Malam kedua saya di Bali dilewati dengan beristirahat penuh. Selain karena memang badan sudah lelah, pada hari ketiga saya akan melakukan perjalanan jauh dari Ubud menuju Pura Lempuyang dengan menggunakan sepeda motor. Jarak antara kedua tempat tersebut adalah sekitar 65 kilometer, yang kira-kira akan saya tempuh selama 2 jam 15 menit perjalanan tanpa istirahat. Dengan istirahat, maka estimasi saya perjalanan akan memakan waktu mulai 2 jam 30 menit hingga 3 jam, tergantung lamanya saya beristirahat.
Maka, pagi di hari ketiga tidaklah terlalu istimewa, selain saya menyantap semangkuk bubur ayam di depan homestay tempat saya menginap. Saya menginap di The Unique Homestay, letaknya tepat di samping Pasar Seni Ubud. Sesuai dengan namanya, tempat ini memang unik. Saya sempat berputar-putar lama mencari homestay ini, ternyata letaknya tersembunyi di balik sebuah apotek dan saya harus melewati sebuah jalan kecil yang sempat saya kira tidak bisa muat untuk sebuah motor. Selain itu, desain homestay-nya pun tergolong unik, dengan corak khas Bali yang menambah kesan sedang berlibur di tanah para Dewata ini. Meskipun homestay-nya tidak tergolong murah (saya memilih tempat ini karena harganya yang sangat sesuai anggaran backpacker dan strategis), tapi bapak dan ibu penjaga tempat ini sangat ramah. Dari hasil mengobrol, ternyata pemilik dari homestay ini adalah menantu dari bapak dan ibu penjaga.
Mari kembali kepada rencana. Pagi-pagi saya segera mandi, sarapan, dan memanaskan mesin sepeda motor untuk menuju Pura Lempuyang. Dari Ubud, ada 2 rute yang dapat kita pilih untuk menuju ke Pura Lempuyang. Rute yang pertama adalah melalui Goa Gajah kemudian melewati Semarapura dan Kuncaragiri, saya menyebut ini sebagai jalur “atas”; sedangkan rute kedua yang bisa dicoba adalah melalui selatan, yang melewati Blue Lagoon Beach dan Amlapura, yang saya sebut sebagai jalur “bawah”. Jalur atas menawarkan perjalanan melewati desa-desa di dataran tinggi, dengan pemandangan khas pegunungan yang indah dan sejuk. Sedangkan jalur bawah akan melewati kawasan pesisir, lebih cepat namun pemandangannya tidak semenarik jalur atas. Saya memutuskan untuk pergi dengan jalur atas dan kemudian pulang dengan jalur bawah, dengan pertimbangan saya ingin menikmati perjalanan panjang ini.
Rawon Babi dan Lawar di Warung Mang M’bar
Inilah serunya melewati jalur “atas”, saya sangat menikmati pemandangan persawahan warga, gunung yang samar-samar mengintip di balik awan, serta hijaunya pepohonan yang nampak sedang menemani perjalanan jauh saya. Udara terasa sejuk dan suara kicauan burung kadang berbunyi sepintas di indra pendengaran saya. Perjalanan jauh menjadi tidak terasa melelahkan. Benar-benar indah dan menenangkan hati.
Di tengah perjalanan, perut terasa lapar. Nampaknya karena saya hanya sarapan semangkuk bubur ayam dan waktu juga sudah mulai menjelang siang. Sebenarnya saat itu saya sudah berada di Jalan Kuncaragiri, yang jaraknya tinggal 15 menit lagi menuju Pura Lempuyang. Tapi berhubung memang saya juga sedang ingin beristirahat setelah perjalanan 2 jam lamanya, maka saya pun singgah sebentar di sebuah warung yang bernama Warung Mang M’bar.
Adapun saya memilih warung ini sebagai tempat istirahat karena warung ini terlihat bersih dan menyajikan menu-menu yang menarik. Hidangannya aneka masakan babi; ada lawar, serapah (usus babi), sate babi, sampai rawon. Menariknya, rawon di sini pun menggunakan daging babi. Sebagian besar orang Bali menganut agama Hindu yang berpantang menyantap daging sapi, sehingga kita akan jarang menemui hidangan daging sapi di Pulau Bali, apalagi saat ini saya sudah berada di daerah pedesaan yang bukan menjadi tempat wisata. Penasaran dengan rasa rawon babi, maka saya memesan semangkuk rawon dengan sepiring nasi putih.
Ini kesan pertama menyantap rawon babi: agak kaget! Biasanya saya menyantap rawon dengan kaldu sapi yang kuat, tetapi kali ini aroma kaldu yang saya hirup adalah kaldu babi. Bukannya tidak enak, hanya perlu penyesuaian saja, toh aslinya saya juga sudah terbiasa menyantap daging babi. Kuah rawon yang biasanya hitam pekat akibat campuran buah kluwak kini berwarna hitam pekat kekuningan, mungkin karena adanya campuran bumbu-bumbu rempah khas Bali yang memberikan tambahan aroma serta warna yang berbeda. Secara keseluruhan, rasa rawon ini enak! Kuahnya terasa gurih, aroma kaldunya cukup kental, dagingnya melimpah dan empuk. Tak lupa saya menyambar sebuah bungkusan daun pisang yang berisi lawar, hidangan khas Bali berupa tumisan sayur dan daging. Rasa lawarnya juga agak mengagetkan (meskipun lama-lama jadi enak juga), tidak seperti yang saya makan ketika berada di Denpasar dan Ubud. Setelah ditanyakan, ternyata lawar di sini masih menggunakan resep asli Bali: tumisan sayur dan daging kemudian disiram dengan darah Babi! Pantas saja rasanya agak berbeda.
Selain lawar, saya juga menemukan sebuah potongan berwarna hitam kemerahan yang nampak seperti dendeng babi goreng. Awalnya saya ingin mencicipi, tetapi saya batalkan setelah saya mengetahui dari ibu penjaga warung bahwa makanan tersebut adalah darah babi goreng. Saya bukannya pantang menyantap darah, tetapi saya memang tidak berani mencicipi makanan-makanan ekstrem. Selain lawar dan darah goreng, ada juga usus babi yang dimasak dengan bumbu khusus yang disebut serapah.
Makan siang hari ini terasa begitu istimewa: menyantap hidangan Bali dengan resep otentik sambil menatap sawah-sawah yang berwarna hijau, di sebuah desa di dataran tinggi Bali.
Thank to the universe!
Tiba di Pura Lempuyang
Saya nyaris terkecoh di kawasan ini. Awalnya saya tiba di sebuah lapangan luas dengan mobil dan motor terparkir di sisi-sisi lapangan. Orang-orang kemudian turun dari kendaraannya masing-masing kemudian menghampiri ojek, bernegosiasi tarif, dan kemudian pergi menuju sebuah jalan besar yang masih bisa dilewati oleh dua mobil sekaligus.. Saya jadi berpikir, jangan-jangan ini tempat parkirnya. Tapi kalau tempat parkir, mengapa harus dilanjutkan lagi dengan ojek? Padahal jalannya masih besar dan muat untuk dilewati dua mobil dari kedua arah. Saya pun bertanya kepada seorang pria dengan pakaian resmi. Oleh pria itu, saya diinstruksikan untuk memarkir sepeda motor dan melanjutkan dengan ojek.
Saya mencoba membuka google map dan melihat bahwa jarak dari “tempat parkir” ini menuju Pura Lempuyang masih ada 15 hingga 20 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor. Saya mulai merasa ada yang aneh. Sambil saya berjalan-jalan melihat sekitar, beberapa pria menawarkan saya jasa ojek untuk diantar ke pura. Banyak pengunjung yang parkir di sini dan kemudian mengambil jasa tersebut. Cukup mahal, wisatawan lokal dipatok tarif mulai dari Rp15.000-Rp25.000 sedangkan saya sempat mendengar seorang wisatawan asing dipatok tarif sebesar Rp50.000. Karena merasa ragu, saya sempat bertanya lagi, “Apakah harus parkir di sini?”, jawabanya adalah “Ya.” Sampai akhirnya saya melihat seorang pria muda (nampaknya berusia belasan tahun) dan saya menanyakan kembali pertanyaan yang sama. Jawabannya pun masih sama, “Ya, parkir di sini”; tapi kali ini saya melanjutkan pertanyaan, “Bagaimana kalau saya tetap melanjutkan membawa sepeda motor saya ke jalur tersebut?”. Kali ini pemuda tersebut menjawab dengan berusaha yakin tapi saya bisa merasakan keragu-raguannya, “Ya… bisa kali. Gak tahu sih, biasanya pada pakai ojek”.
Saya langsung menuju sepeda motor yang yang sudah terparkir sejak tadi, menyalakan mesin, kemudian segera menancapkan gas menuju jalur yang sedari tadi dilewati para tukang ojek yang sedang mengantar pengunjung. Dan ternyata memang tidak apa-apa! Memang inilah jalur menuju Pura Lempuyang dan memang tidak harus “transit” dan berganti dengan tukang ojek. Sebenarnya saya tidak ingin berpikiran buruk, tetapi melihat pria berbaju petugas yang menginstruksikan saya memarkirkan sepeda motor dan melanjutkan perjalanan dengan ojek nampak seperti sebuah “persekongkolan” dengan motif materi. Entahlah, semoga dugaan saya salah.
Dan mari kita melanjutkan perjalanan. Setelah tiba di tempat parkir Pura Lempuyang yang sebenarnya, suasana ternyata ramai sekali! Bis dan mobil terparkir berjejeran, kerumunan orang nampak di segala sisi, sampai saya harus agak minggir sedikit untuk berjalan. Di loket, saya diminta untuk menuliskan jumlah biaya masuk yang ingin saya bayarkan secara sukarela, saya menulis Rp50.000. Setelah itu petugas kemudian segera meminta saya untuk membayar Rp60.000! Ternyata berapapun besar uang yang kita tulis, akan selalu ditambahkan dengan Rp10.000, yang katanya adalah biaya “sewa sarung”. Walah!
(Pikir saya, uang sumbangan tersebut sudah termasuk dengan biaya sewa sarung)
Oleh petugas, saya diberitahu bahwa sedang ada Tawur Agung Panca Wali Krama – sebuah upacara spiritual yang tergolong besar bagi umat Hindu di Bali – sehingga ada beberapa titik yang tidak bisa saya masuki. Saya sudah menduga di dalam pura akan ramai sekali, dan benar saja, ketika saya tiba di dalam kawasan pura suasana sudah ramai sekali! Orang-orang dengan pakaian tradisional Bali membawa berbagai nampan berisi persembahan, dengan pemimpin upacara yang sedang mendaraskan mantra dengan pengeras suara. Di sisi lain, sekelompok seniman memainkan gamelan; dan di sisi lainnya sekelompok wanita menampilkan tarian. Meskipun banyak wisatawan lokal dan mancanegara yang datang bukan dengan pakaian adat / spiritual, mereka nampak tidak terganggu dan membiarkan saja; seolah ada dua dimensi di tempat ini: dimensi bagi mereka yang ingin datang mengikuti upacara, dan dimensi bagi mereka yang datang untuk berwisata.
Saya juga menyempatkan diri untuk mengambil mandatory photo di Pura Lempuyang: berpose di “gerbang surga”. Tempat ini menjadi tempat yang paling sering menjadi titik foto dan di-upload di Instagram. Sayangnya, untuk berfoto di sini, kita harus mengantri cukup lama, kira-kira 1 jam lamanya. Nantinya akan ada seorang bli yang akan membantu mengambilkan foto, dengan sebuah cermin yang membuat efek pantulan air pada foto. Silakan bayar seikhlasnya untuk jasa ini.
Usai berfoto, saya menyempatkan diri untuk berkeliling sejenak di kawasan Pura. Sebenarnya, seluruh kawasan Pura Lempuyang dapat dikunjungi secara lengkap dalam waktu 2-3 jam; tetapi saat ini mengelilingi Pura Lempuyang sejara lengkap tidak dapat dilakukan karena adanya upacara agama. Tidak apa-apa, justru menarik saya bisa menyaksikan langsung salah satu upacara penting bagi umat Hindu Bali yang justru tidak selalu bisa ditemukan ketika berkunjung ke Lempuyang. Kapan-kapan saya akan datang lagi dan mengelilingnya.
Puas menghabiskan waktu di Pura Lempuyang, saya kembali ke tempat parkir. Sepanjang jalan dari pura menuju tempat parkir saya menemukan berbagai pedagang makanan. Salah satu yang paling menarik perhatian saya adalah penjual sate Bali yang sedang asyik membakar barang dagangannya. Ada sate babi, sate ikan, juga sate lilit. Masing-masing saya beli satu seharga Rp2.000 per tusuk. Kalau soal sate babi dan sate lilit, sebagian besar pengunjung Bali pasti sudah pernah mencicipinya di tempat lain. Sate babinya empuk, banyak dagingnya meski hanya Rp2.000 setusuk. Demikian juga dengan sate lilitnya, terasa penuh bumbu dan gurih. Sedangkan untuk sate ikan, ini cukup menarik, karena jarang sekali saya menemukan daging ikan dipotong kotak-kotak layaknya daging sapi / ayam kemudian ditusuk dan dibakar ala sate. Rasanya ternyata enak dan tidak amis! Nampaknya wajib untuk anda coba ketika berkunjung ke Pura Lempuyang, sebagai camilan atau pengganjal perut.
Paket Hemat Nasi Sela
Hari sudah sore, dan saatnya kembali pulang. Kali ini saya mengambil jalan “bawah” untuk pulang, melewati jalur pesisir dan melewati Blue Lagoon Beach. Benar saja, jalur “atas” yang melewati jalur pegunungan nampak lebih menarik, sedangkan jalur “bawah” lebih membosankan. Selain rumah-rumah penduduk, pemandangan lainnya tidak ada yang menarik lagi. Saya sempat mengantuk dan beristirahat sebentar, sambil meminum secangkir kopi hitam hangat.
Perjalanan panjang lagi-lagi membuat perut mudah lapar. Awalnya saya berencana untuk menahan lapar dan makan malam di Ubud saja, tetapi ketika saya melewati Gianyar saya sempat melihat sebuah warung makan yang menawarkan paket hemat nasi sela dengan sate languan, bakso ikan, plecing kangkung, dan es teh manis seharga Rp15.000 saja! Warungnya terlihat meyakinkan, tempatnya cukup luas dan bersih, serta lokasinya berada di jalan raya. Karena tertarik, maka saya langsung memarkirkan sepeda motor dan mampir.
Namanya Warung Mulya, letaknya di Jl. Raya Pantai Lebih, Gianyar. Lokasinya ada di google map. Saya langsung memesan paket hemat tersebut, dan tidak lama langsung terjadi. Nasi sela merupakan nasi khas Bali, yang sebenarnya adalah nasi putih ditanak bersama ubi manis. Campuran nasi putih dan ubi membuat aroma nasi menjadi khas dan sedikit lebih manis. Sedangkan sate languan adalah sate ikan khas Bali, tampilannya mirip dengan sate lilit. Daging ikan yang dicincang dan dicampur dengan santan dan rempah kemudian dibakar, rasanya nikmat sekali! Sedang plecing kangkung rasanya tak kalah nikmat, hanya saja kurang pedas (mungkin menyesuaikan dengan lidah wisatawan); bakso ikannya sendiri tak kalah juara, homemade karena terasa seperti daging ikan cincang yang direbus, teksturnya kasar dan warnanya juga abu-abu; bukan seperti bakso ikan pabrikan yang sangat halus dan warnanya putih bersih. Porsinya tak pelit, sate languan diberikan sebanyak 3 tusuk dan bakso ikan diberikan 3 butir. Harganya hanya Rp15.000! Maka, tempat ini menjadi tempat wajib yang harus didatangi backpacker bila sedang lewat.
Menikmati Ubud di Sore Hari
Dan tibalah saya di Ubud pada sore hari, tepat menjelang malam pada pukul 18.00 WITA. Saya kemudian mandi dan beristirahat sebentar. Saya kemudian menghabiskan malam terakhir saya di Ubud.
Sore dan malam hari di Ubud cukup menyenangkan. Berbagai kafe, restoran, dan toko pernak-pernik berdiri beriringan menyambut wisatawan. Mampir saja dan lihat-lihat. Berbagai sajian ditawarkan di Ubud, mulai dari hidangan lokal khas Bali, hidangan barat, masakan China, sampai masakan Jepang pun tersedia di sini. Sebut saja masakan yang sedang ingin anda makan malam ini. Namun perut tidak terlalu lapar, sehingga saya hanya berkeliling dan mencari camilan saja.
Aktivitas yang jarang disebutkan tetapi ternyata menyenangkan adalah berburu buku di Ubud. Tercatat setidaknya ada tiga toko buku di Ubud yang jaraknya berdekatan dan bisa ditempuh sambil jalan kaki: Igna Used Books, Periplus, dan Ganesha Bali. Kalau Periplus, nampaknya tidak perlu saya ceritakan lagi karena sudah ada di mana-mana, sama seperti Periplus pada umumnya selain buku-buku yang lebih banyak tersedia adalah buku-buku seputar kajian Bali. Igna Used Books, sesuai namanya, menawarkan buku-buku bekas berbahasa asing dengan harga yang lumayan. Hampir semua buku yang dijual di sini adalah buku fiksi, dan selain buku Bahasa Inggris ada juga buku dengan Bahasa Itali, Jerman, maupun Belanda. Sedangkan tempat favorit saya adalah Ganesha Books Bali. Buku-bukunya lebih menarik, mulai dari fiksi sampai nonfiksi, dan banyak sekali judul-judul buku yang sudah saya lama cari ternyata ada di sini! Uniknya lagi, buku Soul Catcher yang sudah saya tunggu-tunggu (karena belum lama terbit), ternyata sudah ada duluan di Ganesha! Padahal sewaktu saya cari di Periplus masih belum ada. Kekurangannya, buku-buku di Ganesha dilabel dengan harga yang mahal!
Menikmati malam di Ubud terasa menyenangkan. Berbanding terbalik dengan Kuta yang menawarkan hingar bingar dunia malam, Ubud justru menawarkan ketenangan. How lovely.
Dan setelah tiba di kamar, saya memejamkan mata, bersiap menyambut hari keempat saya di Bali.
***
Tulisan Lainnya Tentang Bali:
1. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 1): GWK Cultural Park, Pantai Suluban, Ayam Betutu Pak Man
2. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 2): Goa Gajah dan Tukad Cepung
3. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 3): Pura Lempuyang dan Pasar Ubud di Sore Hari
4. Catatan Wisata Alam dan Budaya di Bali (Bagian 4): Sarapan di Pasar Ubud, Pantai Balangan, dan Oleh-Oleh
5. Aneka Jaje khas Bali yang Harus Dicoba
6. Liligundi Warung Jaje Bali, Tempat Makan Autentik Khas Bali