“Tujuan mendaki gunung adalah untuk pulang kembali, bukan puncak”. Bagi para pendaki gunung, kalimat tersebut sudah sering sekali terdengar dalam setiap pendakian. Memang, hal yang paling penting dari mendaki gunung adalah pulang kembali dengan selamat. Namun bukankah pendakian akan terasa lebih greget bila kita bisa mencapai puncaknya? Hal inilah yang kemudian membuat saya selalu menargetkan diri harus mencapai puncak dalam setiap pendakian (tapi tidak saya paksakan, jika memang tidak kuat ya tidak harus).
Jadi, sejak 2016-2019, setiap pendakian saya selalu mencapai puncak. Kecuali Gunung Papandayan yang memang dilarang untuk muncak. Bagi saya mencapai puncak gunung memiliki nilai filosofis tersendiri. Puncak adalah bonus dari usaha kita selama pendakian yang melelahkan. Kita harus melawan rasa lelah, rasa lapar dan haus yang kadang harus ditahan (minimal sampai tempat berkemah), melawan keragu-raguan, bahkan kadangkala rasa ingin menyerah pun muncul dan harus ditahan. Kadangkala fisik juga sudah lelah, namun dengan menghimpun sisa-sisa semangat yang ada kita kembali berjalan. Dan akhirnya, tibalah di titik terakhir perjalanan: puncak gunung. Di atas puncak gunung kita bisa melihat pemandangan sekitar dengan jelas. Biasanya indah, asalkan tidak berkabut. Dan setelah kita berada di puncak gunung, kita turun kembali. Ini ibarat kehidupan: kita berjuang dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Bahkan kadangkala kita merasa tidak yakin dengan yang kita lakukan, tetapi kita tetap berjuang. Kadangkala juga kita merasakan lelah yang luar biasa, namun kita juga tetap bertahan. Hingga akhirnya kita mendapatkan kemajuan itu: naik kelas, lulus sekolah, diwisuda, dan sebagainya. Dan ketika kita sudah mencapai tujuan itu, kita turun kembali. Kita mulai kembali hal baru dari nol. Setelah lulus SMP, kita memulai SMA dari nol. Ketika lulus SMA, kita mulai kuliah dari nol. Pun ketika kita lulus kuliah, kita memulai untuk bekerja, lagi-lagi dari nol. Begitulah siklus kehidupan: memulai, berusaha, mencapai puncak, turun lagi, memulai dari nol lagi untuk hal baru, dan seterusnya.
Meski aktivitas “naik – sampai di puncak – turun lagi” terdengar absurd, tetapi bagi pendaki gunung ini adalah hal yang sangat menyenangkan. Bukan perkara di puncak indah atau tidak, tetapi rasa puas karena berhasil mengalahkan diri sendiri.
Mendaki Gunung Sumbing bersama Rombongan Open Trip
Bulan Oktober kemarin, rasa kangen untuk mendaki gunung muncul kembali. Namun mendaki gunung tidaklah sesimpel traveling biasa. Jika berjalan-jalan ke daerah tertentu bisa dilakukan sendirian (solo traveling), tetapi mendaki gunung akan menjadi sangat berbahaya bila dilakukan sendirian. Karena itulah, saya selalu berusaha mencari teman untuk mendaki gunung, minimal ada tiga orang, agar lebih aman dan bisa saling membantu. Tetapi mencari dua orang teman lagi ternyata bukan perkara mudah: tidak semua teman saya mau mendaki gunung, dan kalaupun mau, seringkali waktunya tidak pas dengan jadwal saya.
Akhirnya saya menemukan satu solusi yang cukup efektif: ikut open trip. Saya hanya perlu mendaftarkan diri saya pada jadwal pendakian yang cocok dengan jadwal saya, lalu nanti operator open trip akan mencari peserta lainnya, jumlah minimal peserta terpenuhi, berangkat! Sebelumnya, saya baru pernah satu kali mengikuti open trip, dan kesan yang saya dapatkan adalah memuaskan, maka kali ini, ketika sulit mencari teman pendakian, saya memilih untuk mengikuti open trip lagi saja.
Dan, pada tanggal 8 November pukul 20.00, saya tiba di sebuah tempat di Jakarta Timur, meeting point untuk rombongan yang akan berangkat ke Gunung Sumbing.
Sumbing si Gunung Kembar
Pilihan saya kali ini jatuh ke Gunung Sumbing, sebuah gunung yang terletak tepat di samping Gunung Sindoro. Letaknya yang bersebelahan ini membuat Sumbing-Sindoro seringkali disebut sebagai gunung kembar. Bahkan ada sebagian pendaki yang mendaki Gunung Sumbing dan Sindoro sekaligus. Dimulai dari mendaki Gunung Sumbing terlebih dahulu, turun, lalu langsung mendaki Gunung Sindoro. Legenda mengatakan bahwa Gunung Sumbing dan Sindoro ini dinamai dari julukan dua orang anak seorang petani. Anak yang pertama memiliki sifat yang santun dan bijaksana (ndoro), sehingga disebut sebagai “Si Ndoro”, sedangkan anak yang kedua bibirnya sedikit robek (sumbing) akibat pernah ditampar oleh ayahnya karena kelakuannya yang kurang benar, sehingga ia disebut sebagai “Sumbing”. Entah apa nilai moral yang ingin disampaikan dari legenda tersebut, tapi setidaknya sedikit memberikan cerita untuk kedua gunung ini.
Perjalanan Menuju Basecamp Banaran
Maka, setelah menunggu beberapa peserta yang terlambat, akhirnya kami berangkat juga pada pukul 22.00 malam. Mundur 2 jam dari kesepakatan. Tidak ada yang istimewa dalam perjalanan, karena saya tertidur pulas untuk mengumpulkan energi.
Kira-kira sekitar pukul 11 siang, akhirnya kami tiba di basecamp Banaran. Sebenarnya ini sudah sangat terlambat, karena baiknya pendakian dimulai pada pagi hari agar rombongan memiliki lebih banyak waktu untuk tiba di lokasi perkemahan. Tapi karena kemarin ada peserta yang terlambat, maka mau tidak mau keberangkatan pun diundur selama 2 jam dan berdampak hingga jam tiba kami di basecamp.
Jalur pendakian Gunung Sumbing sebenarnya ada banyak, tetapi yang paling terkenal adalah jalur Garung dan Banaran. Jalur Garung dikenal lebih pendek dan relatif lebih mudah dibandingkan jalur Banaran, yang membutuhkan waktu lebih lama. Namun dari jalur Banaran, kita bisa melewati Segoro Banjaran, sebuah sabana / savana yang dijuluki sebagai “Jurassic Park Indonesia” karena kemiripannya. Jalur Banjaran juga seringkali disebut sebagai “Sumbing East Route” karena jalur pendakiannya dimulai dari timur.
Di basecamp, kami beristirahat sambil merapikan kembali isi carrier, sedangkan pemandu dari open trip mengurus simaksi pendakian. Namun, entah kendala apa yang timbul, jadwal pendakian yang harusnya segera dilakukan menjadi diundur kembali. Awalnya saya mengira pendakian bisa dimulai pukul 12.00 atau paling lambat 13.00, karena sesungguhnya proses pengurusan simaksi tidak memakan waktu lebih dari 30 menit. Tetapi waktu terus dibiarkan berlalu hingga pada pukul 14.00, pemandu mengumpulkan kami kembali dan memulai perjalanan. Waktu yang sudah terlalu sore untuk memulai pendakian.
Dari basecamp, kami disarankan untuk menumpangi ojek menuju Pos 0. Jika menggunakan jasa ojek, waktu perjalanan dari basecamp menuju Pos 0 hanya sekitar 10-15 menit. Tetapi jika berjalan kaki, kami bisa menghabiskan waktu hingga 1 jam. Untuk itulah saya sangat menyarankan untuk menggunakan jasa ojek, dengan tarif Rp20.000 sekali perjalanan. Agak mahal, tetapi worth dengan waktu yang bisa dihemat.
Pos 0 Menuju Pos 1
Dan kami pun tiba di Pos 0. Mendengar kata Pos 0 sebenarnya saya sedikit gusar, karena kata 0 ini menandakan bahwa kami belum melakukan apapun dan perjalanan masih jauh! Dan jalur Banaran ini menarik sekali, karena sebenarnya di jalur pendakian gunung lain tidak dikenal istilah Pos 0. Biasanya setelah basecamp, pendaki akan langsung menuju Pos 1 baru pos-pos setelahnya. Jika sekarang kami baru berada di Pos 0, maka sesungguhnya perjalanan ini masih akan sangat panjang. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 14.00.
Perjalanan dari Pos 0 menuju Pos 1 melewati perkebunan warga terlebih dahulu. Setelah melewati perkebunan warga, maka jalur yang kami hadapi langsung berupa anak tangga alami dari tanah. Jalur ini cukup menguras energi. Di tengah jalur ini pendaki bisa beristirahat sebentar di Warung Kopi Ganesari.
Perjalanan pun kami lanjutkan hingga tiba di sebuah gapura yang bertuliskan “Selamat Mendaki G. Sumbing”. Di sinilah pendakian yang sesungguhnya dimulai. Kami langsung disambut oleh jalur yang populer disebut sebagai “Jalur Eskalator”. Disebut eskalator karena jalur ini merupakan tanah padat yang sudah dimodifikasi menjadi anak tangga. Jalur ini cukup curam dan terus-menerus menanjak tanpa ampun. Keringat langsung bercucuran deras dari atas dahi.
Seklenteng (Pos 1) menuju Siwel-Iwel (Pos 2)
Sekitar 1 jam melewati jalur eskalator, kami pun tiba di Pos 1 yang disebut juga dengan Seklenteng. Keringat sudah mengalir deras dan napas mulai tersengal-sengal. Karena pendakian ini pendakian santai, maka kami beristirahat cukup lama untuk mengumpulkan kembali energi.
Jalur Eskalator berakhir begitu kami mencapai Pos 1, tapi bukan berarti perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2 akan lebih mudah. Jalur masih terus berupa anak tangga dan terus menanjak tanpa ampun. Meski sudah tidak securam Jalur Eskalator, tetapi saya tetap berusaha mengatur napas agar tidak kelelahan. Setelah kurang lebih hampir 2 jam perjalanan, kami pun tiba di Pos 2. Sebenarnya saya agak terkejut mengetahui bahwa kami membutuhkan waktu hampir 2 jam untuk perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2, karena beradasarkan informasi yang diperoleh, jarak antara kedua pos tersebut seharusnya bisa ditempuh hanya dalam waktu 75 menit saja. Mungkin karena pendakian kami ini pendakian santai, maka durasi waktu yang dibutuhkan menjadi bertambah.
Pos 2 menuju Punthuk Barah (Pos 3)
Masih tidak ada ampun, jalur masih terus menanjak dari Pos 2 hingga Pos 3. Di sinilah saya mulai merasa kelelahan. Meski baru saja melewati Pos 2 dan masih jauh dari puncak, pendakian Gunung Sumbing melalui jalur ini ternyata sangat menguras energi. Namun saya masih tidak menyerah dan terus melanjutkan perjalanan.
Dan, setelah 90 menit pendakian (normalnya adalah 60 menit), maka kami pun tiba di Pos 3. Langit sudah gelap, udara sudah dingin, dan perut sudah lapar. Sebenarnya rencana kami adalah berkemah di Pos 4, tetapi melihat waktu yang sudah malam dan kondisi kami yang sudah kelelahan, akhirnya diputuskan untuk berkemah di Pos 3. Tenda langsung dibuka, dan pemandu kami langsung menyiapkan makan malam. Saya beristirahat di tenda sambil menyiapkan matras dan sleeping bag.
Ada salah satu hal yang saya sukai dari open trip, yakni saya tidak perlu memusingkan logistik untuk makanan, sebab sudah disiapkan oleh pemandu. Menu makan malam saat itu adalah nasi, ayam goreng, tumis sayur, dan sambal. Sederhana, namun sebenarnya sudah tergolong mewah untuk menu makan malam pendakian. Biasanya, saya sendiri hanya menyiapkan mie instan dengan kornet sebagai menu makan malam, dengan secangkir kopi hitam hangat.
Tak disangka, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Usai merapikan isi tenda dan menyiapkan barang-barang untuk dibawa saat summit di esok pagi, saya pun segera beristirahat. Saat itu mungkin sudah sekitar jam 12 malam.
Summit Attack! Menuju Pos 4 (Watu Ondho)
Pukul 4 pagi kami dibangunkan. Udara sangat dingin sampai-sampai saya menggigil dan segera menyeduh secangkir teh hangat. Saya segera meraup setangkup roti tawar yang sudah diolesi dengan mentega dan coklat sebagai sarapan, sambil menggerak-gerakkan badan agar tidak terlalu kedinginan.
Setelah seluruh peserta bangun, kira-kira mendekati jam 5 pagi (yang lagi-lagi sudah terlambat untuk memulai summit), kami langsung berjalan menuju Pos 4.
Perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 4 adalah perjalanan yang paling jauh, kalau tidak salah mengingat saya dan rombongan membutuhkan waktu 120 menit untuk menyelesaikan perjalanan ini (waktu normalnya adalah 75 menit, lagi-lagi kami memang terlalu santai). Dan lagi-lagi, jalurnya adalah jalur menanjak tanpa ampun. Rasanya kaki ini sudah mulai gentar karena sejak kemarin saya terus-menerus menanjak tanpa henti.
Menjelang Pos 4, kami berhadapan dengan batu besar yang tidak bisa kami lewati dengan cara biasa. Untuk melewatinya, kami harus memanjat batu tersebut dengan bantuan tali. Mirip dengan Tanjakan Setan di Gunung Gede, tetapi batu ini lebih curam dan lebih tinggi. Mungkin ini yang disebut dengan rock climbing? Meski ketinggiannya tidak seberapa, tetap saja menjadi tantangan tersendiri bagi saya dan rombongan.
Dan tak lama kemudian, kami tiba di Pos 4. Di sinilah sesungguhnya tempat berkemah para pendaki. Tak berlama-lama, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Segoro Banjaran.
Pos 4 menuju Segoro Banjaran
Di perjalanan inilah saya mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Jalur masih terus menanjak tanpa henti sedangkan energi semakin terkuras. Beberapa kali saya berhenti lama untuk beristirahat, dan beberapa kali pula terlintas di pikiran saya untuk menyerah. Tetapi saya terus memaksakan langkah, karena saya sudah melewati setengah perjalanan dan tidak ada pilihan untuk mundur. Air minum pun sudah mulai habis dan beberapa rekan saya juga memutuskan untuk menyerah (walaupun akhirnya mereka melanjutkan perjalanan lagi usai beristirahat).
Perlahan-lahan, hutan di kanan kiri kami mulai berganti dengan tanah kosong dengan semak-semak. Pertanda bahwa kami sudah semakin dekat dengan Segoro Banjaran. Jalan masih terus menanjak dan saya masih terus menyemangati diri agar tidak menyerah. Keringat sudah membasahi wajah hingga pakaian dan kaki sudah gemetar.
Sekitar 120 menit kemudian dari Pos 4, akhirnya kami tiba di Segoro Banjaran. Lagi-lagi kami berjalan dengan sangat lambat, karena seharusnya perjalanan dari Pos 4 menuju Banjaran hanya membutuhkan waktu 60 menit saja. Tetapi saya memaklumi ini karena energi seluruh anggota rombongan sudah terkuras banyak akibat menanjak tanpa henti sejak kemarin.
Tiba di Segoro Banjaran
Segoro Banjaran adalah sebuah sabana, dan dijuluki dengan “Jurassic Park Indonesia” karena lokasinya yang mirip dengan lokasi shooting Jurassic Park. Di sebelah kiri dan kanan adalah tebing yang kokoh berdiri mengelilingi kami dari atas, dengan semak-semak berwarna kekuningan mengelilingi kami dari bawah. Awan-awan putih berarak perlahan melintasi kami dari atas langit yang berwarna biru cerah. Begitu indah! Di sini kami beristirahat dan berfoto-foto.
Satu titik perjalanan lagi kami akan tiba di puncak gunung, tetapi karena waktu sudah sangat siang (pukul 09.00) sedangkan kami harus tiba kembali di basecamp sebelum sore, maka dengan berat hati kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Kembali ke Pos 3
Dari Segoro Banjaran, kami terus melangkah turun hingga Pos 3, tempat kemah kami berada. Awalnya saya mengira bahwa perjalanan turun akan lebih mudah daripada perjalanan naik, tapi ternyata saya salah! Memang lebih mudah, tetapi tetap saja melelahkan karena langkah kaki ini sudah melemah. Saya terus memaksakan langkah agar tidak terhenti, karena khawatir waktu akan semakin siang dan saya terlambat tiba di basecamp.
Tiba di Pos 4, kami tidak beristirahat dan terus melanjutkan perjalanan. Di sini kami harus menuruni kembali batu tinggi yang tadi pagi saya panjat dengan bantuan tali. Ternyata memanjat turun batu jauh lebih sulit daripada memanjat naik! Beberapa kali saya khawatir salah meletakkan kaki dan langsung tergelincir. Namun dengan usaha yang teliti dan bantuan dari rekan, akhirnya saya berhasil menuruni batu tersebut dengan selamat.
Dan, setelah melalui jalur menurun dari Segoro Banjaran selama 90 menit, tibalah kami di Pos 3. Di sini saya langsung bersantap siang, merapikan carrier, merapikan kemah, dan langsung melanjutkan perjalanan. Tanpa lama-lama beristirahat.
Kembali ke Basecamp
Tidak banyak yang bisa diceritakan selama perjalanan turun, selain jalur yang terus-menerus menurun tanpa henti. Kami sama sekali tidak beristirahat karena mengejar waktu dan khawatir akan turun hujan, sebab langit sudah mulai mendung dan gemuruh mulai terdengar perlahan. Dari Pos 3, kami tiba di Pos 2, lalu tiba di Pos 1.
Perjalanan turun dari Pos 1 menuju Pos 0 adalah momen paling melelahkan dalam pendakian ini. Badan sudah terasa sangat lelah dan energi sudah hampir terkuras habis, bahkan kaki saya sudah gemetar tanpa henti sejak tiba di Pos 2. Bila dibayangkan, hal ini terjadi karena dari kemarin siang kami terus menanjak tanpa henti dan hanya beristirahat malam sebentar untuk makan malam dan tidur, lalu langsung melanjutkan jalur menanjak lagi hingga Segoro Banjaran dan kemudian turun lagi. Air minum pun sudah habis. Namun saya tetap melanjutkan langkah saya, meski sudah terasa amat berat.
Begitu tiba di Pos 0, saya langsung duduk bersyukur karena perjalanan ini sudah usai. Sambil menunggu ojek datang untuk menjemput kami menuju basecamp, saya beristirahat sebentar. Dan, akhirnya, tibalah kami di basecamp. Segera saya dan rombongan bergantian untuk menggunakan toilet (mandi dan buang air), sedangkan sebagian lagi membeli makanan sebagai santap malam.
Sebagai santap malam, saya memesan semangkok mie ayam di sebuah warung yang terletak tepat di seberang basecamp. Harganya murah meriah, Rp10.000 per porsi. Mienya kenyal dan bumbunya cukup gurih, namun ayamnya masih bertulang sehingga cukup mengagetkan jika saya tidak sengaja menggigit tulangnya. Lumayan puas untuk mengenyangkan perut.
Sekitar pukul 19.00, mobil elf yang akan mengantar kami pulang ke Jakarta pun tiba. Perjalanan diestimasi akan memakan waktu selama 12 jam, namun realisasinya adalah hampir 14 jam. Saya tiba di Jakarta sekitar pukul 9 pagi.
Pelajaran Gagal Muncak
Meski pendakian sudah kami selesaikan, namun ada satu hal yang cukup banyak disesali oleh anggota rombongan kami, yaitu gagal mencapai puncak Gunung Sumbing dengan alasan mengejar waktu. Sebenarnya, jika kami bisa mengelola waktu dengan baik, maka seharusnya kami bisa sampai di puncak. Ada beberapa kesalahan dalam pengelolaan perjalanan ini, yakni:
- Waktu keberangkatan di Jakarta yang seharusnya pukul 20.00 mundur menjadi pukul 22.00, sudah terlambat 2 jam.
- Ketika tiba di basecamp pukul 10 pagi, seharusnya kami sudah bisa memulai pendakian pada pukul 11 atau 12 siang (2 jam sudah sangat cukup untuk berbenah dan beristirahat), namun pendakian justru dimulai pukul 14.00, dengan alasan yang tidak kami ketahui.
Total ada 4 jam yang terbuang sia-sia, yang jika tidak terjadi, kami memiliki cukup waktu untuk muncak (durasi perjalanan normal dari Segoro Banjaran ke Puncak adalah 1 jam, jika pendakian santai mungkin sekitar 1 jam 30 menit).
Dan dengan demikian, waktu kami untuk beristirahat juga pasti bertambah sehingga perjalanan tidak terasa semelelahkan ini.
Namun dari sini, saya berusaha untuk menerima bahwa sebuah perjalanan pendakian tidak harus selalu berjalan sesuai keinginan, sekalipun sebenarnya sudah direncanakan sedemikian rupa. Toh, sekalipun tidak berhasil sampai di puncak, suasana di Segoro Banjaran sudah cukup memuaskan saya. Dan, sesuai dengan ungkapan yang umum beredar di kalangan pendaki:
“Tujuan mendaki gunung adalah untuk pulang kembali, bukan puncak”
Maka sebenarnya saya sudah berhasil menyelesaikan pendakian Gunung Sumbing, terlepas dari sampai atau tidaknya di puncak.
Tenang saja, puncak nggak bakal ke mana-mana. Saya baru dua kali ke Sumbing (dua-duanya lewat Garung) dan cuma sekali sampai puncak, pas pendakian pertama. Waktu pendakian kedua, karena kala itu langsung nanjak habis dari Sindoro, saya terlalu betah kemping di Pos 2 dan melupakan puncak. Hehehe.
Moga2 ada kesempatan ke Gunung Sumbing lagi, kepingin coba via Garung.