Catatan PSBB Covid-19: Perubahan, Adaptasi, dan Harapan

Lima bulan. Lima bulan lamanya saya tidak menulis di blog ini, blog yang sejatinya saya tujukan untuk menyimpan catatan perjalanan saya (traveling) dan hal-hal lain yang berkaitan dengan budaya maupun kuliner. Selama tiga bulan saya mengurung diri di rumah, menaati aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) yang diberlakukan oleh pemerintah dalam rangka mencegah penyebaran covid-19. Bulan lalu, Juni 2020, baru saya berani keluar dari rumah lagi dengan protokol yang ditentukan oleh pemerintah: menggunakan masker, menjaga jarak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan.

Corona atau Covid-19 memang menjadi fenomena global yang luar biasa: keruntuhan ekonomi dan kekacauan sosial. Saya mengatakan kekacauan sosial, karena selama awal pandemi terjadi banyak ketidakteraturan yang muncul akibat ulah manusia: panic buying di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang membuat harga alat-alat kebersihan melonjak gila-gilaan karena kelangkaan barang; pelarangan pulang kampung yang membuat banyak orang “bersembunyi” di balik truk barang atau bagasi bus agar bisa kembali ke kampung halaman; meninggalnya orang India karena ingin pulang kampung namun tidak ada kendaraan umum, akibatnya ia berjalan kaki sejauh 31 km dan mati kelelahan (udara saat itu memang sedang panas-panasnya); runtuhnya ekonomi, saya sendiri merasakan dampak negatif dari runtuhnya harga IHSG, untungnya kini sudah mulai membaik; bangkrutnya berbagai usaha, baik itu UMKM maupun usaha besar; dan lain-lain. Sangat banyak dampaknya.

Dampak terbesar dirasakan oleh industri perjalanan wisata dan perhotelan. Airy menyatakan bangkrut; sesuatu yang saya sesalkan karena dalam berbagai perjalanan backpacking saya, Airy sangat membantu dalam menyediakan penginapan murah namun nyaman. Traveloka nampaknya bertahan, meskipun harus melakukan refund berbagai tiket pesawat. Saya sendiri membatalkan perjalanan liburan saya ke Belitung dan mendapatkan dana refund dari Traveloka, meskipun saya tidak mengajukannya. Terima kasih Traveloka untuk komitmen pelayanannya.

Karena blog ini adalah blog yang saya buat untuk mencatat tentang perjalanan (traveling), budaya, dan kuliner; maka ada beberapa hal menarik perhatian terkait topik tersebut yang perlu saya tuliskan di sini:

1. Kebangkrutan Airy Rooms

Airy Rooms gulung tikar! Berita ini amat mengagetkan saya dan orang-orang lainnya. Kesulitan ekonomi akibat Covid-19 adalah alasannya. Sedih, karena banyak sekali perjalanan murah yang bisa saya lakukan karena Airy Rooms. Beberapa kenangan saya menggunakan jasa Airy Rooms di antaranya adalah ketika berkunjung ke Kota Bandung, Kota Solo, dan Kota Semarang. Biasanya harganya miring namun kualitasnya masih bagus.

2. Pizza Hut: Berjualan di Pinggir Jalan dengan Harga Cuci Dapur

Sebuah sore, setelah saya keluar dari rumah untuk yang pertama kalinya setelah 3 bulan hanya berdiam di dalam rumah, saya menemukan penjual Pizza Hut di pinggir jalan, tepatnya di pinggir jalan sekitar Waduk Pluit. Awalnya saya mengira ini “Pizza Hut” versi KW yang merupakan akal-akalan pihak tertentu, tetapi ternyata ini memang Pizza Hut betulan. Karyawannya menggunakan seragam Pizza Hut, namun berjualan di pinggir jalan dengan membawa selebaran keterangan harga cuci dapur (bukan cuci gudang, karena ini industri makanan): 4 loyang Personal Pan Pizza hanya Rp100.000.

Pemandangan ini membuat saya merasa simpatik. Dan ternyata tidak hanya saya yang merasakan, tidak lama di social media heboh juga Pizza Hut yang kini berjualan di pinggir jalan, di mana karyawannya langsung melakukan jemput bola terhadap pelanggan. Mungkin ini strategi pemasaran, mungkin juga ini strategi bertahan. Industri rumah makan pasti terpukul sekali setelah 3 bulan tidak beroperasi. Alih-alih memandang rendah, saya justru salut: Pizza Hut berani membuang gengsi dari rumah makan modern di dalam Mall menjadi berjualan pizza di pinggir jalan. Saya pun salut dengan karyawan-karyawannya yang melakoni aksi ini. Dengan seragam Pizza Hut, di mana untuk menjadi karyawan rumah makan ini diperlukan syarat-syarat tertentu, kini mereka mau terjun ke jalanan menawarkan makan untuk menghasilkan sesuap nasi bagi dapur rumah tangga mereka. Luar biasa

Saya pun mencoba membelinya, karena penasaran dengan rasa. Apakah terjadi penurunan kualitas rasa, atau sama enaknya? Saya akan buat tulisan khusus tentang ini.

3. Mbah Lindu – Sang Penjual Gudeg Legendaris – Meninggal Dunia

Legenda kuliner tradisional Yogyakarta, Mbah Lindu, meninggal dunia pada 12 Juli 2020 kemarin. Sebenarnya bukan berita yang mengejutkan, karena beliau memang sudah berusia sangat lanjut, yakni 100 tahun. Sudah usia yang sangat panjang bagi manusia zaman sekarang. Namun meninggalnya Mbah Lindu meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi pencinta kuliner. Beliau adalah penjual gudeg tertua di Yogyakarta, dan mungkin bahkan di Indonesia. Beritanya viral dan salah satu maestro kuliner Indonesia, William Wongso, sampai mengunggah video dokumentasi tentang beliau.

https://www.youtube.com/watch?v=ZXG-EO8MhLw

Mendadak saya teringat dengan Mbah Payem, penjual wedang ronde tertua di Yogyakarta (dan Indonesia), bisa disebut Mbah Lindu versi penjual ronde. Usia beliau harusnya sudah 90an tahun saat ini. Bagaimana kabar beliau? Apakah beliau masih berjualan wedang ronde di sebuah jalan kecil di Yogyakarta? Masihkah pembeli ramai berdatangan jika mbah masih berjualan selama masa covid ini? Semoga ada kabar.

Dan semoga saya berkesempatan mencicipi wedang rondenya sekali lagi. Cukup menyesal karena tidak sempat mencicipi gudeg Mbah Lindu padahal tahun ini saya berencana ke Yogyakarta.

Perubahan itu Pasti, Namun Akankah Berubah ke Arah yang Lebih Baik?

Meski sedih atau merasakan kecewa atas kejadian-kejadian selama Covid-19 ini, namun inilah realitas: semuanya akan terus berubah. Perubahan itu pasti, dan tugas manusia adalah menerima sekaligus beradaptasi dengan perubahan itu. Namun, bagaimana arah perubahan dunia nantinya setelah wabah Covid-19 ini berlalu? Akankah menjadi lebih baik? Apakah kita masih akan bisa menikmati perjalanan keliling dunia untuk lebih mencintai alam dan budaya ini?

Waktu adalah jawabannya. Mari bersama-sama kita mendoakan wabah ini cepat berakhir. Amin.

Langganan tulisan tentang wisata, kuliner, dan budaya Indonesia. GRATIS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *