Seenak-enaknya masakan di restoran, baik restoran biasa yang berada di mall atau restoran mewah di daerah Jakarta Selatan, tetap saja masakan rumahan menjadi masakan yang terbaik. Setidaknya ini menurut saya. Biasanya karena alasan sentimentil, seperti membuat kangen rumah atau ada kenangan masa kecil, yang membuat kita menjadi suka dengan masakan rumahan. Sebenarnya masakan rumahan saya adalah masakan ala Tionghoa Indonesia rumahan (karena saya keturunan Tionghoa Indonesia) – seperti sapo tahu, mun tahu, tim ikan, atau nasi tim – yang sering dimasak oleh ibu saya. Tetapi masakan rumahan ala Jawa juga menjadi favorit saya, mungkin karena saya beberapa kali live in di daerah Jawa dan menyantap masakan rumahan Jawa langsung, atau mungkin juga karena saya juga sering membeli nasi bungkus di warung-warung nasi sekitar rumah saya waktu kecil dulu.
Ada beberapa tempat yang masakannya terasa “rumahan” banget. Untuk masakan Tionghoa Indonesia, warung 88 di samping Universitas Tarumanagara adalah salah satu favorit saya atau rumah makan Tapas di dekat rumah saya, keduanya di Jakarta. Untuk masakan Jawa rumahan, nampaknya berbagai warung nasi atau warung Tegal di Jakarta sudah terasa lezat di lidah saya, atau rumah makan Sajolna di Purwakarta yang terasa juara di lidah. Dan kali ini, ketika saya berkunjung ke Purwokerto beberapa hari lalu, saya menemukan salah satu warung makan masakan Jawa rumahan yang menjadi favorit baru saya. Lokasi spesifiknya sebenarnya berada di Baturraden, dan nama warung makan ini adalah Warung Koboi.
Saya mengetahui Warung Koboi ketika saya mencari rekomendasi tempat makan di Baturraden via dunia maya. Dari berbagai blog yang saya temui, banyak sekali yang merekomendasikan Warung Koboi. Dan dari rekomendasi-rekomendasi tersebut, semuanya membuat saya penasaran dan tertarik, terutama karena masakan rumahannya. Maka ketika saya berkesempatan untuk mengunjungi Baturraden sekali lagi, saya langsung mencari lokasi Warung Koboi ini.
Warung Koboi ini bukanlah sebuah rumah makan yang besar. Wujudnya hanya berupa rumah sederhana yang ruangan depannya disulap menjadi ruang makan dengan meja-kursi yang mungkin bisa memuat 20 hingga 30 orang, dengan kondisi sedikit sesak. Suasananya benar-benar ndeso sekali, yang tentu saja membuat saya semakin merasa homy. Lokasinya cukup mudah dicari dan sudah ada di Google Maps. Patokannya adalah di belakang restoran Pringsewu. Meski warung makan ini kecil dan sederhana, tetapi yang datang adalah wisatawan-wisatawan yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan menurut penuturan sang petugas parkir, tempat ini selalu ramai setiap harinya.
Menunya hanya ada lima macam: ayam goreng kampung, tahu tempe goreng, oseng pakis, oseng kangkung, pete goreng. Cara penyajiannya mirip seperti rumah makan Padang: begitu kita datang, si mbok akan langsung menata piring-piring lauk ke atas meja makan kita, lengkap dengan sebakul nasi dan sambal. Silakan ambil yang kita inginkan dan kita hanya akan membayar apa yang kita ambil.
Konon juaranya adalah ayam goreng kampung. Di warung ini ayam goreng kampungnya disajikan lengkap: mulai dari kepala ayam, dada, ati ampela, paha, sampai ceker ayam. Semuanya digoreng basah berminyak. Saya ambil sepotong dada ayam. Tekstur dagingnya keras khas ayam kampung, tetapi memang di sinilah letak keistimewaan ayam kampung. Agak berminyak, namun mungkin di sanalah rasa gurihnya berasal. Saya suapkan sesendok nasi bersama suwiran dada ayam yang sudah dicocol ke dalam sambal, lezat!
Oseng pakisnya boleh dicoba. Pakisnya ditumis dengan rajangan bunga kecombrang sehingga memberi tambahan aroma. Tekstur renyah pakis berhasil dipertahankan oleh si mbok. Enak disantap bersama nasi putih hangat.
Tak lupa saya terus meraup butiran pete goreng yang “harum” dan berminyak, setelah sebelumnya saya cocol ke dalam sambal. Ditemani suapan nasi putih hangat, rasanya menjadi sangat nikmat.
Hidangan yang paling menarik di sini adalah adanya tempe kedelai hitam. Jika dilihat sekilas, mungkin kita akan bertanya-tanya, makanan apa ini? Bentuknya balok bergerindil dan berwarna hitam. Beberapa teman saya mengatakan wujudnya terlihat tidak menarik, tetapi jujur saja tempe kedelai hitam inilah yang paling menarik rasa penasaran saya. Kedelai hitam yang biasanya diolah menjadi kecap, kali ini justru diolah menjadi tempe. Jangan menilai makanan dari wujudnya! Meski hitam bergerindil, tetapi rasanya tak kalah enak dengan tempe biasa. Teksturnya lebih padat, dan dengan adanya biji-biji kedelai hitam yang masih bergerindil, tekstur kacangnya memberikan sensasi lain dalam menyantap tempe. Tempe tidak pernah salah. Belum habis nasi di atas piring saya, seporsi tempe kedelai hitam goreng sudah habis ludes disantap.
Jujur saja, juara di Warung Koboi justru ada di sambalnya! Pedasnya pas dan rasanya kaya sekali! Ada berbagai aroma yang berharmoni di dalam mulut saya, yang bisa saya sebut adalah cabai, bawang putih, bawang merah, tomat, dan gula merah – tetapi masih ada lebih banyak campuran bumbu lagi di dalamnya. Rasanya manis, asin, segar, pedas, dan gurih. Tanpa sadar dalam setiap suapan selalu disertai dengan cocolan sambal, dan tanpa terasa kucuran keringat mulai mengalir. Agenda makan siang menjadi semakin seru. Suhu udara Baturraden yang dingin diadu dengan citarasa masakan kampung yang lezat, benar-benar juara!
Sebagai penutup, saya ambil sekeping kerupuk yang sudah saya lumuri dengan kecap. Penutup yang manis.
Nasi putih, dua potong ayam goreng, seporsi tempe goreng, pete goreng, dan sepiring penuh oseng pakis sudah kami habiskan. Semua ini ditebus dengan harga Rp50.000. Mahal atau murah? Bagi orang Jakarta seperti saya, tentu saja ini terasa murah. Tetapi bagi beberapa pengunjung yang berasal dari daerah non-Jakarta, harga ini terasa cukup premium. Murah atau mahal itu relatif, tergantung bagaimana anda menilai.
Well, Warung Koboi ini sangat saya rekomendasikan bagi teman-teman pembaca yang sedang berkunjung ke Purwokerto atau Baturraden. Masakan rumahan ala kampung yang membuat saya kangen live in kembali di pedesaan Jawa. Perjalanan 30 menit dari Purwokerto dan Rp50.000 adalah harga yang pantas untuk santapan ini. Totally worth it.