Warga Jakarta, ingin mendaki gunung: pilihannya antara Gunung Gede-Pangrango atau Gunung Salak. Gunung Gede-Pangrango lebih populer, tapi kuota pendakinya dibatasi sedangkan peminatnya sangat banyak, sehingga seringkali kuota pendakian sudah habis duluan ketika ingin mendaki. Sedangkan Gunung Salak, sebaliknya; meski terkenal, namun tidak terlalu diminati oleh pendaki karena jalurnya yang ekstrem dan kisah mistis yang membalutnya. Bagaimana bila masih ingin mendaki gunung dari Jakarta di akhir pekan, tetapi sudah kehabisan kuota untuk Gede-Pangrango namun tidak ingin mendaki Gunung Salak?
Btw, ribet juga yah, wkwkwkwk…
Oke, sebenarnya ada solusinya. Ada sebuah gunung kecil (atau lebih tepatnya disebut bukit?) di daerah Puncak, tak jauh dari Gunung Gede. Tidak ada batasan kuota dan tidak terlalu terkenal sehingga tidak perlu takut kehabisan kuota pendakian seperti Gunung Gede; pun jalurnya masih wajar dan tidak semistis Gunung Salak. Dan kabar baiknya: bisa didaki tek-tok, alias naik hari ini – turun hari ini juga!
Namanya Gunung Kencana. Saya sendiri mengetahuinya dari situs-situs travel. Lokasinya tak jauh dari Gunung Gede, sama sama berada di kawasan Puncak (Bogor). Dari Jakarta saya menaiki bus Jakarta-Cianjur. Patokannya, berhenti di Telaga Warna.
Telaga Warna
Jalur pendakian Gunung Kencana berada di kawasan wisata Telaga Warna. Dari bus, saya turun dan menikmati makan siang di salah satu warung terlebih dahulu. Kemudian saya melapor kepada pos untuk memasuki kawasan Telaga Warna dan membayar biaya masuk. Dari pos ini, kita bisa menuju basecamp Gunung Kencana menggunakan kendaraan pribadi atau menumpang mobil bak. Tapi kalau anda memiliki banyak waktu dan mau sedikit mengeluarkan energi, saya sarankan berjalan kaki saja!
Mengapa? Sebab di sepanjang perjalanan dari pos jalan raya hingga menuju basecamp, kita bisa menemukan berbagai pemandangan yang indah dan menarik. Dimulai dari perkebunan teh yang asri dengan udara yang segar, atau menikmati kesunyian di Situ Telaga Saat. Kalau anda tertarik mengamati flora, dari Wikipedia disebutkan bahwa kita bisa menemui beberapa jenis flora asli hutan tropis di pegunungan seperti tumbuhan puspa, kihiur, paku tiang, rame, dan rotan.
Perjalanan memang jauh, namun karena jalurnya tidak terlalu menanjak maka saya masih bisa menikmati pemandangan di sekitar. Apalagi ketika saya mulai menusuri punggungan bukit, saya bisa melihat perbukitan dan jalan raya Puncak dari atas, rasaya begitu menyenangkan!
Kampung Cikoneng dan Lahan Cadangan
Perjalanan sekitar 40-60 menit dari pos mengantarkan kami ke Kampung Cikoneng, ditandai dengan SDN Cikoneng yang dicat berwarna-warni cerah. Sesaat kami berhenti untuk bertegur sapa dengan warga dan beristirahat sebentar di warung untuk membeli camilan dan minuman.
Kami segera melanjutkan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan kami kembali ditemani oleh kebun teh yang menghampar luas. Kira-kira sekitar 30 menit kemudian, kami tiba di kampung terakhir sebelum jalur pendakian dimulai, yakni kampung LC atau Lahan Cadangan.
Di kampung LC, saya menikmati segelas tes manis hangat di warung yang selalu menjadi tempat peristirahatan para pendaki. Sambil mengobrol dengan penjaga warung, diketahui bahwa sebagian besar warga di kampung LC berprofesi sebagai pemetik teh… dan hampir semua anak-anak di kampung ini tidak bersekolah. Miris! Di sebuah kampung di Bogor, yang berada tidak terlalu jauh dari Ibukota, masih banyak anak-anak yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Semoga isu ini menjadi perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Dari kampung LC, kami pun membeli tiket izin pendakian Gunung Kencana sebesar Rp15.000. Dan pendakian pun dimulai…
Memulai Pendakian dan Tanjakan Sambalado
Jalur pendakian Gunung Kencana sebenarnya tergolong sangat singkat, diawali dengan Tanjakan Sambalado. Tidak tahu alasan dibalik penamaan ini, tetapi dugaan terbesarnya adalah tanjakan ini merupakan tanjakan curam tanpa henti yang membuat keringat mengucur dan napas terengah-engah, persis seperti sambalado yang amat pedas itu.
Melewati pos 1, jalur naik yang curam tetap berlanjut. Pemandangan mulai berubah menjadi hutan dengan pepohonan besar yang rapat, disertai dengan suara-suara hewan yang saling bersahutan – sebuah orkestra alami yang indah. Meski demikian, perjuangan masih berlanjut: menanjak tiada henti sejak Tanjakan Sambalado! Untungnya, tak lama kemudian kami tiba di pos 2 dan (masih) lanjut menanjak hingga Puncak.
Intinya, menanjak tiada henti dari Tanjakan Sambalado hingga Puncak.
Mengerikan? Tidak juga, sebab jalurnya pendek; tidak seperti pendakian Gunung Gede via jalur Putri yang juga nyaris menanjak tiada henti selama 4 jam lamanya! Sedangkan jalur menanjak dari Sambalado hingga Puncak rasanya hanya sekitar 1 jam saja.
Tiba di Puncak, kami segera berfoto-foto. Plang bertuliskan Puncak Kencana 1803 mdpl menjadi tanda penyambutan bahwa kami berhasil menaklukkan diri sendiri dalam pendakian. Rasa lelah setelah menanjak tanpa henti hilang seketika. Tenda pun kami dirikan karena kami berniat untuk bermalam di sini.
(Tanah lapang di Puncak Gunung Kencana tidak terlalu luas, mungkin hanya mampu menampung 10 tenda saja. Oleh karena itu, sebelum memutuskan menginap, coba tanya dulu pada penjaga warung di basecamp apakah sudah banyak pendaki yang akan menginap di atas sana.)
Suasana sore kami habiskan dengan mengobrol santai sambil menikmati pemandangan. Di seberang sana terlihat samar-samar Gunung Gede berdiri megah, mengingatkan saya akan pendakian sebelumnya ke sana. Tak lama, pendaki-pendaki lainnya pun sampai di puncak dan ikut mendirikan tenda. Kami pun bertegur sapa dan berkenalan.
Kembali Pulang
Esok pagi, usai sarapan, kami segera berkemas untuk turun kembali. Jalur turun sama dengan jalur naik, yakni menuruni Tanjakan Sambalado. Meskipun jalur turun, tetap saja stamina kita diuji di perjalanan ini. Keringat kembali bercucuran, meski tidak semelelahkan jalur naik. Kami pun tiba kembali di Kampung LC.
Dari kampung LC, kami kembali berjalan mengikuti arah pulang ke kampung Cikoneng. Dari kampung Cikoneng ke pos di jalan raya, saya bertemu dengan beberapa ibu pemetik teh. Saya berhenti sebentar untuk menyapa dan berfoto bersama, sebagai kenang-kenangan bahwa saya pernah mendatangi tempat ini.
Sekitar 2 jam perjalanan dari kampung LC, akhirnya saya tiba kembali di pos jalan raya Puncak. Saya segera bersantap siang dengan semangkuk mie ayam yang dijual di sana, sambil meminum segelas teh manis hangat. Tak lama, bus Marita tujuan Jakarta lewat. Saya langkahkan kaki, meninggalkan kawasan Gunung Kencana dan Telaga Warna, untuk kembali ke Jakarta.
Info dan Tips:
- Bawa persediaan air yang mencukupi karena tidak ada sumber air di Gunung Kencana. Tempat terakhir untuk mendapatkan air adalah di desa LC, dengan cara membelinya di warung.
- Karena lahan untuk membuka tenda di Puncak Kencana terbatas, pastikan dulu masih terdapat lahan untuk membuka tenda dengan bertanya kepada petugas ketika akan membeli tiket pendakian di desa LC.
- Bagi anda yang ingin mendaki gunung tapi hanya memiiki waktu 1 hari, maka Gunung Kencana adalah tempat yang tepat. Anda bisa berangkat dari Jakarta pagi-pagi buta, kemudian menaiki ojek dari pos jalan raya Puncak hingga kampung LC, lalu menaiki Tanjakan Sambalado hingga Puncak dalam waktu sekitar 1 jam. Dengan cara ini, anda akan tiba kembali di Jakarta pada malam hari.
- Gunung Kencana sangat cocok bagi pendaki yang ingin melatih staminanya, sebelum mendaki gunung-gunung lain yang lebih tinggi dan sulit.