berisi catatan sejarah kelenteng yang menarik untuk disimak. Misalnya, pada tahun 1817 terjadi Peristiwa Kedongdong yang memakan korban nyawa, tetapi penduduk Jamblang sama sekali tidak mendapatkan gangguan dari kerusuhan itu:
“Pada 1817 (Kee Kheng ke-22 Teng Thioe Shio Goe) di sebelah barat distrik Palimanan oleh pemerintah Belanda telah didirikan sebuah tangsi militer untuk mencegah kerusuhan-kerusuhan. Kerusuhan itu timbul akibat ditolaknya tuntutan orang kampung dari kebebasan pajak. Seorang pegawai negeri bernama Raden Patih telah menjadi korban pembunuhan dalam kerusuhan tersebut. Syukur penduduk Jamblang tidak mendapat gangguan apapun. Kerusuhan tersebut dikenal sebagai Peristiwa Kedongdong karena semula timbulnya dari Desa Kedongdong.”
Atau pada tahun 1847 sempat terjadi gempa bumi besar selama 5 sampai 6 kali dalam hampir satu minggu yang menghancurkan sebagian besar rumah di wilayah Jamblang:
“Pada 1847 (Too Kong tahun ke-27 Teng Bie Shio Yo) tanggal 9 Oktober timbul gempa bumi besar, selama 5-6 hari sehari semalam bumi bergetar 5-6 kali. Sebagian besar rumah-rumah hancur luluh.”
Lalu pada tahun 1859, 1874, dan 1882 sempat terjadi wabah kolera yang membahayakan:
“Pada 1859 (Ham Hong tahun ke-9 Kie Bie Shio Yo) berjangkit penyakit kolera yang membahayakan. Toapekong Jamblang diedarkan sekitar tempat itu, lalu lenyaplah penyakit itu.”
(Catatan-catatan tersebut dapat dibaca pada link berikut ini)
Sebelum saya berpamitan, Ibu Yani bercerita bahwa ternyata ia juga berjualan kue tradisional untuk menyambung hidupnya. Pada pagi hari ia akan membuat kue dibantu oleh suaminya, dan setelah itu Ibu Yani berjalan berkeliling kampung untuk berjualan, sedangkan suaminya menjaga kelenteng. Kue yang dijual berbeda setiap harinya, kebetulan pada hari itu kue yang dibuat adalah kue ku atau kue kura-kura, dan di sampingnya juga ada plastik-plastik berisi sup baso yang akan ikut dijajakan. Saya membeli lima buah kue ku yang harganya dipatok Rp2.500 per buah. Tekstur kulitnya kenyal dan agak tebal, tetapi isi kue mengejutkan saya. Selama ini, kue ku yang saya santap biasanya berisi kelapa parut manis atau kacang hijau kupas, tetapi kue ku buatan Ibu Yana ternyata berisi campuran serundeng gurih dengan kacang hijau kupas. Rasanya menjadi dominan asin dengan jejak rasa manis dan aroma rempah yang samar. Unik dan belum pernah saya temukan sebelumnya, mungkin inilah cita rasa kue ku khas Jamblang yang saya nilai enak.
Meski bukan kelenteng megah yang ramai didatangi pengunjung, tetapi Kelenteng Jamblang meninggalkan kesan yang baik di dalam hati saya. Suasananya sangat mendukung untuk beribadah, menghormat kembali kepada para leluhur dan suciwan yang kini mulai ditinggalkan dan dilupakan oleh Tionghoa generasi muda. Selain mengandung nilai sejarah yang kuat, kelenteng ini juga mengandung nilai toleransi antar umat beragama yang patut kita renungi. Coba bayangkan, ternyata salah satu kelenteng tertua di Cirebon dibangun menggunakan kayu yang sama untuk membangun Masjid Agung Cipta Rasa yang merupakan masjid terbesar di Cirebon; kapan lagi bisa ada harmoni seperti ini?
Semoga kelenteng ini tetap lestari dan menjadi salah satu saksi bisu peradaban yang pernah ada di wilayah Jamblang.
[Pertama kali dipublikasikan pada 6 Desember 2022 11:54 WIB]