Minat saya untuk menjelajahi Purwakarta muncul setelah mengetahui harga tiket kereta Jakarta – Purwakarta hanya Rp6ribu. Murah meriah dan cocok untuk backpacking, menurut saya. Apalagi setelah saya melakukan Googling, saya menemukan Purwakarta memiliki destinasi alam dan budaya sekaligus, keduanya favorit saya. Maka saya segera menyusun jadwal untuk berangkat ke Purwakarta.
Perjalanan dilakukan pada tanggal 26 April 2019. Saya mengambil jadwal keberangkatan terawal dari Stasiun Kemayoran. Sebelumnya saya jelaskan dulu mengenai kereta Jakarta – Purwakarta yang disebut sebagai kereta Walahar Ekspres. Kelasnya adalah kelas ekonomi lokal atau lebih populer dengan istilah “odong-odong”. Berbeda dengan kelas ekonomi biasa, kereta ekonomi lokal tidak menjamin kita pasti mendapatkan tempat duduk. Prinsipnya adalah siapa cepat, dia dapat (tempat duduk); jadi jangan heran bila di dalam kereta kita akan menemukan banyak orang yang berdiri dan suasananya cukup sesak. Dari Jakarta, hanya ada 3 stasiun yang dilewati oleh Walahar Ekspres, yakni Tanjung Priok, Kemayoran, dan Pasar Senen.
Kereta berangkat pada pukul 10.16 dari Stasiun Kemayoran dan kebetulan suasana kereta sedang sepi sehingga setiap orang mendapatkan tempat duduk. Perjalanan terasa menyenangkan sekalipun hanya kereta ekonomi lokal yang duduknya berhadap-hadapan dan tegak 90 derajat. Kereta akan melaju menuju arah timur Jakarta, kemudian Bekasi, Karawang, dan kemudian Purwakarta. Meski tiket mencantumkan jadwal tiba adalah jam 12.33, tetapi saya tiba di Stasiun Purwakarta pada jam 13.30. Terlambat satu jam. Tapi memang beginilah kereta ekonomi, kemungkinan terlambatnya lebih tinggi karena harus mengalah dengan kereta kelas lain apabila berada pada jalur yang sama.
Tiba di Purwakarta, kesan pertama saya adalah suasana Purwakarta ternyata cukup ramai! Saya segera membeli camilan di depan stasiun. Camilannya standar, ada bakso tusuk, cilok, cimol, dan siomay. Belum ada yang unik. Segera setelah itu saya memesan Grabcar untuk minta diantar menuju penginapan dan tempat merental sepeda motor.
Oh iya, saya mendapatkan deal yang sangat menarik untuk penginapan. Kebetulan pemilik rental sepeda motor menawarkan penginapan yang ia miliki, hanya Rp100ribu per malam! Dan karena sedang ada promo, saya mendapatkan harga Rp80ribu saja. Fasilitasnya sudah ada AC, wifi, dan kamar mandi dalam. Plus, ada welcome snack berupa roti. Lokasinya juga dekat dengan pusat kota. Lebih lengkapnya ulasan mengenai penginapan ini akan saya ceritakan di tulisan lainnya.
Sate Maranggi Hj. Yetty
Karena perut lapar, saya segera menuju tempat makan yang paling terkenal (sekaligus paling mahal) di Purwakarta, yakni Sate Maranggi Hj. Yetty. Tempatnya benar-benar luas, baik untuk area makan dan area parkir! Saya coba menghitung secara kasar melalui jumlah meja dan tempat duduk, kira-kira bisa muat hingga 1500 pengunjung. Dan ketika saya datang (hari Jumat pukul 15.00), setengah dari restoran penuh! Benar-benar good business.
Saya memesan menu andalan restoran ini yang juga merupakan kuliner khas Purwakarta, yakni sate maranggi. Sate maranggi adalah hidangan berupa daging sapi atau daging kambing yang dibumbui dulu kemudian ditusuk. Jumlah satu tusuknya adalah 3 potong daging (atau terkadang 2 potong daging dan 1 potong lemak). Mengapa 3 tusuk? Ada filosofi di balik jumlah ini. Karena dagingnya sudah dibumbui sebelum dibakar, maka sate maranggi tidak lagi menggunakan bumbu kacang. Disajikan begitu saja tanpa “dressing” dengan sambal tomat. Rasanya benar-benar enak!
Di Hj. Yetty, selain sate sapi dan sate kambing juga tersedia sate ayam. Saya memesan ketiganya. Tak lama setelah datang, saya langsung mencicipi. Sate di sini memang enak! Dagingnya sangat empuk, bahkan untuk daging sapi dan kambingnya sekalipun. Tidak ada bau tidak enak dari daging kambingnya, dan bumbunya juga terasa gurih manis di mulut. Sambalnya adalah cabai hijau uleg dengan irisan tomat, segar namun pedasnya membakar! Tak heran tempat ini selalu ramai. Namun perlu dicatat, harga sate di sini sangat mahal, yakni Rp5ribu per tusuk.
Waduk Jatiluhur
Destinasi pertama saya adalah Waduk Jatiluhur, yang merupakan ciri khas Purwakarta. Jaraknya sekitar 30 menit perjalanan dari pusat kota. Di waduk ini terdapat banyak destinasi wisata air, outbond, maupun resort untuk menginap. Saya datang pada sore hari, karena konon katanya view terbaik untuk melihat matahari terbenam di Purwakarta terletak di Jatiluhur. Tetapi karena cuaca mendung, saya tidak menemukan view apapun selain langit kelabu yang memucat.
Meski menjadi destinasi wisata, tetapi Waduk Jatiluhur juga memiliki peranan penting bagi Pulau Jawa, berkaitan dengan irigasi dan pembangkit listrik tenaga air.
Anda bisa menyewa perahu nelayan untuk mengelilingi waduk ini, atau juga bisa memancing. Tapi hati-hati, di waduk ini terdapat ikan aligator yang cukup ganas. Alternatifnya, anda juga bisa bersantap di restoran terapung yang berada di atas air. Tapi berhubung cuaca sedang tidak bersahabat, saya hanya menikmati pemandangan alam di Waduk Jatiluhur tanpa melakukan aktivitas lainnya.
Hujan Deras di Purwakarta
Malam pertama saya di Purwakarta berkesan, namun dalam konotasi negatif. Hujan, angin, dan petir yang sangat deras membuat saya tidak bisa keluar dari penginapan. Bahkan saya harus basah kuyup karena hujan turun ketika saya masih berada di Jatiluhur. Praktis, saya tidak mengunjungi tempat apapun di malam hari, selain pergi ke sebuah warung untuk bersantap malam.
Hari Kedua: Mengunjungi Gunung Lembu
Hari kedua saya awali dengan view sawah yang berada di depan penginapan. Indah sekali, apalagi dipandangi sambil menyesap teh hitam hangat.
Agenda hari ini adalah mendaki Gunung Lembu, salah satu gunung yang paling populer di Purwakarta. Adapun keistimewaan dari gunung ini adalah pemandangan Waduk Jatiluhur dari puncak. Tingginya hanya sekitar 780 mdpl, tak sampai seperempat dari Gunung Sindoro atau Gunung Gede-Pangrango yang pernah saya daki. Tapi jangan diremehkan, jalurnya cukup menguras tenaga dan memacu keringat, terutama jalur barunya.
Tapi sebelum mendaki gunung, saya menyempatkan sarapan dulu di Soto Sadang, salah satu restoran soto yang paling terkenal di Purwakarta. Tulisan saya khusus untuk makanan khas Purwakarta bisa dibaca di sini.
Dan tibalah saya di pos pendakian setelah 90 menit perjalanan dari Purwakarta Kota. Sekadar tips, hati-hati dalam perjalanan ke sini karena jalurnya masih rusak. Biaya pendaftarannya Rp10ribu per orang bila tidak menginap, dan kalau tidak salah Rp20ribu bila ingin berkemah. Setelah membayar retribusi, pendakian segera dimulai. Ada dua jalur untuk pendakian Gunung Lembu, jalur pertama adalah jalur lama, yang rutenya lebih landai dan cocok untuk pendaki santai ceria. Bila melewati jalur pertama, kita akan sampai di puncak terlebih dahulu baru tiba di Batu Lembu (spot terbaik Gunung Lembu). Jalur kedua, yakni jalur baru yang mulai dibuka pada tahun 2018. Jalurnya melewati Batu Anjing, dan berbeda dengan jalur lama yang lebih santai, pada jalur kedua ini stamina kita benar-benar ditantang! Jalur curam nyaris terus-menerus dilewati dari awal pendakian hingga menuju Batu Lembu. Apalagi semalam Purwakarta baru saja diguyur hujan deras, jalurnya menjadi semakin licin! Namun semuanya terbalas setelah berada di atas.
Lebih detil cerita mengenai pendakian Gunung Lembu dapat dibaca di sini.
Menonton Singing Fountain di Situ Buleud (Taman Air Mancur Sri Baduga)
Sorenya saya sudah kembali lagi di penginapan. Segera saya mandi, berganti pakaian, dan mencari makan malam. Agenda untuk malam terakhir di Purwakarta adalah menonton pertunjukan air di Taman Air Sri Baduga. Dulunya tempat ini bernama Situ Buleud, karena berupa waduk kecil (situ) yang berbentuk bulat (buleud). Menurut warga sekitar, dulu Situ Buleud adalah tempat yang kotor dan tidak terawat, bahkan tidak dilirik sedikitpun sebagai tempat wisata. Pada masa pemerintahan Bupati Dedi Mulyadi, kawasan Situ Buleud dirombak total menjadi sebuah tempat yang lebih atraktif: Taman Air Mancur Sri Baduga. Diresmikan pada tahun 2017, di tempat ini kita bisa menonton pertunjukan air mancur yang berwarna-warni dan bergerak mengikuti irama musik layaknya sedang menari. Pertunjukan ini diadakan setiap malam Minggu sebanyak 3 kali, dan kerennya, taman air mancur ini merupakan taman dengan singing fountain terbesar se-Asia Tenggara dengan kapasitas 12ribu orang! Lebih kerennya lagi, masuknya gratis! Orang Purwakarta wajib bangga!
Saya tiba pada pukul 20.30 untuk pertunjukkan pukul 21.30. Meskipun show belum dimulai, antrian di gerbang sudah membludak. Para pedagang juga mulai menawarkan camilan seperti tahu goreng, bakcang, kacang rebus, dan sebagainya. Pukul 21.00, gerbang dibuka.
Dan pada pukul 21.30, pertunjukan dimulai.
Benar-benar keren!
Hari Ketiga: Wisata Museum
Alun-Alun Purwakarta
Minggu pagi di alun-alun Purwakarta sangat ramai, ada anak-anak yang bermain sepakbola, ibu-ibu yang sedang senam, beberapa pemuda berjalan santai, dan para pedagang menjajakan makanan untuk sarapan. Alun-alunnya besar sekali dan tertata rapi! Patut diapresiasi!
Saya sarapan dengan sate maranggi yang dijual oleh pedagang pikulan. Meski kelas “pikulan”, tetapi rasa sate maranggi tetap enak, ditemani dengan ketan bakar. Sambil menyeruput kopi hitam hangat, pagi terakhir di Purwakarta terasa berkesan.
Bale Indung Rahayu
Salah satu wisata yang wajib dilakukan ketika berada di Purwakarta adalah wisata museum, sebab museum-museum di Purwakarta sudah berlabel “museum digital”. Salah satunya adalah museum di Bale Indung Rahayu. Museum ini menyajikan galeri bertemakan kehidupan manusia dari dalam kandungan, masa kanak-kanak, hingga usia tua; serta menyajikan berbagai filosofi dan budaya Sunda. Saya mengacungkan keempat jempol saya untuk museum ini, benar-benar edukatif! Budaya dan filosofi Sunda yang terkesan “jadul” dan berat justru disulap menjadi menarik melalui infografik, diorama, dan media digital.
Misalnya, berbagai permainan anak-anak ditampilkan dalam bentuk diorama, sedangkan penjelasannya disajikan dalam bentuk poster. Btw, apakah pembaca sudah tahu filosofi di balik permainan “hom pim pah”? Ternyata ada penjelasannya di sini.
Ada kosmologi Sunda juga di sini, yang menurut saya keren banget karena disajikan dalam grafik yang menarik! Oh iya, ternyata rumah tradisional ala Sunda juga dibuat berdasarkan filosofi tertentu lo! Saya baru tahu dari museum ini.
Aneka galeri mengenai kuliner khas Sunda juga ada, mulai dari aneka lalapan sampai kue-kue dan kuliner khas Purwakarta: sate maranggi.
Selama ini saya mengira dalam setusuk sate maranggi selalu terdiri dari 3 potong daging/lemak itu kebetulan, eh ternyata memang ada filosofinya juga! (baca: Filosofi di Balik Sate Maranggi, Kuliner Khas Purwakarta)
Bale Panyawangan Diorama Nusantara
Nah, seperti yang sudah saya katakan tadi, museum-museum di Purwakarta sudah berpredikat “museum digital”. Apa artinya? Materi-materi di museum dapat tersaji melalui media digital seperti layar touch screen yang interaktif dan tampilan tiga dimensi. Keren! Lebih kerennya lagi, museum digital pertama di Indonesia justru ada di Purwakarta pada tahun 2017, yakni di Bale Panyawangan Diorama Nusantara ini!
Diorama Nusantara dibuat dengan konsep “little Indonesia” yakni menyajikan keanekaragaman budaya nusantara. Dari depannya saja, kita sudah disajikan dengan lambang 34 provinsi di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Di dalamnya, kita akan disambut dengan sejarah nusantara mulai dari zaman pra-sejarah, zaman kerajaan Hindu-Buddha, zaman kerajaan Islam, sampai penjajahan Belanda dan Jepang. Lengkap dan tersaji dalam media-media yang menarik! Hal ini dilakukan oleh bupati Purwakarta pada saat itu, kang Dedi Mulyadi, untuk menghilangkan kesan museum yang kuno dan membosankan.
Bale Panyawangan Diorama Purwakarta
Tak jauh dari Diorama Nusantara, kita akan menemukan Diorama Purwakarta. Lokasinya persis di samping Stasiun Purwakarta. Di sini juga tak kalah kerennya, menyajikan berbagai informasi mengenai Purwakarta dalam bentuk digital, infografik, dan diorama.
Foto-foto Bupati yang pernah memimpin Purwakarta tersaji di depan museum. Di dalamnya terdapat informasi tentang sejarah dan budaya Purwakarta, misalnya Purwakarta ketika masa penjajahan, dan bagaimana Purwakarta bisa menjadi kabupaten yang berdiri sendiri (sebelumnya bagian dari Karawang). Diorama yang paling berkesan bagi saya adalah Diorama Ranca Darah, yang menggambarkan peristiwa perlawanan warga Tionghoa di Indonesia terhadap penjajah Belanda. Meski sering dituduh “aseng”, tetapi nyatanya banyak orang Tionghoa yang ikut berperang melawan penjajah (misalnya, Sunan Kuning di Solo), namun peran mereka dihilangkan dalam Orde Baru. Diorama ini berkesan karena di lantainya juga dicipratkan cat merah yang sudah mengering, sehingga menambah kesan peperangan itu sendiri.
Tak bisa dipungkiri, museum-museum di Purwakarta keren-keren!
Pulang ke Jakarta
Tak disangka, waktu sudah mendekati jam keberangkatan kereta Purwakarta-Jakarta. Saya pun segera berkemas. Tak lupa, saya membeli oleh-oleh berupa simping, yakni camilan khas Purwakarta yang terbuat dari tepung beras berbentuk pipih dan dibakar. Rasanya renyah seperti memakan biskuit, namun rasanya cenderung gurih-tawar. Aslinya simping hanya beraroma kencur, namun seiring dengan berkembangnya zaman tersedia juga dalam rasa nangka, pandan, dan sebagainya. Harganya hanya Rp10ribuan per bungkus.
Dan, saya pun sampai kembali di stasiun Purwakarta. Segera saya bergegas, kembali ke Jakarta. Jujur, saya kagum sekali dengan Purwakarta. Meskipun hanya sebuah kabupaten kecil di Jawa Barat (bila dibandingkan dengan Kota Bogor, Bandung, dan Cirebon), namun pemerintah Purwakarta berani berinvestasi besar-besaran untuk membangun pariwisatanya. Dan semuanya benar-benar berpredikat luar biasa. Sebut saja, Taman Air Sri Baduga yang menjadi taman singing fountain terbesar se-Asia Tenggara, memiliki museum digital pertama di Indonesia, memiliki gunung dengan jalur ferata pertama di Indonesia (Gunung Parang), dan juga memiliki hotel gantung pertama di Indonesia. Salut untuk bupati Purwakarta saat itu, kang Dedi Mulyadi. Upayanya untuk memajukan Purwakarta dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi Purwakarta patut untuk diacungi jempol.
Salute, Purwakarta.
Kumpulan tulisan saya tentang Purwakarta:
1. Pengalaman Backpacking di Purwakarta: Itinerary dan Biaya
2. Kuliner Rekomendasi di Purwakarta
3. Review Eli Hostel Purwakarta
4. Pendakian Gunung Lembu, Purwakarta
5. Filosofi di balik Kuliner Sate Maranggi khas Purwakarta
kebetulan mau iseng jalan2 ke purwakarta, nemu blog ini.
blognya bagus mas, jangan berhenti berkarya di blognya ya
Terima kasih
Makasih Mas Iboy untuk apresiasinya, mampir2 ke blog ini lagi ya 🙂
Keren blognya terus berbagi pengalaman seperti ini ya. Cantumin harga harga yang murah untuk hotel atau penginapannya biar bisa jadi referensi buat saya. Terimakasih hehehe
Kurleb bajet nya abis brph om
Blognya rapi dan bagus… keep u the good work
Keren,kebetulan minggu dpn mau ajak emak2 ke purwakarta , tp ga ke gunung,kira2 ke wisata mana dulu nih yg enak jln nya,biar dapat bbrp tempat
Mohon maaf agak terlambat membalas, Purwakarta yang enak itu Waduk Jatiluhur + daerah Gunung Lembu, alam pegunungannya asri 🙂