Perjalanan Pertama ke Tanah Dewata Bali: Wisata Alam Hingga Budaya (Bagian 1)

Diam-diam saya memiliki resolusi di tahun 2019 ini: pergi ke Bali! Mengapa Bali? Alasannya sederhana: pertama, saya penasaran dengan Bali yang begitu terbuka terhadap berbagai pendatang namun masih tetap dapat menjaga keaslian tradisi, dan alasan kedua – yang paling penting – adalah, sampai saat ini saya masih belum pernah ke Bali sekalipun!

Maka Bali menjadi salah satu destination list saya tahun ini. Dan tepat pada bulan kedua 2019, resolusi tersebut tercapai. Saya berkesempatan untuk pergi mengunjungi Bali selama 4 hari dan 3 malam. Dan seperti biasa, saya melakukannya secara sendirian alias solo traveling.

Berbeda dengan perjalanan-perjalanan saya sebelumnya yang lebih sering mencari tempat yang masih jarang dikunjungi wisatawan, kali ini saya sengaja memasukan beberapa tempat yang memang sudah menjadi “primadona” para wisatawan seperti Kuta dan Ubud. Hal ini karena saya juga ingin tahu seperti apa rasanya tempat-tempat tersebut.

And here the story starts…

bali pulau dewata

Hari 1: Tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali

Saya mengambil penerbangan jam 08.30 dari Jakarta. Dari Jakarta ke Bali sebenarnya hanya membutuhkan waktu 2 jam perjalanan, tetapi saya tiba di Bali pada pukul 11.30. Kok bisa jadi 3 jam? Sebenarnya penerbangannya tetap 2 jam, tetapi karena Jakarta berada di zona waktu WIB (waktu Indonesia barat) dan Bali menggunakan WITA (waktu Indonesia tengah), maka terdapat selisih 1 jam di mana jam di Bali “mundur” 1 jam dibandingkan Jakarta. Jadi, ketika saya tiba di Bali pukul 11.30, sebenarnya di Jakarta adalah jam 10.30.

Akhirnya sampai di Bali! Ini menjadi momen bersejarah sendiri bagi saya, sebab meskipun saya sudah berkeliling ke berbagai kota dan daerah di pulau Jawa, sesungguhnya saya belum pernah keluar dari Pulau Jawa. Ini adalah pengalaman pertama saya menjejakkan kaki di luar Pulau Jawa!

bali pulau dewata

Saya langsung menghubungi rental motor dan ternyata mereka sudah tiba. Transaksi sebentar, kunci sepeda motor pun sudah berada di tangan saya. Dan berhubung perut sudah lapar sekali, saya memutuskan untuk segera mencari tempat makan. Dari hasil googling, tempat makan masakan Bali terdekat adalah Ayam Betutu Pak Man. Jadi, saya segera menancapkan gas menuju ke sana.

Ayam Betutu Pak Man

Dari hasil review di Google Map dan Zomato, Ayam Betutu Pak Man dinilai cukup baik dan banyak dikunjungi oleh rekan-rekan wisatawan yang tidak menyantap daging babi. Seluruh masakan di rumah makan ini adalah halal alias tidak mengandung babi. For your information, sebagian besar rumah makan di Bali mengandung babi. Hal ini karena mayoritas warga Bali menganut ajaran Hindu sehingga mereka tidak pantang menyantap daging babi; sebaliknya, mereka justru pantang menyantap daging sapi. Maka, sangat sulit di sini untuk menemukan rumah makan dengan daging sapi! Bahkan baksonya saja antara menggunakan daging ayam, ikan, atau babi.

Ketika saya tiba, tempatnya sepi sekali. Mungkin karena hari ini hari Kamis (bukan hari libur dan bukan hari kunjungan wisatawan lokal). Tempatnya luas. Cukup untuk 100 orang. Segera saya memesan dua menu: ayam betutu dan lawar ayam.

ayam betutu pak man

Ayam betutu merupakan masakan khas Bali yang sangat populer. Awalnya ayam dibumbui dengan berbagai rempah khas Bali, kemudian dibakar di dalam api sekam hingga bumbu meresap. Sangat aromatik! Dan di warung Pak Man, bumbunya enak sekali, plus daging ayamnya juga empuk. Tidak heran tempat ini mendapatkan review positif!

Sedangkan lawar, merupakan salah satu makanan khas Bali yang aslinya berbahan dasar daging babi, sayuran, dan darah babi. Pencampuran ini membuat lawar berwarna merah kegelapan. Namun di sini lawar disajikan dengan daging ayam dan berwarna putih, sehingga saya menyimpulkan bahwa tidak ada campuran darah di dalamnya. Teksturnya renyah, rasanya gurih. Enak untuk teman nasi.

Rasa makanan di rumah makan Ayam Betutu Pak Man boleh diacungi jempol. Enak. Nilai lebihnya, tidak mengandung babi sehingga teman-teman muslim bisa bersantap siang di sini. Hanya saja kekurangannya ada satu: harganya cukup mahal! Sepotong ayam betutu dihargai Rp35ribu dan lawar dihargai Rp20ribu.

Garuda Wisnu Kencana Cultural Park

Kenyang usai bersantap siang, saya segera menuju GWK yang terletak di sebelah selatan Pulau Bali. Jaraknya tidak terlalu jauh, kira-kira 20 menitan saja. Patung GWK yang fenomenal itu kini sudah selesai dibangun, dan akan segera saya lihat dengan mata kepala langsung! Tiket masuknya cukup mahal, Rp80ribu dan kita akan diberikan tanda masuk berupa gelang berbahan kertas. Di dalamnya, kita bisa berfoto dengan patung Garuda Wisnu Kencana dari kejauhan (dan di patung-patung lainnya yang tak kalah artistik). Dan sebenarnya favorite spot dari GWK ya patung Garuda Wisnu Kencana ini, sih.

garuda wisnu kencana selesai

 

Di samping itu, saya juga sempat menyaksikan pagelaran tari daerah yang begitu indah. Mulai dari tarian khas Jawa, Bali, Aceh, hingga Papua.

Sebenarnya saya berharap ada atraksi lebih untuk tempat ini, apalagi dengan tiket masuknya yang cukup tinggi (Rp80ribu). Tapi kunjungan saya ke GWK kali ini berhasil menuntaskan rasa penasaran saya.

garuda wisnu kencana selesai

Pantai Suluban

Bergerak ke arah selatan, saya menyempatkan diri ke Pantai Suluban, mengikuti rekomendasi dari teman saya. Letaknya tidak terlalu jauh dari Pura Uluwatu. Bergerak menggunakan sepeda motor selama 30 menit ke arah barat GWK, maka saya pun tiba di Pantai Suluban. Tidak ada tiket masuk yang dibebankan kepada pengunjung selain biaya parkir sepeda motor sebesar Rp3000. Setibanya di tempat parkir, saya sudah melihat banyak wisatawan mancanegara aka bule sedang beristirahat. Melihat hampir dari mereka semua membawa papan selancar, nampaknya mereka ke sini untuk ber-surfing ria. Ada juga warung yang menawarkan jasa penyewaan papan selancar dan jasa kursus surfing.

Kita harus sedikit berjalan dan menuruni tangga sebelum tiba di area pantai. Pepohonan cukup rindang, cuaca cukup sejuk, justru membuat saya seperti sedang trekking di perbukitan meskipun ini sedang berada di pantai. Sekitar 15 menit berjalan menuruni tangga, tibalah saya di area pantai.

Dan pantainya keren banget!

review pantai suluban

review pantai suluban

Tebing di sekitar pantai, batu karang, suara ombak yang menenangkan; benar-benar suasana yang indah!

review pantai suluban

Pura Uluwatu

Tak jauh dari Pantai Suluban, saya menuju Pura Uluwatu dengan mengendarai sepeda motor selama 10 menit. Meski sudah sore hari (menjelang 18.00 WITA), Pura Uluwatu masih ramai dikunjungi oleh wisatawan. Ternyata mereka datang untuk menonton pertunjukan Tari Kecak pada pukul 19.00 nanti! Tertarik, saya pun hendak ikutan, tapi niat itu saya urungkan setelah diberitahu ada tarif untuk menonton pertunjukan tersebut sebesar Rp100.000 – di luar biaya tiket masuk sebesar Rp30.000. Lumayan menguras kantong juga.

Akhirnya, saya hanya berjalan-jalan mengelilingi pura. Hal yang menarik dari Pura Uluwatu adalah letak pura yang berada di atas tebing dan kita bisa langsung melihat ombak lautan yang deras dari atas. Pemandangannya indah dan bagus untuk menenangkan diri. Kadangkala kita bisa melihat kawanan monyet melintas, dan petugas biasanya akan mengingatkan kita agar barang bawaan kita tidak diambil oleh monyet.

pura uluwatu bali

pura uluwatu bali

Usai berkeliling, saya pun kembali ke Kuta untuk check in hotel dan mencari makan malam.

Menginap di Kuta

Sekitar 45 menit lamanya jarak dari Pura Uluwatu menuju Kuta, sebuah kecamatan di Kabupaten Badung yang menjadi salah satu pusat wisatawan berkumpul, baik lokal maupun mancanegara. Makan malam saya yang pertama adalah Sate Babi Bawah Pohon yang sudah sangat kesohor itu. Meskipun mereka sudah membuka cabangnya di Jakarta, tetapi saya masih penasaran untuk mencicipinya langsung di Bali! Menu sate babi saya pesan untuk mengganjal perut yang kelaparan. Sate babinya empuk dan manis gurih, dengan samar aroma bumbu kemiri yang digunakan untuk membumbui sate. Enak!

Puas, tapi perut masih belum kenyang. Seorang teman menginformasikan bahwa ada penjual bubur Jakarta yang enak di daerah Kuta dan harus dicoba. Awalnya saya protes, buat apa jauh-jauh dari Jakarta datang ke Bali hanya untuk makan bubur Jakarta? Setelah terus “dibujuk”, akhirnya saya menyalakan sepeda motor dan menarik gas menuju sebuah kedai bernama “Bubur Ayam Khas Jakarta Bang Yos”.

Baiklah, saya senang bisa diajak ke kedai bubur ini. Pertama, buburnya saja sudah lembut dan gurih, dengan suwiran daging ayam dan cacahan cakwe yang lumayan melimpah. Kedua, kuah buburnya benar-benar beda! Di Jakarta, bubur ayam biasanya disajikan dengan kuah kuning yang rasanya asih gurih. Di sini juga ada, tetapi rasa kuah kuningnya sangat berbeda! Aroma rempahnya tetap kuat, tetapi rasanya tidak seasin dan setajam kuah kuning bubur ayam di Jakarta. Di Jakarta, kuah kuning tersebut apabila dituangkan ke dalam bubur terlalu banyak akan merusak rasa karena rasanya yang sangat asin, sedangkan di sini justru mengangkat rasa dan aroma. Enak!

bubur ayam yos dan sate babi bawah pohon

Seorang teman kemudian mengajak saya untuk mencari bar di kawasan Legian untuk sekadar duduk santai di bar sambil berbincang, seraya berkata bahwa belum afdol kalau datang ke Bali tetapi tidak mengunjungi Legian. Kawasannya memang ramai sekali! Musik-musik bertempo cepat dan bervolume kencang ala EDM memanggil-manggil dari tiap sisi jalan (sampai-sampai Burger King di Legian saja memutarkan EDM / electronic dance music). Bagi saya yang bukan penikmat EDM, pertama kali datang ke tempat ini agak pusing juga, tetapi perlahan ternyata saya bisa beradaptasi. Kadangkala ada orang mendekati sambil berbisik, “mushroom… mushroom…” yang sebenarnya sedang menawarkan magic mushroom. Tentu saya tidak meladeninya, karena mengonsumi magic mushroom dapat menyebabkan halusinasi dan sudah dilarang untuk dikonsumsi oleh pemerintah. Tak lupa, saya juga mengabadikan gambar di Monumen Ground Zero Bali, yang dibangun untuk mengenang musibah bom Bali pada tahun 2002 silam. Semoga para korban sudah terlahir kembali dalam alam kehidupan yang lebih baik, svaha.

monumen ground zero bali

Minum-minum sambil menikmati musik di sebuah bar di tepi jalan Legian ternyata seru juga (padahal awalnya saya sempat mengatakan bahwa ini adalah ide yang buruk!). Entah sampai jam berapa, terakhir saya ingat waktu telah menunjukkan pukul 12 malam, saya pun kembali ke hotel yang letaknya tidak terlalu jauh dan beristirahat.

Dan, keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan di Bari pada hari kedua, di sini.

***

Tulisan Lainnya Tentang Bali:
1. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 1): GWK Cultural Park, Pantai Suluban, Ayam Betutu Pak Man
2. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 2): Goa Gajah dan Tukad Cepung
3. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 3): Pura Lempuyang dan Pasar Ubud di Sore Hari
4. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 4): Sarapan di Pasar Ubud, Pantai Balangan, dan Oleh-Oleh
5. Aneka Jaje khas Bali yang Harus Dicoba
6. Liligundi Warung Jaje Bali, Tempat Makan Autentik Khas Bali

Langganan tulisan tentang wisata, kuliner, dan budaya Indonesia. GRATIS.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *