Makanan ala “Rumah Saya”: Umaeh Inyong Purwokerto

Kunjungan saya Januari lalu Purwokerto adalah kunjungan kedua saya, setelah kunjungan pertama saya pada tahun 2017. Seperti biasa, dalam setiap kunjungan saya ke berbagai tempat saya pasti menyiapkan waktu untuk mencicipi makanan khas di sana. Khusus kedatangan kedua ke Purwokerto kali ini, saya ingin mencicipi lebih banyak lagi masakan-masakan khas Banyumas yang tidak sempat saya coba pada pertama. Dan hasil pencarian saya di mesin penelusuran Google mengarahkan saya kepada satu rumah makan khas Banyumas: Umaeh Inyong.

Sesuai dengan namanya, Umaeh Inyong menyajikan berbagai masakan khas Banyumas. Kata “umaeh inyong” sendiri berasal dari Bahasa Jawa Banyumasan yang berarti “rumah saya”. Makanya, masakan yang ditawarkan di dalam restoran ini adalah masakan-masakan rumahan ala Banyumas.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari stasiun Purwokerto. Silakan gunakan jasa ojek online atau ojek pangkalan. Hati-hati dengan tukang becak di stasiun ini. Dulu saat saya pertama kali datang ke Purwokerto, saya diminta untuk membayar Rp20.000 dari stasiun ke Soto Jalan Bank, padahal jarak kedua tempat itu hanya sekitar 1 kilometer, hanya sekitar 5 menit naik becak. Pada kedatangan kedua ini, begitu saya keluar dari stasiun, saya langsung didatangi oleh tukang becak yang menawarkan jasanya. Tujuan saya adalah TK YWKA, yang sebenarnya jaraknya hanya 260 meter alias jalan kaki 3 menit saja sudah sampai, sangat dekat! Saya menolak tawaran tukang becak tersebut dengan mengatakan “mau ke TK YWKA doang Pak.” Tapi jawaban tukang becak itu mengagetkan saya, “Jauh mas itu, jauh! Naik becak saja”. Tukang becak lainnya yang berada di sekitar sana pun ramai-ramai mengiyakan, “Iya mas, jauh itu, naik becak saja.” Mungkin karena mata saya sipit dan kulit saya putih, saya dianggap bukan asli orang sana dan tidak paham daerah sana (memang bukan orang asli Purwokerto sih, tapi saya sudah pernah datang dan lumayan tahu jalan). Lalu saya iseng saja, tanya berapa tarif becak ke TK YWKA yang sebenarnya jalan kaki 3 menit saja sudah sampai. “Rp10.000 saja mas,” jawab sang tukang becak. Waduh! Benar-benar ingin mengetok harga dan memanfaatkan ketidaktahuan pendatang! Langsung saja saya jawab, “Dekat itu Pak, jalan kaki langsung sampai,” sambil menunjuk ke arah TK YWKA yang begitu dekat itu.

Catatan: saya sangat mendukung adanya becak sebagai moda transportasi tradisional sebagai dukungan saya kepada ekonomi warga setempat. Bahkan di beberapa kota, saya sengaja menggunakan becak untuk mendukung mereka. Namun jika harga diketok seperti ini, maka saya juga tidak mau menggunakan jasa tukang becak. Berikanlah tarif yang wajar dan jangan menipu dengan mengatakan suatu tempat jauh padahal sebenarnya sangat dekat.

Well, cerita tentang tukang becak saya tutup, semoga bisa menjadi perhatian teman-teman yang akan mengunjungi Purwokerto. Singkat cerita, saya langsung berangkat dari daerah stasiun ke Umaeh Inyong.

Tempatnya tidak sulit ditemukan dan berada di pusat kota Purwokerto. Tempat parkirnya luas, nampaknya memang sejak awal sudah dipersiapkan sebagai rumah makan keluarga atau tempat gathering / meeting. Begitu sampai, jalan lorong outdoor dengan kolam ikan di sampingnya menjadi penyambut. Di dalam bangunan, suasana tradisional khas Jawa terasa sekali. Kita akan disambut dengan toko oleh-oleh khas Jawa Banyumasan terlebih dahulu, ada soklat inyong atau coklat khas Banyumas (saya coba beli dan coba, enak), nopia (camilan khas Banyumas), aneka camilan lainnya, sampai batik.

Berjalan lagi, tibalah di area restoran yang terdiri dari indoor dan outdoor. Percayalah, area outdoor-nya jauh lebih bagus dan sangat menarik. Ada taman-taman dengan saung, pernak-pernik dapur ala Jawa, sepeda dan becak sebagai pajangan, dan berbagai ornamen nuansa Jawa Banyumasan tradisional. Benar-benar klasik namun berkelas. Betah sekali berlama-lama di sini.

Menu pun hadir. Aneka masakan khas Jawa Banyumas dapat kita pilih. Sebagai perkenalan, saya mencoba memesan gecot. Masakan asli wong Banyumas ini memiliki bumbu dasar bawang merah, bawang putih, kacang, asam jawa, gula jawa, kencur, dan cabai. Diulek hingga halus dan diberi tambahan air hingga encer. Setelah itu, irisan sayur kol dan tauge ditambahkan sebagai sayuran. Nah, biasanya gecot ini disantap dengan tahu, tetapi di Umaeh Inyong kita bisa memodifikasi hidangan ini dengan menggunakan tempe mendoan sebagai pengganti tahu. Menarik. Tak lupa, irisan ketupat ditambahkan sebagai sumber karbohidrat.

Rasanya enak. Paduan bawang, kacang, asam jawa, dan gula jawa membuat hidangan ini terasa gurih, manis, dan segar. Tempe mendoan yang empuk menambah paduan rasa dan tekstur. Tak lupa sayur kol dan tauge yang bertekstur renyah… hidangan ini ramai dengan rasa dan tekstur.

Tak lupa saya pesan sego bandem, yang katanya adalah salah satu hidangan nasi khas Banyumas. Sego bandem ini konsepnya mirip sekali dengan nasi kucing (sego kucing) khas Yogyakarta. Nasi berporsi kecil dibungkus dengan daun pisang. Di dalamnya, kita bisa mendapatkan orek tempe, irisan telur dadar, dan serundeng. Kuah gecot yang manis segar kemudian saya siram ke atas sego bandem ini, wah, enak sekali.

sego bandem umaeh inyong

Menu ketiga, saya memesan oseng gendhot, atau tumis genjer dalam Bahasa Indonesia. Genjer ini adalah sayuran khas Indonesia yang identik dengan kemiskinan, karena genjer ini awalnya digunakan sebagai pakan itik. Namun ketika rakyat mengalami kelaparan pada masa penjajahan dulu, genjer ini akhirnya diolah dan disantap oleh manusia. Walaupun identik dengan makanan orang miskin, namun genjer ini rasanya enak sekali. Di Umaeh Inyong, gendhot alias genjer ditumis dengan sangat baik. Genjernya lembut dan empuk; pun bumbunya menggunakan bawang-bawangan dan tauco sehingga menghadirkan citarasa gurih dan harum. Juara sekali! Bahkan oseng gendhot / tumis genjer di Umaeh Inyong masih saya nilai lebih enak daripada tumis genjer ala mbok di Warung Koboi, walaupun keduanya sebenarnya sama-sama enak.

Sebagai minuman, saya memesan wedang badeg. Minuman ini berasal dari sadapan bunga nira jantan yang harus dilakukan pada pagi hari sekali (jika agak siang sedikit saja, akan berfermentasi menjadi tuak). Badeg sangat banyak ditemui di perkampungan Banyumas, namun orang-orang lebih banyak mengolahnya menjadi gula jawa daripada menjadi minuman. Umumnya badeg disajikan dingin, tetapi di Umaeh Inyong badeg juga bisa disajikan hangat ala wedangan. Dan, jujur saja, badeg di Umaeh Inyong adalah badeg terenak yang pernah saya minum seumur hidup saya. Ini bukan hiperbolik atau berlebihan, namun memang badeg di sini benar-benar juara. Aroma niranya harum sekali, mirip seperti aroma kelapa tetapi sedikit masam; tetapi rasanya sangat manis karena badeg ini adalah bakal gula. Keunggulan utama dari badeg di Umaeh Inyong dibandingkan badeg di tempat lain adalah badegnya yang kental. Aroma dan rasanya intens sekali, berbeda dengan badeg di tempat lain yang sudah encer karena dioplos terlalu banyak air.

Bagi penikmat minuman yang lebih modern, cobalah es kencana wungu ala Umaeh Inyong. Es kencana Wungu ini adalah seduhan bunga telang yang dicampur dengan perasan jeruk lemon, disajikan dalam kondisi dingin. Reaksi antara seduhan bunga telang dan air lemon menghasilkan warna yang cantik: cairan berwarna biru keunguan di bagian dasar, dan cairan bening kekuningan lemon di bagian atas. Jika diaduk, warnanya akan semakin keunguan lagi. Rasa manis asam minuman ini begitu menyegarkan, apalagi juga terdapat sensasi tekstur tertentu ketika kita tidak sengaja menggigit biji selasih yang sengaja dicampurkan ke dalam minuman. Segar.

Tiga jenis makanan dan dua jenis minuman sudah saya cicipi, dan tentu jelas terasa perut ini sudah kenyang. Sebenarnya masih ada menu lain lagi yang ingin saya coba, seperti nasi goreng bumbung yang disajikan di dalam bambu dan wedang runtah yang tradisional sekali. Namun nampaknya kunjungan ke Umaeh Inyong sekali saja tidak cukup, harus ada kunjungan selanjutnya untuk mencicipi menu-menu lain yang tidak sempat dicoba.

Soal harga, menurut saya tergolong sangat terjangkau. Jauh lebih murah dibandingkan harga rumah makan di Jakarta, tetapi sedikit di atas harga makanan pinggir jalan di Purwokerto. Jelas, karena Umaeh Inyong ini adalah rumah makan dengan meja dan peralatan makan yang lengkap. Pesanan saya di atas menghabiskan uang sekitar Rp70ribuan saja. Harga makanan dimulai dari Rp10ribuan sampai Rp30ribuan, sedangkan menu minuman dimulai dari harga Rp8ribuan (di luar es teh). Harga tersebut sangat sepadan dengan resep tradisional dan rasa masakan yang lezat.

Harga murah, suasana nyaman, dan rasa yang enak. Menurut saya Umaeh Inyong memenuhi ketiga kriteria di atas. Jika boleh menilai, maka lima bintang dan dua jempol akan saya berikan untuk Umaeh Inyong. Saya sangat menyarankan anda untuk datang ke sini ketika sedang melewati Purwokerto. Cocok sekali untuk keluarga, family gathering, atau corporate gathering.

Well, sekian ulasan dan puja-puji saya untuk Umaeh Inyong (tulisan ini jujur dari pengalaman saya dan saya tidak di-endorse). Di kesempatan selanjutnya saya akan datang lagi untuk mencicipi menu lainnya.

Salam.

Langganan tulisan tentang wisata, kuliner, dan budaya Indonesia. GRATIS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *