Sebagai orang yang senang bertualang, kunjungan pertama saya ke Bali justru terjadi pada usia saya yang ke-27 tahun. Ironis, sebab saya sering sekali menjelajahi Jawa dan tinggal di Indonesia sejak lahir, tetapi tidak pernah ke Bali sama sekali selama 27 tahun sejak lahir. Dan jadilah, Maret 2019, pengalaman pertama saya menjejakkan kaki di Tanah Dewata Bali.
Tulisan ini merupakan catatan pada hari keempat saya di Bali, melanjutkan perjalanan saya pada hari sebelumnya.
Sarapan di Ubud
“Di Ubud, gue meninggalkan hati gue untuk Bali,” demikian ucap saya kepada seorang teman secara berlebihan. Ubud memberikan kesan tersendiri bagi saya. Lokasinya yang dekat dengan dataran tinggi membuat Ubud terasa sejuk, nuansa budayanya yang masih kental memberikan kesan autentik, tetapi di satu sisi Ubud juga terasa begitu modern. Dan sebagai tanda cinta saya kepada Ubud, khusus pada perjalanan pertama ini saya melewatkan dua malam di sini.
Terbangun jam 6 pagi dengan bantuan alarm, saya memang dengan sengaja agar dapat terbangun sebelum jam 9 pagi. Mengapa? Pasar Ubud pada pagi hari menawarkan aneka kuliner khas Bali yang patut dicoba, dan pasar tersebut hanya buka sampai pukul 10 pagi sebelum berganti dengan pedagang lainnya yang lebih banyak berjualan aksesoris.
Salah satu santapan favorit saya di Pasar Ubud adalah bubur Bali. Hidangan ini dijual oleh ibu-ibu yang membawa pikulan dan nongkrong di pinggir jalan. Tapi jangan remehkan dagangannya. Sepiring bubur yang sangat kental disajikan dengan urap, parutan kelapa, suwiran daging ayam, dan siraman kuah kuning khas Bali yang gurih dan pedas. Dimakan dengan pincukan daun pisang. Enak sekali! Dan harganya hanya Rp8.000.
Selain bubur Bali, saya juga masuk ke area pasar dan menemukan banyak sekali penjual jaje Bali (jajanan pasar khas Bali). Sebut saja ada jaje bendu, laklak, giling-giling, pasung, waluh, dan sebagainya. Lebih lengkap soal jajanan khas Bali ini akan saya tulis pada artikel selanjutnya.
Sebenarnya harga jaje Bali ini murah meriah, tetapi karena terletak di kawasan wisata (Ubud), maka para pedagang menaikkan harganya dengan signifikan, bisa sampai Rp3.000 per buah (padahal harga wajarnya adalah Rp1.000-Rp2.000). Tipsnya, coba berjalan masuk ke area pasar lebih dalam lagi. Pengalaman saya, semakin masuk ke dalam areanya, maka harga yang ditawarkan pedagang lebih murah.
Tidur Siang di Pantai Balangan
Mengingat pada hari ini saya akan flight kembali ke Jakarta, maka saya berpindah dari Ubud ke daerah yang lebih dekat dengan Bandara Ngurah Rai. Saya menuju selatan, mengarah ke Uluwatu dan pergi ke daerah pantai yang bernama Pantai Balangan. Menurut seorang bule yang saya temui di Kuta, Pantai Balangan tergolong bagus dan wajib dikunjungi.
Jalannya cukup dalam, jauh dari pusat keramaian. Jalanan semakin menyempit hingga hanya muat untuk satu kendaraan roda empat saja, dengan jalur berbatu dan semak belukar di sisi kiri dan kanan jalan. Saya sudah berada di “remote area”, bila meminjam istilah dari teman saya. Sinyal ponsel juga semakin menghilang. Saya sempat merasa ragu dan khawatir, jangan-jangan saya sebenarnya tersesat dan tidak sedang menuju Pantai Balangan, namun rasa ragu ini mulai hilang ketika sesekali saya melihat wisatawan asing yang sedang melintas menggunakan sepeda motor.
Dan, tibalah saya di Pantai Balangan. Hanya ada satu kata untuk pantai ini: keren! Airnya biru jernih, ombaknya deras, dan pantainya sangat bersih! Hampir tidak ada orang lokal di sini. Selain warga penjaga warung dan saya, sisanya adalah pengunjung dari negara lain. Dengan ombak yang deras, pantai ini merupakan pantai yang ideal untuk melakukan surfing. Saya pun duduk menikmati suasana pantai sambil melihat orang-orang yang sedang surfing, sambil memesan seporsi nasi goreng seafood dari sebuah warung yang dikelola oleh warga lokal. Harganya cukup mahal, Rp50ribu; terdiri dari cumi, udang, dan telur mata sapi; namun menyantap makanan apapun dalam suasana seperti ini tentulah merupakan pengalaman yang menyenangkan. Usai makan, saya pun duduk berbaring di sebuah kursi santai (saya harus membayar Rp50ribu untuk bisa berbaring di sini!), dan tanpa sadar saya pun tertidur sambil didendangi oleh suara debur ombak. Menyenangkan sekali.
Belanja Oleh-Oleh
Sebelum pulang, saya juga menyempatkan diri dulu untuk membeli oleh-oleh. Sebagai seorang backpacker, sebenarnya saya tidak terlalu suka membeli oleh-oleh ketika berpergian. Bukan masalah pada finansial, tetapi saya berusaha sebisa mungkin agar tidak perlu menenteng barang – semua keperluan saya masuk ke dalam satu ransel saja. Jadi biasanya saya hanya membeli oleh-oleh untuk orang di rumah saja.
Oleh-oleh khas Bali adalah pie susu dan pia. Merk pia yang paling terkenal adalah Pia Legong, isinya berlimpah sekali dan legit di lidah, tetapi harganya tergolong mahal (Rp120ribu untuk isi delapan) dan untuk membelinya harus mengantri cukup panjang di tokonya langsung. Malas mengantri dan ingin membeli Pia Legong di tempat lain? Biasanya harganya sudah dinaikkan, mungkin untuk mengganti ongkos mengantri, menjadi sekitar Rp150ribu. Saya pernah mencoba pia Bali merk lain, tetapi rasanya kurang enak. Satu-satunya merk pia Bali yang paling mendekati Pia Legong adalah Pia Eiji. Isinya sama melimpah, namun dengan harga yang lebih masuk akal (Rp60ribu untuk isi delapan) dan bisa ditemui di toko oleh-oleh besar seperti Krisna. Sedangkan untuk pie susu, merk yang saya anggap enak adalah Dhian dan Enaaak. Namun pie susu merk Enaaak cukup sulit ditemui dan saya memesannya langsung di toko, dengan harga yang lumayan (Rp40ribu); bandingkan dengan merk Dhian yang lebih mudah dicari, harga lebih murah (Rrp24ribu), dan rasa yang tidak jauh berbeda.
Tapi, namanya juga makanan, semuanya bergantung kembali pada selera masing-masing. Subjektif sekali.
Pulang
Tak disangka, waktu untuk pulang ke Jakarta pun tiba. Segera setelah mengembalikan sepeda motor ke pihak penyewa di bandara, saya pun check-in dan menuju boarding room. Terima kasih Bali untuk pengalaman pertama ini.
I will back!
***
Tulisan Lainnya Tentang Bali:
1. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 1): GWK Cultural Park, Pantai Suluban, Ayam Betutu Pak Man
2. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 2): Goa Gajah dan Tukad Cepung
3. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 3): Pura Lempuyang dan Pasar Ubud di Sore Hari
4. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 4): Sarapan di Pasar Ubud, Pantai Balangan, dan Oleh-Oleh
5. Aneka Jaje khas Bali yang Harus Dicoba
6. Liligundi Warung Jaje Bali, Tempat Makan Autentik Khas Bali
7. Tiga Pantai Rahasia di Bali Selatan yang Wajib Dikunjungi